Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJADI calon wakil presiden tidak banyak mengubah Boediono, 66 tahun. Ia tetap santun, hati-hati berbicara, dan sederhana. Ia jarang melempar gurauan, meski bukan tak pernah bercanda.
Dalam kereta api Parahyangan yang membawanya ke Bandung, Jumat pekan lalu, misalnya, ia bisa juga melucu. Ketika itu Boediono ke kamar kecil. Seorang peserta rombongan punya niat yang sama, namun ragu-ragu akan kebersihan toilet kereta.
Kembali ke kursinya, Boediono ditanyai, ”Bagaimana toiletnya, Pak?” Sang calon wakil presiden tersenyum kecil lalu berujar, ”Kalau masih bisa ditahan, mendingan di Bandung aja, deh.”
Boediono masuk kabinet pertama kali di era Megawati Soekarnoputri. Ketika itu ia membenahi fiskal, kurs, suku bunga, dan pertumbuhan ekonomi. Pergolakan rupiah akibat gejolak politik ketika Abdurrahman Wahid jatuh dari kursi presiden dapat ia stabilkan pada kisaran Rp 9.000 per US$ 1.
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, ia sebetulnya diminta tetap bertahan di kursi Menteri Keuangan. Namun guru besar ekonomi Universitas Gadjah Mada ini mengaku ingin kembali mengajar. Ada kabar Boediono sungkan kepada Megawati, yang pada Pemilu 2004 dikalahkan Yudhoyono.
Bakda salat Jumat, beberapa jam sebelum deklarasi, Boediono menerima wartawan Tempo Arif Zulkifli, M. Taufiqurohman, Nugroho Dewanto, dan Setri Yasa, di sebuah restoran makanan Sunda di Kota Kembang itu.
Kapan pertama kali Anda ”dilamar” Yudhoyono untuk menjadi calon wakil presiden?
Pertemuan saya dengan beliau dilakukan tidak sekali. Prosesnya beberapa minggu. Saya menyampaikan kesediaan pada malam syukuran kemenangan Partai Demokrat yang digelar di Cikeas (Sabtu dua pekan lalu—Red.). Prosesnya panjang karena saya perlu berpikir agak lama.
Ketika ”dilamar”, kabarnya Anda minta waktu dua hari untuk berpikir?
Awalnya dua hari, namun akhirnya lebih dari itu. Saya perlu waktu berpikir, karena saya memasuki jenjang yang baru. Saya perlu menata pikiran saya dan berbicara dengan keluarga.
Ada resistensi dari keluarga?
Saya tak bisa bekerja tanpa dukungan keluarga. Tapi sejauh ini tidak ada resistensi.
Apa pertimbangan Anda menerima lamaran itu?
Saya sudah bekerja sama dengan beliau di kabinet selama tiga tahun. Saya sudah tahu gaya kepemimpinan beliau, dan saya merasa cocok. Beliau terbuka terhadap saran dan usul. Jadi, sebagai pembantu beliau, ada harapan bahwa ide-ide kita bisa dilaksanakan.
Pertimbangan lain?
Beliau menginginkan saya mendampinginya, dan saya bisa merasakan ajakan itu serius. Beliau menceritakan bermacam-macam tantangan Indonesia ke depan, jadi saya pikir ini bisa menjadi catatan akhir dari pengabdian aktif saya. Saya akan tetap mengabdi sampai akhir hayat kepada bangsa ini. Pengabdian aktif mungkin tidak selamanya, karena saya harus memberikan jalan bagi yang muda-muda. Ini pengalaman yang jarang didapat dalam hidup seseorang. Jadi, saya ambil keputusan menerima ajakan itu. Saya tahu saya harus belajar mendalami bidang baru ini, bidang yang banyak politiknya.
Kabarnya, ketika diminta Yudhoyono, Anda masih memikirkan nasib Bank Indonesia yang bakal Anda tinggalkan?
Pasti, karena saya merasa punya tanggung jawab di sana. Situasi Bank Indonesia sebetulnya cukup kondusif. Suasana makin baik dan interaksi di antara dewan gubernur juga bagus.
Konon, jawaban itu yang membuat Yudhoyono makin kesengsem pada Anda?
Ha-ha-ha....
Sempat minta petunjuk, berdoa, atau salat istikharah?
Ya, dengan cara saya.
Anda calon wakil presiden yang bukan dari unsur partai. Tanpa partai, posisi Anda akan seperti ”ban serep”...
Ban serep? Seperti yang saya katakan, SBY itu terbuka. Kalau ide kita bagus, beliau pasti mau menerima. Ini adalah indikasi bahwa saya tidak akan menjadi ban serep.
Di era SBY-JK, kedua pemimpin melakukan kontrol satu sama lain. Kalau ada indikasi JK punya konflik kepentingan, dengan caranya, SBY mengkritik. Demikian pula sebaliknya. Bagaimana nanti dengan Anda?
Saya tidak punya konflik kepentingan apa pun. SBY saya lihat juga tidak punya vested interest. Saya punya prinsip: saat menjalankan tugas, kita harus mengacu kepada kepentingan nasional. Vested interest jangan mempengaruhi pengambilan keputusan. Saya percaya, kalau tim kompak, saling percaya, sasaran akan tercapai. Saat ini saya melihatnya seperti itu, tapi dalam perjalanan bisa saja ada kemungkinan lain.
Artinya, Anda siap mengkritik SBY?
Saya tidak akan mengkritik, apalagi di publik. Namun, saya akan terbuka kepada beliau.
Akan ada pembagian tugas antara Anda dan SBY dalam pemerintahan nanti?
Belum tahu. Mungkin nanti kalau sudah terpilih, baru kita bahas. Namun tanggung jawab akhir kan tetap ada pada Presiden. Itu amanat konstitusi.
Pos menteri ekonomi sudah dibicarakan?
Belum, belum, terlalu dini. Kita lewati saja dulu proses ini.
Bagaimana nanti Anda menghadapi resistensi partai politik di lembaga legislatif?
Kepada mereka yang belum sreg dan belum yakin, kami akan memberikan penjelasan.
Rapat kerja Bank Indonesia dengan DPR tentang penurunan suku bunga pekan lalu dibatalkan karena Anda tak hadir. Ada yang berpendapat ini indikasi bahwa DPR akan ”rewel” pada Anda....
Saya kira, politik akhirnya adalah persoalan human approach agar muncul saling percaya. Kalau nantinya kita bisa mengembangkan sikap saling percaya, politik akan lebih lurus. Saya percaya politik yang dilandaskan pada ketulusan, kejujuran, toleransi, dan saling percaya akan menjadi politik dalam arti yang baik.
Dalam bahasa Inggris ada politik dengan ”p” kecil—politik praktis yang aneh-aneh—dan politik dengan ”p” besar, di mana semua diatur dengan rambu-rambu dan etika yang disepakati bersama. Kalau politik kita bisa secara bertahap beranjak dari ”p” kecil ke ”p” besar, saya kira kita akan lebih maju.
Politik dengan ”p” kecil itu termasuk sikap partai-partai yang sinis pada Anda?
No, no, no. Saya tidak mengatakan itu.
Dibandingkan yang lain, Anda bukanlah tokoh yang populer. Ada upaya untuk menggenjot popularitas?
Tidak. Itu sama sekali bukan tujuan saya. Saya akan tetap apa adanya. Saya hanya ingin pekerjaan yang diberikan itu bisa dilaksanakan. Kalau perlu tampil, saya akan tampil. Kalau perlu debat, saya akan debat. Tapi, kalau tidak perlu, tidak saya lakukan.
Siap berkampanye?
Semua harus saya lalui. Saya akan menyiapkan diri dengan baik. Berdebat dalam kampanye kan tidak harus berkeras-keras suara? Yang penting isinya.
Anda dituding agen neoliberalisme dan terlalu memihak asing....
Saya tidak tahu mengapa saya diberi label seperti itu. Sejak awal, dalam kebijakan ekonomi, saya selalu mendahulukan kepentingan nasional, kepentingan rakyat yang belum mendapatkan manfaat pembangunan.
Saya mungkin tidak langsung menangani masalah Bantuan Langsung Tunai, tapi semua kebijakan itu diambil ketika saya menjadi menteri koordinator. Semua kebijakan saya dukung penuh, baik dari segi anggaran maupun operasional.
Ketika menjadi Ketua Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional pada 1990-an, saya menangani kebijakan pemberantasan kemiskinan. Jadi, salah kalau ada yang melihat saya tidak peduli rakyat miskin. Memang program itu tidak kami publikasikan.
Jadi, program Anda nanti tetap pro-rakyat dan pro-orang miskin?
Sejak awal saya ingin bekerja untuk negara. Negara bukan berarti pemerintah. Kalau yang saya lakukan berbeda dengan yang lain, itu karena perbedaan pandangan mana yang lebih efektif untuk meningkatkan kemakmuran rakyat saja. Dari sisi tujuan, tidak ada bedanya, semua ingin meningkatkan kemakmuran rakyat. Jadi, kalau saya disebut pro-asing dan anti-ekonomi kerakyatan, saya rasa kok itu tidak fair.
Saya sedih mendengar tudingan itu. Saya tidak bercita-cita menjadi kaya. Sejak masih sekolah saya tidak ingin masuk dunia bisnis. Kalau saya mau bekerja di tempat lain (sebagai pengusaha), kemungkinan itu ada. Tapi saya ingin mengabdi kepada negara. Itu mungkin terlalu di awang-awang. Tapi terus terang, memang seperti itu keadaannya.
Yudhoyono dikenal hati-hati dalam mengambil keputusan, begitu pula Anda. Ada kekhawatiran pemerintahan nanti akan berjalan lambat....
Kita kan bekerja sebagai tim. Bukan hanya presiden dan wakil presiden, tapi seluruh kabinet. Artinya, menteri mendatang akan sangat menentukan kecepatan dalam pengambilan keputusan. Konservatif dan hati-hati adalah sesuatu yang diperlukan. Tak perlu ditakuti dari awal.
Seperti naik sepeda, harus hati-hati, kan? Tapi harus tetap maju. Kalau kita tetap menjaga kestabilan tapi tidak maju, ya akan jatuh. Tapi, kalau maju terus tanpa menjaga kestabilan, akan jatuh juga. Tidak ada yang bisa maju tanpa keseimbangan atau kehati-hatian. Cuma waktunya berbeda-beda. Pada masa krisis, kehati-hatian penting. Masa agak tenang, menggenjot ke depan itu juga jadi penting. Jadi kita harus mencari irama yang pas.
Nama Anda juga kerap disebut dalam skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)....
Saya memang di Bank Indonesia pada saat itu. Kita berdebat pada saat itu soal penanganan BLBI. Semua anggota dewan gubernur saat itu telah pula diperiksa mendalam oleh kejaksaan. Beberapa ada yang menjadi kasus hukum. Kita seharusnya melihat kasus ini secara detail. Sebab, kalau itu terus-terus diungkap, bagaimana kita ini?
Apakah sudah memiliki program?
Langkah pemerintah sekarang banyak yang bagus. Bidang infrastruktur akan kita teruskan. Sebab, kalau ingin meningkatkan produktivitas satu bangsa, antara lain infrastrukturnya harus bagus. Kita tinggal lihat mana yang harus dipertajam, ditingkatkan, atau disesuaikan. Yang kedua, pemberantasan kemiskinan dan pengangguran. Program ini sudah dilakukan sekarang, namun harus ditingkatkan lagi.
Di era pemerintahan SBY-JK, ekonomi diklaim tumbuh dengan baik, salah satunya karena utang pemerintah semakin kecil. Namun, di sisi lain, utang komersial naik signifikan. Pendapat Anda?
Di negara yang terbelakang dan sedikit maju, pinjaman lunak dari pemerintah biasanya besar pada tingkat bawah. Itu karena supply memang disediakan untuk negara-negara yang terbelakang. Pinjaman lunak banyak diarahkan ke negara yang PDB-nya rendah karena kemampuan mengakses utang sangat rendah. Makanya dalam data, centenary loan banyak diterima negara terbelakang. Sedangkan yang commercial loan mereka lebih sedikit.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia beranjak naik. Sejak 1970 hingga sekarang kita terus naik kelas. Baru-baru ini saja lho, kita bisa mendapat akses ke pasar komersial. Saya kira ini prestasi. Namun tidak berarti kita bisa menggunakan utang seenaknya tanpa aturan. Sebab, yang commercial syaratnya lebih ketat. Kalau kita salah, pasar akan menghukum.
Kebijakannya, jumlah utang kita upayakan pada proporsi yang aman. Ini untuk menjaga kemampuan kita membayar kembali. Rasio utang terhadap gross domestic product (GDP) kita kan menurun terus. Ini pertanda baik. Coba bandingkan dengan negara lain di sekitar kita, rasio GDP Indonesia tidak terlalu buruk.
Ada anggapan utang itu tabu?
Utang jangan dianggap tabu. Kita boleh utang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun utang itu harus aman dari segi makro: tidak boleh lebih dari jumlah tertentu dan jangka jatuh tempo harus seimbang. Utang harus digunakan untuk kegiatan produktif atau untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara langsung.
Artinya, kita tidak perlu alergi pada utang kalau tujuannya sesuai dengan ketentuan dan jumlahnya sesuai dengan batasan. Semua negara melakukan itu dalam standar-standar tertentu.
Bagaimana dengan lambatnya sektor rill karena perbankan lamban menurunkan suku bunga meski BI terus memangkas bunga acuan?
Ini memang persoalan. BI Rate dipangkas, tapi bank tak langsung menurunkan bunga. Sebetulnya mereka menurunkan, tapi tak secepat langkah BI. Saat ini bank enggan meminjamkan dana ke orang lain karena khawatir macet. Ini terjadi di Amerika Serikat, namun sedikit-sedikit telah menular ke Indonesia.
Selain itu, bank juga saling tunggu. Kalau Bank A tidak menurunkan bunga, Bank B tidak mau juga. Ini harus dicari kesepakatannya. Kemudian ada masalah transaksi antarbank. Ketika krisis keuangan global terjadi, transaksi counter-part tidak lancar. Dampaknya, bank menjadi khawatir: kalau kita mencairkan kredit, suatu waktu nanti kita kekurangan likuiditas, lalu bagaimana mencarinya? Kalau transaksi antarbank lancar seperti sebelum krisis, bunga akan bisa turun.
Selain itu adalah masalah masih tingginya spread antara cost of fund dan lending limit. Ini terus kita pantau. Jangan sampai bank-bank dipaksa menurunkan suku bunga, namun kemudian gagal dan jatuh, dan biayanya akan lebih besar.
Bagaimana dengan penyerapan anggaran yang masih rendah?
Saya kira itu benar. Menteri Keuangan harus mengupayakan perbaikan mekanisme APBN. Namun bocornya anggaran sudah mendapat perhatian. Yang harus menjadi prioritas adalah bagaimana mengubah mekanismenya. Sisi pengeluaran yang harus mendapat perhatian. Kebijakan fiskal nanti juga akan menjadi instrumen yang efektif. Tidak hanya di atas kertas, tapi harus lebih bersifat operasional.
Prof Dr Boediono Lahir: Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943 | Istri: Herawati | Anak: Ratriana Ekarini dan Dios Kurniawan | Pendidikan: S-1: Bachelor of Economics (Hons.), University of Western Australia (1967) ; S-2: Master of Economics, Monash University, Melbourne, Australia (1972) ; S-3: Doktor Ekonomi Bisnis Wharton School University of Pennsylvania, Amerika Serikat 1979 | Pekerjaan: Gubernur Bank Indonesia (2008-2009) ; Menteri Koordinator Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu (2005-2008) ; Menteri Keuangan Kabinet Gotong-Royong (2001-2004) ; Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999) ; Direktur I Bank Indonesia Urusan Operasi dan Pengendalian Moneter (1997-1998) ; Dosen Fakultas Ekonomi UGM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo