Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEBU tuntutan pemekaran wilayah berakhir tragis di Sumatera Utara. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Abdul Aziz Angkat, tewas akibat aksi anarkis yang menginginkan terbentuknya Provinsi Tapanuli. Setelah kematian Abdul Aziz, banyak pihak mulai berpikir ulang: sungguhkah pemekaran wilayah bermanfaat?
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Prof Dr Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, PhD, termasuk yang berpendapat bahwa pemekaran wilayah lebih banyak membawa mudarat. Survei yang dilakukan United Nations Development Programme dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional juga menunjukkan daerah baru hasil pemekaran justru sulit berkembang. Jika kecenderungan ini tak dihentikan, pelayanan masyarakat malah mengalami kemunduran.
Pada Rabu malam pekan lalu, Nugroho Dewanto, Arif Kuswardono, dan Harun Mahbub dari Tempo berbincang dengan Bambang di rumahnya yang asri di kawasan Jatipadang, Jakarta Selatan. Pria yang pada April mendatang memangku posisi Direktur Riset Bank Pembangunan Islam itu tak hanya menyerukan agar pemekaran wilayah dihentikan; ia juga menyarankan penggabungan daerah, agar ekonomi lebih berkembang.
Benarkah pemekaran wilayah menguntungkan masyarakat?
Dilihat dari konsepnya, peran pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan masyarakat, karena dia merupakan unit yang terdekat dengan masyarakat. Kelemahan sentralisasi di masa lalu ialah sering kali yang melayani tidak mengerti kebutuhan yang dilayani.
Apa yang membuat pemekaran wilayah begitu subur setelah era reformasi?
Masyarakat di daerah melihat peluang. Seingat saya, daerah yang mendaftar untuk dimekarkan semuanya lolos. Jadi, orang melihat prosesnya gampang. Alasan pelayanan masyarakat yang kurang bagus hanya menjadi tameng. Alasan yang esensial macam-macam. Ada kepentingan pribadi, kelompok, etnis, agama, dan sebagainya.
Kepentingan seperti itu jugakah yang muncul dalam tuntutan pembentukan Provinsi Tapanuli?
Bila melihat sejarah Sumatera Utara, dari zaman Pak Harto sampai sekarang, mayoritas gubernurnya bukan Batak yang beragama Kristen. Kebanyakan Melayu atau Batak muslim. Nah, orang-orang Batak Kristen merasa disingkirkan. Dalam konteks pembangunan wilayah, kita lihat di Sumatera Utara yang berkembang hanya daerah pantai timur. Wilayah pantai barat tertinggal.
Sepertinya Dewan Perwakilan Rakyat ikut mendorong pemekaran wilayah dengan hak inisiatifnya.…
Ya. Ketika pemerintah mulai mengendalikan, menyetop, membuat moratorium dan segala macam, yang tidak diantisipasi adalah hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. Kalau kita lihat, produk legislatif DPR menyangkut otonomi tinggal copy paste, ganti nama daerah, ganti garis lintang bujurnya, dapat undang-undang baru.
Pemerintah tak berdaya mencegah?
Pemerintah kadang berpikir, kalau mereka tidak setuju, nanti DPR akan membalas. Karena itu pemerintah tidak mau repot, tidak mau menghalangi DPR. Makanya pengusul pemekaran daerah mati-matian melobi DPR. Bila lewat pemerintah, jalannya cukup panjang. Ada kemungkinan tidak lolos di tingkat Departemen Dalam Negeri atau Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Tapi, kalau lewat DPR, pasti lolos karena langsung masuk RUU, dan pemerintah dalam posisi tidak gampang untuk mengatakan tidak.
Alih-alih pelayanan masyarakat membaik, di beberapa daerah hasil pemekaran justru korupsi makin berbiak.…
Korupsi itu tanda kualitas pelayanan publik buruk. Data pertumbuhan ekonomi daerah hasil pemekaran dengan data di kementerian daerah tertinggal menunjukkan cukup banyak daerah baru langsung masuk kategori daerah tertinggal. Mungkin kita ingat kelaparan di Yahukimo, Papua. Yahukimo adalah hasil pemekaran daerah. Jadi, ketika pemekaran dilakukan, malah muncul kelaparan. Ini berarti layanan publiknya tidak jalan.
Aparatnya belum siap?
Mereka belum siap, dan anggaran terbatas. Dana alokasi umum kan dibagikan ke semua kabupaten? Ketika ada pemekaran, dana itu diambilkan dari daerah induk, berkurang masuk ke daerah pemekaran. Karena banyak daerah baru, uang yang diterima per daerah makin kecil. Padahal, daerah punya ongkos tetap yang tidak bisa diapa-apakan. Misalnya, gaji pegawai yang terus bertambah, membangun sarana dan sistem pemerintahan. Uang yang tersisa untuk layanan publik pun makin kecil. Wajar kalau kualitas layanan menurun karena uang operasional tak banyak lagi.
Jadi, apa rekomendasi Anda tentang pemekaran wilayah?
Pemekaran wilayah harus dihentikan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan, suatu daerah bisa dimekarkan atau digabungkan. Tapi, sampai hari ini penggabungan nol. Siapa mau dari bupati balik lagi jadi camat? Kuncinya, harus ada insentif dan penalti. Insentif diberikan bila suatu daerah mau bergabung. Itu dilakukan di Jepang, sehingga jumlah pemerintah daerah di Jepang menyusut. Yang didorong bergabung adalah daerah perkotaan, sehingga menjadi metropolitan tersendiri. Mereka diberi dana khusus sehingga dapat berfungsi menjadi satu unit pemerintahan. Kalau kita kan malah nambah terus, sampai lima ratus kabupaten dan kota. Cara kedua, adakan evaluasi yang ketat. Setelah beberapa tahun, lima tahun misalnya, kalau pemerintah daerah tidak mampu melayani kebutuhan dasar masyarakat, dia harus bergabung dengan daerah induknya kembali, atau dengan tetangganya. Nah, evaluasi itu, kalau mau adil, jangan hanya daerah hasil pemekaran, tapi juga daerah lain.
Tidak adakah contoh daerah hasil pemekaran yang sukses?
Mmm.... (berpikir lama), tidak ada. Bila melihat tokoh bupati dan wali kota pilihan Tempo, misalnya, kebanyakan dari daerah induk. Daerah hasil pemekaran biasa-biasa saja, medioker. Saya melihat pemekaran malah lebih merugikan secara ekonomi: pelayanan publik menurun, skala ekonomi mengecil sehingga tidak efisien, dan makin kuatnya primordialisme di daerah-daerah di Indonesia.
Bukankah ada juga gubernur hasil pemekaran daerah yang sukses?
Ya, seperti di Gorontalo. Gubernur yang sukses itu mempunyai visi ekonomi wilayah. Bagaimana mengembangkan ekonomi wilayah, terutama bisnisnya. Kalau gubernurnya cuma politikus yang terpilih lewat hura-hura kampanye, agak sukar mengharapkan dia punya fungsi mensinergikan wilayahnya. Mereka malah menjalankan tugas yang tidak perlu seperti pendidikan dan kesehatan murah, padahal itu wewenang di level bupati dan wali kota.
Apa gubernur tidak boleh mengembangkan pelayanan publik?
Menurut undang-undang, kewenangan otonomi itu ada di tangan bupati dan wali kota. Gubernur ada kekuasaan otonominya, tapi terbatas. Dia lebih berfungsi sebagai wakil pemerintah pusat. Jadi, aneh kalau melihat perebutan jabatan gubernur sekarang. Karena berebut posisi yang sebenarnya bukan sasaran otonomi daerah. Itu juga yang perlu dikoreksi.
Kalau wewenang gubernur terbatas, mengapa posisi itu masih diperebutkan?
Keadaan membuat gubernur seolah-olah hebat. Contohnya, media memuat berita pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Timur secara besar-besaran. Itu kan pemborosan? Lucunya lagi, gubernur melakukan kampanye seperti bupati, menjanjikan pendidikan gratis dan kesehatan murah, padahal itu kan tergantung kabupaten dan kota? Bayangkan, gubernur sudah bilang begitu, dalam prakteknya bupati atau wali kota menolak karena tidak punya uang. Ini bukan era Orde Baru, ada sentralisasi ketika kepala daerah tingkat dua harus nurut kepada kepala daerah tingkat satu.
Jadi, tak perlu ada pemilihan gubernur secara langsung?
Tidak perlu. Sesuai dengan fungsinya, gubernur adalah wakil pemerintah pusat, yang mengkoordinasi daerah otonom. Jadi, DPRD bisa memilih tiga kandidat, biar pusat yang menunjuk. Dengan demikian, pemerintah mendapat orang yang bisa mewakili dia, dan acceptable di daerah.
Gubernur ini yang mengkoordinasi pembangunan ekonomi?
Gubernur menjadi wakil pemerintah pusat yang mengkoordinasi daerah otonomi. Perekonomian daerah bisa berkembang bila wilayahnya luas, economic of scale-nya tercapai. Yahukimo cuma berpenduduk 10 ribu orang, bagaimana bisa berkembang? Daerah yang punya potensi berkembang itu minimal setingkat provinsi. Dalam bayangan saya, gubernur adalah orang yang bisa memikirkan economic integration di antara kabupaten dan kota di wilayahnya.
Tempat dan Tanggal Lahir :Jakarta, 3 Oktober 1966
Pendidikan
Karier
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo