Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Paceklik gelar kembali berulang di kejuaraan bulu tangkis Indonesia Terbuka yang digelar 21-26 Juni lalu. Ini berarti selama tiga tahun berturut-turut tak satu pun pemain Indonesia menjadi juara. Kondisi ini membuat maestro bulu tangkis Rudy Hartono mengelus dada. "Saya jengkel," katanya. "Mengapa kita dipermalukan sedemikian rupa?"
Dalam kompetisi berhadiah total US$ 600 ribu atau sekitar Rp 5,5 miliar itu, pemain Indonesia harus puas sampai final di dua nomor, yakni ganda putri Vita Marissa/Nadya Melati dan ganda campuran Tantowi Ahmad/Lilyana Natsir. Unggulan ketiga tunggal putra yang diharapkan bisa menyumbangkan gelar, Taufik Hidayat, kandas di perempat final oleh pemain bulu tangkis Denmark, Peter Gade.
Hasil buruk di kandang sendiri itu memperlihatkan adanya kekurangan dan lubang dalam pembinaan pemain. Rudy mengatakan pengurus Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) harus terbuka mengakui kekurangan dan memperbaikinya. Mereka tak cukup hanya meminta maaf. "Harus ada kelanjutannya," kata juara delapan kali All England ini.
Selama satu setengah jam, Rudy menyampaikan kritik tentang kondisi bulu tangkis Indonesia secara blakblakan kepada Nugroho Dewanto, Yandi M. Rofiyandi, dan Cheta Nilawaty dari Tempo di rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta, Rabu pekan lalu.
Pemain yang di masa muda berjulukan "Wonder Boy" ini sudah lama menggantung raket. Namun otot-ototnya terlihat masih kencang. Pada usia 61 tahun, Rudy masih rutin berolahraga di pusat kebugaran untuk membuat ototnya tetap muda.
Apa yang salah dalam pembinaan bulu tangkis Indonesia sehingga tiga tahun berturut-turut gagal meraih gelar di kandang sendiri?
Kalau tiga tahun berturut-turut tak bisa memegang peran di dunia bulu tangkis, apalagi ketika bertanding di kandang sendiri, pasti ada sesuatu yang salah. Kita sudah jauh ketinggalan kereta. Tapi kita masih bisa mengatasi ketertinggalan ini kalau PBSI berani melakukan perubahan total dan terbuka. Tak usah malu. Kalah itu tanda bahwa ada kekurangan, kesalahan, dan ketidaktepatan dalam melatih pemain. Kalau kondisi ini dibiarkan terus, peminat bulu tangkis semakin turun. Ini bahaya.
Dengan melihat kondisi sekarang, apa program pembinaan yang harus diperbaiki?
Kita harus melihat program secara keseluruhan serta sasarannya. Misalnya, pemain yang kalah terus harus diberi target kapan bisa menang. Kita juga harus memberikan kesempatan kepada pemain muda. Jadi harus ada evaluasi terbuka. Kalau begini terus, lima tahun lagi tetap akan sulit mencapai prestasi.
Sebelum Indonesia Terbuka, pemain kita sempat menjadi juara di turnamen lain?
Kita jangan mengandalkan keberuntungan. Sekarang ada pemain yang mengaku kecapekan karena sudah bertanding di Singapura. Padahal hadiah di Indonesia Terbuka lebih besar. Kondisi ini bukan lampu kuning lagi, tapi sudah merah. Saya jengkel, mengapa kita dipermalukan sedemikian rupa.
Apakah evaluasi terbuka itu perlu melibatkan pihak luar?
Semua stakeholder harus dilibatkan untuk menyumbangkan pikiran: para bekas pemain, pelatih, pengurus, dan ahli. Hasil pertandingan kemarin memperlihatkan ada kekurangan. Saya ingin tahu apakah pelatih kita sudah mengerti program di lapangan. Kalau programnya begitu-begitu saja, ya ketinggalan.
Bagaimana pengalaman Anda dulu sebagai pemain bulu tangkis dalam mengevaluasi kekalahan?
Saya aktif di dunia bulu tangkis sebagai pemain, pelatih, dan pengurus. Saya membuka diri untuk maju. Bulu tangkis ini milik bangsa dan negara Indonesia. Prinsip saya ketika bermain, "Kalau ada Merah Putih dengan tulisan Indonesia di dadamu, jangan pernah mau kalah." Malu kalau gagal menjalankan tugas. Jadi mudah-mudahan, setelah tiga kali begini, PBSI membuka diri.
Keputusan PBSI mendatangkan pelatih Li Mao asal Cina mulai digugat. Apakah dia pilihan terbaik?
Belum ada bukti bahwa dia yang terbaik. Saya juga tak tahu mengapa dia yang dipilih. Saya secara pribadi enggak akan memilih dia. Menurut informasi dari pemain, cara berlatih sekarang kembali ke zero.
Apa maksudnya metode latihan kembali ke zero itu?
Saya tak melihat sendiri, tapi ada pemain yang mengatakan begitu. Dia datang melihat latihan. Dia katakan, "Kalau latihan begitu, kapan majunya? Pantes aja kalah terus."
Kabarnya, pelatih asal Cina itu didukung penuh oleh Ketua Umum PBSI Djoko Santoso?
Saya enggak menentang Pak Djoko. Saya mengkritik karena cinta bulu tangkis. Kita harus melepaskan rasa sensitif terhadap kritik. Kita harus melihat jauh. Saya tahu PBSI melakukan evaluasi. Tapi evaluasi itu harus terlihat hasilnya dalam enam bulan. Kalau memerlukan waktu satu tahun, itu terlalu lama.
Menurut Anda, pelatih sekarang layak diganti?
Iya dong kalau dia enggak bisa mengubah dan tak ada dasarnya. Makanya saya bilang harus berani. Kalau masih memberi waktu sampai setahun, ya terserah.
Pelatih asing itu kabarnya menikmati gaji lebih besar ketimbang pelatih lokal di masa lalu?
Pelatih profesional itu tak punya nasionalisme. Dia melatih untuk memperoleh pendapatan. Pertanyaannya sekarang: mengapa tak menggaji pelatih lokal lebih besar? Apakah tak percaya kepada pelatih kita?
Bekas pemain kita banyak yang sukses menjadi pelatih di luar negeri. Mengapa mereka tidak dipanggil pulang untuk melatih di negeri sendiri?
Pertanyaannya saya balik: sanggup tidak PBSI membayar mahal pelatih kita?
Kalau pelatihnya layak diganti, apakah pengurusnya juga harus diganti?
Terserah Pak Djoko sebagai ketua umum. Beliau pasti punya kriteria. Kalau tak menghasilkan, bisa diminta mundur. Saya pernah diangkat Pak Sutiyoso menjadi ketua bidang pembinaan. Saya menyanggupi sampai Piala Thomas dan, kalau gagal, akan mundur. Saya akhirnya mundur karena gagal. Mudah-mudahan ketua bidang pembinaan yang baru bisa mengatur. Jangan mau diatur dan dicampuri orang yang bukan bidangnya. Mungkin maksudnya baik, tapi hasilnya belum tentu baik.
Benarkah ada nepotisme pula dalam pembinaan pemain? Ada pengurus yang memaksakan anaknya masuk pemusatan latihan nasional?
Saya tak tahu itu. Di dunia mana pun, kalau ada nepotisme, hasilnya tak akan maksimal. Nepotisme bisa menganulir kekurangan, padahal tak bisa begitu di olahraga. Olahraga menunjukkan sesuatu yang nyata dan tak main-main, kecuali acara gulat sandiwara atau Smackdown itu.
Dulu ayah Ardi B. Wiranata pengurus PBSI, tapi Ardi memang pemain bagus?
Dulu saya jamin tak ada nepotisme. Saya tahu sendiri, Ardi memang berprestasi. Dia luar biasa. Otaknya jalan, punya strategi, dan kemauannya tinggi. Pukulannya kurang bagus, tapi produktif. Buat apa enak dilihat tapi tak menghasilkan dan tak menjadi juara?
Anda masih tercatat sebagai penasihat di PBSI. Apakah pernah diminta memberikan masukan?
Sebagai penasihat, saya tak pernah ditanyai soal ini. Saya tak meminta, tapi ingin memberikan masukan. Mudah-mudahan tak dianggap angin lalu. Kita boleh saling gebrak meja, tapi setelah itu jangan kembali ke nol lagi.
Permintaan maaf oleh PBSI atas kegagalan pemain bulu tangkis kita di Indonesia Terbuka tidak cukup?
Maaf itu tradisi bangsa kita. Tapi permintaan maaf itu harus ada kelanjutannya. Bagian penting adalah mengubah menjadi lebih baik.
Bagaimana program latihan seharusnya disusun?
Semua harus menggunakan ukuran. Latihan juga diukur menggunakan sport science. Saya dulu latihan diukur dengan overload system. Hari ini harus lebih akurat, banyak, dan intensif. Lebih sederhana dan general, tapi mencapai sasaran. Saya bisa menjadi juara karena persiapannya lebih baik daripada lawan. Ketika itu masih transisi dari stroke player yang mengandalkan rally menjadi produktif mendapat angka yang memerlukan speed and power. Pemain sekarang memerlukan semuanya, speed, power, stroke, serta akurat.
Postur pemain Cina tinggi dan langsing, sedangkan pemain Indonesia banyak yang pendek dan gempal. Bagaimana idealnya postur pemain bulu tangkis?
Tinggi pemain tunggal putri Cina minimal 170 sentimeter. Cina memilih pemain tinggi karena menang langkah dan jangkauan. Idealnya, tinggi pemain bulu tangkis 175-182 sentimeter. Pemain Malaysia sama. Lihat saja tangan, bahu, serta kaki Lee Chong Wei. Dia benar-benar melatih ototnya hingga kuat melompat dan begitu mendarat bisa berlari cepat ke sana-sini. Dia berlatih beban 210 kilogram, padahal beratnya tak sampai 70 kilogram. Pemain kita begitu enggak? Jangan-jangan baru 100 kilogram sudah tak kuat. Saya yakin, kalau mental tak terlalu tegang dan punya keyakinan, Lee Chong Wei akan menjadi juara Olimpiade dan dunia.
Apakah kekurangan kita juga karena minimnya bibit pemain yang bagus?
Memang kurang, bahkan terbukti tak ada. Upaya pembibitan dan pelatihan bulu tangkis di Indonesia tak mengikuti perkembangan zaman. Kita sudah jauh ketinggalan. Kalau kita kalah terus, orang tua yang menonton akan kesal sehingga mengarahkan anaknya ke olahraga lain. Saya di Yayasan Olahragawan Indonesia menyurvei para orang tua. Kalau mereka punya uang, anaknya tak akan dijadikan olahragawan, tapi disekolahkan. Masa depan olahragawan dianggap suram.
Bukankah pembinaan melalui klub masih berjalan?
Bibit memang ada, tapi seleksinya tak bisa alami karena sedikit. Kalau ada bibit 100 ribu, diseleksi menjadi 10 ribu, seribu, seratus, lalu sepuluh. Itu baru bagus. Tapi saringan itu sekarang tak ada. Kalau ada 100 ribu pemain muda yang bagus, itu baru top.
Bagaimana caranya supaya mendapat banyak bibit pemain?
Bisa melalui sekolah dasar dengan memonitor kurikulum dan memberi beasiswa. Saya menghitung ada 150 ribuan sekolah dasar. Masak, sepuluh persen saja tak bisa menjaring pemain bulu tangkis? Dengan bersekolah, anak tak ketinggalan mata pelajaran dan otak. Bulu tangkis memerlukan O2: otot dan otak. Pemain hebat pikirannya jalan karena diasah. Sekarang banyak pemain ingin cepat matang seperti pesan di restoran. Bulu tangkis tak bisa begitu. Kita harus mendidik pemain karena di lapangan dia sendiri yang menggoreng dan memasak hingga menang. Pelatih mempersiapkan serta mengarahkan kemampuan dan akurasi. Tak bisa menjadikan orang juara dalam setahun.
Apa yang membuat pembinaan di sekolah dasar ini tak jalan?
Sekarang PBSI sudah ada kesepakatan dengan Kementerian Pendidikan Nasional, tapi belum jalan karena ada otonomi daerah. Kita harus berani melangkah, bukan hanya PBSI. Kementerian Pemuda dan Olahraga harus bergerak. Bila menjalankan pilot project, tak perlu banyak cabang olahraga. Pilih yang bisa mengharumkan nama bangsa. Pembinaan bulu tangkis itu menanam sesuatu yang pasti tumbuh dan mengharumkan nama bangsa. Jangan muluk-muluk, ambil dua emas setiap Olimpiade itu sudah cukup.
Dari dulu pembinaan pemain secara berlapis sering kedodoran?
Karena kita memperolehnya tak alami. Kita mesti membentuk mereka. Kalau salah bentukannya, tak akan jalan. Sekarang ini, massalkan dulu bulu tangkis. Cari sampai sejuta pemain. Kalau sudah sejuta, baru dimonitor.
Hanya pada 1990-an Indonesia memiliki pemain berlapis, seperti Alan Budikusuma, Ardi B. Wiranata, Hermawan Susanto, dan Joko Suprianto….
Saya waktu itu masih ikut melatih. Waktu itu memang banyak pemain yang muncul, tapi bukan diciptakan. Memang ada dari sana-sini. Makanya kita perlu 100 ribu bibit pemain yang bagus. Saya ingin Indonesia balik lagi ke masa kejayaannya.
Minimnya dukungan keuangan juga sering menjadi kambing hitam rendahnya prestasi….
Dalam mencari bibit pemain dan mencetak prestasi, memang perlu dana. Tapi dana tak boleh menjadi alasan karena nanti seperti ayam dan telur. Kalau tahu mengelolanya, pasti mendapat dana. Sponsor dan orang yang tergelitik untuk membantu itu masih ada, asalkan kita bisa memberikan proposal dan benefit yang tepat kepada mereka.
Bila dana kurang, apakah konsep pemusatan latihan nasional masih perlu dipertahankan?
Sebetulnya pemusatan latihan nasional sudah tak relevan lagi. Pembinaan pemain seharusnya diserahkan kepada klub. Terlalu berat bagi PBSI. Seleksi saja pemain kalau ada turnamen dengan melihat ranking dunia dan melalui kompetisi. Dua bulan berkumpul dalam pemusatan latihan. Klub membiayai pemain yang berangkat mengikuti turnamen ke luar negeri. Kalau pemain masuk final, semifinal, dan perempat final, akomodasinya akan diganti oleh PBSI.
Rudy Hartono Kurniawan Tempat dan tanggal lahir: Surabaya, 18 Agustus 1949 Pendidikan: Sarjana Muda Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti Prestasi: l Juara All England delapan kali (1968-1974 dan 1976) l Juara bersama tim Indonesia dalam kejuaraan Piala Thomas sebanyak empat kali (1970, 1973, 1976, 1979) l Juara Dunia 1980 l Juara Jepang Terbuka 1981 l Asian Hero Majalah Time 2006 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo