Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penulis naskah lakon prolifik, Wisran Hadi, meninggal di Lapai, Padang, Selasa pekan lalu. Usianya hampir 66 tahun (lahir 27 Juli 1945). Dia wafat di depan laptopnya, diduga terkena serangan jantung. Pertama kali mendapat serangan jantung pada 1992, sejak itu dia sebenarnya selalu berkonsultasi dengan dokter spesialis penyakit jantung.
Bertahun-tahun, terutama sepeninggal sastrawan A.A. Navis, yang wafat pada 2003, Wisran sibuk memikirkan dan mengurus kebudayaan dan kesenian daerah yang menguras emosinya. Pemerintah daerah Sumatera Barat dianggap tak peduli terhadap kebudayaan dan kesenian. Lembaga adat dinilai tak berfungsi. Agamawan disebut banyak berkhotbah.
Persoalan itu pernah disampaikan Wisran bersama belasan sastrawan dan budayawan kepada ketua dan anggota DPR asal Sumatera Barat di hotel berbintang pada 20 Juni 2011. Ketika itu Wisran sempat terkapar dan pingsan beberapa menit. Tapi ia kembali bangkit dan tak mau meninggalkan forum.
Saya mengenal Wisran sejak 1969 sebagai seniman kreatif, produktif, bahkan fenomenal dan kontroversial. Dia juga teguh memegang prinsip. Selain menulis naskah lakon, ia mengarang puisi, cerita pendek, novel, esai, melukis, dan tiap pekan mengisi kolom parodi di dua koran di Padang. Paling tidak ia sudah menulis 75 naskah sandiwara, dan 13 naskah sudah diterbitkan menjadi buku.
Rustandi Kartakusuma menyebut Wisran adalah gudang naskah lakon. Ia menulis 12 novel, dan 9 novel sudah diterbitkan. Novel pertama Wisran, berjudul Tamu, mendapat hadiah Buku Utama 1998. Dia juga punya dua kumpulan cerpen dan satu kumpulan puisi.
Wisran mendirikan Grup Bumi (Teater, Sastra, Seni Rupa) pada 1976. Lewat grup ini, ia jadi guru bagi puluhan, bahkan ratusan, anak muda yang berbakat di dunia kesenian. Dalam bergrup, ia menerapkan disiplin: siapa pun tak boleh meninggalkan ibadah dan sekolah! Wisran juga menyutradarai puluhan lakon (terutama karyanya sendiri) untuk dipentaskan di Padang, Padang Panjang, Bukit Tinggi, Pekanbaru, Medan, Jakarta, Yogyakarta, Bandung, bahkan sampai ke Malaysia dan Singapura.
Untuk menulis naskah lakon, Wisran "belajar" dari William Shakespeare, Jean Geraux, Moliere, Albert Camus, Sophocles, Muhammad Yamin, dan Asrul Sani. Untuk menulis dan menyutradarai lakon Imam Bonjol yang pernah digugat pemda Sumatera Barat, selama dua tahun ia mempelajari sosok Imam Bonjol secara menukik-mendalam.
Dalam masalah prinsip, bagi Wisran, hitam itu hitam, dan putih itu putih. Terutama bila menyangkut akidah: sama sekali tak ada kompromi. Namun Wisran terbuka untuk menerima pemikiran cerdas, bernas, dan bermaslahat. Ia pemikir kebudayaan Minangkabau mutakhir yang jeli, tajam, kritis, dan andal.
Wisran pernah mengikuti International Writing Program di Iowa City (1977), Observasi Teater Modern Amerika (1978), Observasi Teater Modern Amerika dan Jepang (1986/1987), serta menerima penghargaan South East Asia Write Award (2000). Penghargaan lain pernah dia terima dari pemerintah Indonesia, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, dan Pemerintah Kota Padang. Paling sering ia menerima penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Akhir tahun lalu ia menerima penghargaan dari Federasi Teater Indonesia.
Sejumlah budayawan dan sastrawan menyampaikan ucapan belasungkawa atas kematiannya. Beberapa sahabat, seperti Taufiq Ismail dan Gus tf Sakai, serta ratusan pelayat mengantar jasadnya ke liang lahad. Indonesia kembali kehilangan seorang tokoh hebat.
Wisran Hadi meninggalkan istri, Prof Dr Ir Raudha Thaib, MP, yang juga seorang sastrawan dan biasa menggunakan nama Upita Agustine. Juga lima orang anak dan lima cucu. Selamat jalan, dan tenanglah di alam akhir, Wisran Hadi.
Darman Moenir (Sastrawan, tinggal di Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo