Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RESERVASI, mungkin, sebuah kata yang tak bermakna bagi penggemar restoran di Jakarta lebih dari sepuluh tahun lalu. Kenapa? Karena itu tak dibutuhkan. Mudah sekali mendapatkan tempat. Apalagi untuk restoran fine dining yang harganya agak mahal, tak perlu khawatir tak ada tempat. Istilah antre tiket mungkin hanya berlaku untuk menonton pertandingan sepak bola, Thomas Cup, atau supergrup musik—yang relatif jarang datang ke Indonesia. Kita juga tak pernah menyaksikan antrean yang panjang untuk membeli gadget.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Situasi agak berbeda pada hari-hari ini. Jika ingin makan di tempat yang cukup populer—walau harganya relatif mahal—kita harus melakukan reservasi terlebih dahulu. Bahkan, untuk berbuka puasa, pemesanan tempat harus dilakukan beberapa hari sebelumnya. Hari-hari ini kita tak lagi heran melihat antrean yang panjang di kasir gerai serba ada atau antrean yang panjang membeli tiket konser musik dan bioskop. Fenomena kehabisan tiket pesawat bukan hanya terjadi pada hari Lebaran. Saya jadi teringat istilah yuppies (young upwardly mobile professional) pada akhir tahun 1980 yang mencerminkan munculnya kelas konsumen baru akibat boom di pasar keuangan. Tentu saja istilah yuppies ini tak sepenuhnya tepat menggambarkan kelas konsumen baru ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang terjadi sebenarnya? Bukti anekdotal di atas bisa jadi sangat bias. Dalam statistik ada istilah sample selection bias. Fenomena yang saya ceritakan itu adalah fenomena kota besar, lebih spesifik lagi Jakarta. Maka, kita tak bisa menyimpulkan sesuatu dari bukti anekdotal itu. Itu sebabnya kita butuh data statistik yang lebih baik. Menariknya, data statistik seperti mendukung observasi amatiran tadi. Bank Dunia (2011) menulis ihwal pergeseran pola konsumsi. Dengan menggunakan data Survei Sosial-Ekonomi Nasional, laporan itu menunjukkan bahwa persentase penduduk dengan pengeluaran per kapita di atas US$ 2 per hari per meningkat dari 37,7 persen (2003) menjadi 56,5 persen (2010). Bank Dunia—meminjam batasan Asian Development Bank—mendefinisikan ini sebagai kelas menengah.
Tentu kita bisa berdebat apakah pengeluaran US$ 2 per hari per kapita bisa dianggap sebagai kelas menengah atau tidak, karena batasnya rendah sekali. Saya tidak berani menyebut ini dengan istilah kelas menengah. Konsep kelas menengah adalah sebuah konsep yang "membingungkan" dari sisi akademik. Pertama, soal definisi. Bagaimana kita mendefinisikan "middle class" atau strata menengah. Apakah dari segi pendapatan, jenis pekerjaan, atau hal lain. Kedua, strata ini tidak memiliki satu kohesi politik yang bisa merepresentasikan perilaku politiknya. Saya tak berminat masuk ke arena perdebatan itu.
Karena itu, mungkin baik saya gunakan istilah Kharas (2010), yaitu consumer class atau kelas konsumen. Ukurannya adalah pengeluaran atau pendapatan masyarakat. Sayangnya data Survei Sosial-Ekonomi Nasional adalah data pengeluaran, bukan data pendapatan. Karenanya, kita harus menghitung tingkat pendapatan dari data pengeluaran itu. Dengan mengasumsikan bahwa marginal propensity to consume adalah 0,65 untuk Indonesia (angka ini diperoleh dari studi yang dilakukan lebih dari 20 tahun lalu, angka sekarang mungkin lebih rendah lagi), kita tahu bahwa dari setiap kenaikan pendapatan Rp 1 akan dikonsumsi Rp 0,65.
Dengan menggunakan asumsi marginal propensity to consume tersebut, kita dapat menghitung bahwa untuk pengeluaran di atas US$ 6 per hari per kapita, estimasi pendapatannya adalah sekitar US$ 9 per kapita per hari (setahun US$ 3.240 per kapita). Angka ini kurang-lebih konsisten dengan pendapatan per kapita kita saat ini yang sekitar US$ 3.000. Menarik untuk melihat bahwa individu yang pengeluaran per kapitanya lebih dari US$ 6 per hari meningkat dari 1,7 persen (2003) menjadi 6,5 persen (2010). Artinya, dalam tujuh tahun terakhir terjadi kenaikan 11,5 juta orang. Jika saya gunakan batasan US$ 4 per hari, angkanya meningkat dari 5,7 persen (2003) menjadi 18,2 persen atau ada tambahan 30 juta orang. Pendeknya, dengan berbagai standar ini, kita bisa melihat memang ada kenaikan kelas konsumen baru.
Apakah ini khas Indonesia? Jawabannya tidak. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi di emerging economies (EM), negara-negara EM mengalami munculnya kelas konsumen baru atau kelas menengah baru (definisi Bank Dunia dan ADB). Di Indonesia, munculnya kelas konsumen baru didorong lagi oleh bonus demografi dengan penduduk muda. Saya kira itulah yang membantu menjelaskan cerita saya di awal tulisan ini mengenai perubahan pola konsumsi dan gaya hidup. Apa implikasinya?
Pertama, kita bisa menduga bahwa permintaan terhadap mobil, motor, telepon seluler, rumah, dan juga industri gaya hidup meningkat begitu tajam. Akan ada perubahan pola konsumsi. Sementara di masa lalu konsumsi didominasi barang kebutuhan pokok, sekarang dan di masa depan pola konsumsi akan ditentukan oleh apa yang diinginkan—bukan lagi sekadar apa yang dibutuhkan. Sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita dan munculnya kelas konsumen baru, urbanisasi akan semakin tinggi. Pada 2025, sekitar 50 persen penduduk Indonesia akan hidup di perkotaan (Bank Dunia, 2011). Angka ini akan meningkat menjadi hampir 70 persen pada 2050.
Kedua, urbanisasi yang cepat ini harus diantisipasi dengan investasi besar-besaran dengan infrastruktur seperti listrik, telekomunikasi, kereta api, dan jalan. Artinya, issue infrastruktur logistik menjadi semakin penting. Sayangnya, sampai hari ini anggaran infrastruktur relatif terbatas, karena kecilnya ruang fiskal. Urbanisasi akan membuat konsumsi energi, termasuk BBM bersubsidi, akan meningkat. Saya kira era energi dan pangan murah sudah berakhir. Sulit sekali untuk mempertahankan harga pangan dan energi yang murah, karena akan membebani fiskal kita. Tengok saja: dengan asumsi Indonesian Crude Price (ICP) US$ 80 per barel, besarnya subsidi BBM dalam bujet pemerintah adalah Rp 104 triliun (10 persen dari total bujet). Jika harga ICP meningkat menjadi US$ 120 per barel, beban subsidi menjadi Rp 211 triliun (21 persen dari total bujet). Ini akan mengurangi ruang fiskal, karena 20 persen sudah dialokasikan untuk pendidikan, 31 persen untuk belanja personel dan barang, 16 persen untuk interest payment, dan 21 persen untuk subsidi BBM.
Dengan kondisi ini ruang untuk alokasi belanja infrastruktur dan program kemiskinan menjadi amat kecil. Akibatnya, penduduk miskin akan terpukul. Apa yang bisa dilakukan? Ubah skema subsidi barang menjadi subsidi orang miskin dan infrastruktur. Caranya: menaikkan harga BBM dan mengalokasikannya dalam bentuk BOS, BLT, PNPM, dan program infrastruktur. Ironis sekali, defisit meningkat bukan untuk belanja modal, infrastruktur, atau penduduk miskin, melainkan untuk subsidi BBM, untuk dibakar! Karena itu, saya mendukung sepenuhnya posisi Menteri Keuangan agar ada kebijakan energi untuk membatasi subsidi ini. Jika pemerintah tak bisa menyediakan infrastruktur karena tak ada ruang fiskal, issue-nya akan berubah menjadi issue politik.
Ketiga, issue ekonomi-politik menjadi amat relevan. Pertumbuhan ekonomi yang mendorong munculnya kelas konsumen baru membawa implikasi ekonomi dan politik. Kelas konsumen baru—yang cerewet, kritis—dengan pendapatan yang lebih baik akan menuntut kualitas pelayanan jasa publik, kualitas barang yang lebih baik. Permintaan akan bergeser dari barang murah ke kualitas baik. Sementara dulu konsumsi ditentukan oleh kebutuhan, sekarang konsumsi didorong oleh keinginan. Artinya, kualitas menjadi penting. Ini membawa implikasi kepada perbaikan kualitas pelayanan jasa publik. Lebih penting lagi: semakin kerasnya tuntutan akan pemerintah dan parlemen yang bersih.
Dengan kondisi seperti itu, pemerintah tidak bisa lagi hanya berfokus pada akses, tapi juga kualitas. Pelayanan jasa publik yang buruk akan menjadi issue politik. Lihat bagaimana social media, seperti Facebook, BlackBerry Messenger, atau Twitter, dipenuhi kecerewetan kelas menengah baru ini dalam soal pelayanan jasa publik, kemacetan, korupsi, atau issue sosial-politik lainnya. Kelas konsumen baru juga mengubah nilai dan persepsi politik. Menarik melihat kasus India. World Values Survey yang dilakukan di India menunjukkan: pada 1995, sekitar 60 persen dari responden berpandangan demokrasi menjadi sebab buruknya kinerja perekonomian. Tapi pada 2001 terjadi perubahan yang luar biasa: mereka yang menganggap bahwa demokrasi buruk bagi perekonomian India turun dari 60 persen menjadi 40 persen.
Di sini saya melihat bahwa perubahan yang terjadi menuntut antisipasi yang berbeda dari pemerintah dan politikus di parlemen. Saya tak tahu persis apakah politikus di parlemen dan pemerintah membaca kecenderungan meningkatnya kelas konsumen ini. Jika tidak, saya khawatir akan terjadi ketidakcocokan: tuntutan untuk kebijakan ekonomi yang lebih rasional dan modern berhadapan dengan cara pikir politik parlemen dan pemerintah yang masih berada dalam era jurassic park.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kelas Konsumen Baru"