Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Jaringan Nazaruddin di Kepolisian

4 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polah Nazaruddin melemparkan isu-isu panas semakin keterlaluan. Melalui BlackBerry Messenger, sebagai tersangka kasus suap wisma atlet SEA Games di Palembang, dari persembunyiannya di Singapura, dia enteng saja melontarkan tuduhan bahwa sejumlah koleganya sesama Partai Demokrat menerima kucuran duit miliaran rupiah dari proyek ini dan itu. Presiden Yudhoyono, aparat hukum, juga negara dibuat tak berdaya untuk membawanya pulang.

Semua tuduhan itu tak boleh ditelan mentah-mentah, karena tanpa bukti. Tapi jangan diabaikan begitu saja. Gawat kalau ternyata benar Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menerima fulus hasil ”rezeki” proyek atau jatah anggaran yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada semua koleganya sesama partai. Jelas berita besar—sebagaimana dituduhkan Nazaruddin—jika betul Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng mendapat jatah komisi proyek wisma atlet SEA Games.

Isu miring ini tentu layak diselidiki jika diungkapkan Nazaruddin di depan para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Siasat lempar batu sembunyi tangan yang dilakukannya ini hanya pertanda bahwa dia pengecut dan tak punya nyali untuk membongkar borok-borok korupsi. Pelbagai ulahnya itu bukan saja tak pantas, tapi juga jelas-jelas merupakan perbuatan melawan hukum. Bagi Partai Demokrat, walau terlambat, inilah saatnya memecat Nazaruddin sebagai anggota partai, dan akhirnya juga sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Perbuatan mempermainkan hukum itu sesungguhnya terjadi sejak dia kabur. Ia bebas melenggang ke Singapura pada 24 Mei lalu atau sehari sebelum dicekal. Bukan mustahil ada aparat atau orang dalam yang sengaja melindunginya dengan membocorkan informasi cekal. Karena itu, sebagai tindakan preventif, Komisi Pemberantasan Korupsi harus segera menutup celah-celah kebocoran ini dengan melakukan evaluasi sistem dan prosedur pencekalan bersama kepolisian, kejaksaan, dan instansi terkait lainnya.

Sindikat orang dalam yang diduga terlibat ”operasi penyelamatan Nazaruddin” juga harus ditindak. Jaringan Nazaruddin di kepolisian ternyata luar biasa. Ia bak seorang mafioso yang siap menghamburkan duit demi mendapat perlindungan. Beking pertama tertuju pada Komisaris Jenderal Ito Sumardi. Dalam data perusahaan Nazaruddin yang disita penyidik KPK, Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian itu tercatat sebagai penerima duit US$ 50 ribu. Komisi Pemberantasan Korupsi harus segera memanggil jenderal yang pekan lalu memasuki masa pensiun ini.

Masih ada orang dalam lain yang kudu diperiksa. Salah satunya Komisaris Besar Yurod Saleh, Direktur Penyidikan pada Deputi Penindakan KPK. Mantan analis utama di Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian—bekas anak buah Ito—ini berhubungan akrab dengan Komisaris Besar Yan Fitri Halimansyah, Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya, yang disebut-sebut menerima Rp 4 miliar dari Nazaruddin.

Nama Yan Fitri sempat disebutkan dalam berita acara pemeriksaan kasus penipuan dengan tersangka Daniel Sinambela. Daniel dijadikan tersangka pada pertengahan Januari lalu karena dianggap menipu dan menggelapkan uang Rp 24 miliar milik Nazaruddin.

Dalam berita acara itu, Daniel mengaku diminta Nazaruddin menemui Yan Fitri di kantornya di Tower Permai lantai enam pada awal Januari 2011, sebelum Daniel akhirnya dijadikan tersangka. Hubungan dekat Nazaruddin dan Yan Fitri ini harus diurai Komisi.

Makin maraknya penyidik yang diduga tak steril ini bisa dijadikan momentum bagi Komisi untuk mengangkat penyidik independen di luar kepolisian dan kejaksaan. Dalam Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan KPK adalah lembaga independen. Untuk itu, perangkat pelaksananya pun seyogianya independen. Selama ini kerap terjadi konflik kepentingan pada para penyidik kalau harus memeriksa kasus yang diduga melibatkan atasannya.

Pengangkatan penyidik di Komisi seharusnya tidaklah semata-mata didasari posisinya sebagai penyidik di lembaga hukum negara. Pengangkatan itu mesti dilandasi­ integritas, kemampuan, dan kecakapannya dalam melaksanakan fungsi penyidikan, khususnya yang terkait dengan perkara korupsi. Atas dasar ini, seharusnya KPK bisa dan diperbolehkan mengangkat penyidik di luar kepolisian dan kejaksaan, berbasis kompetensi dan transparansi. Upaya itu mesti segara ditempuh jika kita ingin lembaga antikorupsi ini semakin bertaji.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus