Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#CC0000>Mari Elka Pangestu:</font><br />Di Cina Juga Ada yang Belum Siap

12 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR tiga bulan Menteri Perdagangan Mari Pangestu seolah menghindar dari kejaran wartawan yang bertanya tentang perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Cina. Sejumlah pengusaha dalam negeri sempat menuduhnya ”terlalu lunak kepada Cina” dan ”tak memperjuangkan kepentingan nasional”. Ia dinilai tak cukup mendesak perundingan kembali perjanjian kawasan perdagangan bebas ASEAN-Cina, yang dianggap merugikan beberapa industri lokal.

Puasa bicara Mari baru berakhir setelah Sabtu dua pekan lalu dia bertemu dengan Menteri Perdagangan Cina Chen Deming di Yogyakarta. Ia menjelaskan bahwa kedua negara sepakat menjaga keseimbangan dan keberlanjutan perdagangan. Kalau ada ketidakseimbangan, negara yang mengalami surplus wajib mengimpor atau mendorong ekspor dari negara yang defisit. Selain itu, Cina berkomitmen melakukan investasi dan membantu pembiayaan sektor manufaktur Indonesia. Kedua hasil itu dianggap lebih realistis ketimbang renegosiasi, yang biayanya lebih besar.

Tak banyak yang tahu, kesepakatan itu ditempuh lewat perundingan terus-menerus selama tiga bulan penuh di antara pejabat senior kedua negara. ”Dalam berunding kita tak boleh terlalu bercerita apa yang sedang dilakukan. Setelah selesai baru bisa bercerita dan lihat hasilnya konkret,” ujar Mari.

Kesepakatan dicapai, Mari langsung bersafari. Dia berkunjung ke PT Krakatau Steel di Cilegon, Banten. Dia juga menemui asosiasi pengusaha sepatu dan tekstil. Di sela rapat maraton itu, Mari menerima tim wartawan Tempo di kantor Kementerian Perdagangan, Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu.

Apa latar belakangnya sehingga pertemuan dengan Menteri Perdagangan Cina Chen Deming di Yogyakarta tak membahas renegosiasi ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) seperti diusulkan beberapa sektor industri?

Kita memang diminta melakukan pembicaraan khusus mengenai sektor industri dalam negeri, yang menyatakan kekhawatiran pada dampak negatif ACFTA. Selama tiga bulan terakhir kita melakukan pembicaraan khusus dengan Cina. Hasilnya sudah diumumkan pada Sabtu pekan lalu di Yogyakarta. Ada hasil khusus sehubungan dengan implementasi ACFTA. Ada hasil lain terkait dengan join commission meeting ke-10 mengenai rencana aksi investasi dan perdagangan lima tahun ke depan.

Mengapa tak ada renegosiasi?

Kalau renegosiasi, berarti kita harus membayar kompensasi. Kita harus menawarkan sektor lain yang akan dibuka lebih cepat atau Cina menutup sektor lain yang menjadi kekhawatirannya. Plus kita harus bernegosiasi dengan negara ASEAN lain. Jadi, nanti renegosiasi itu tarif per tarif, sehingga cost-nya tinggi dan perlu waktu lama. Padahal sektor ini masalahnya ingin cepat. Kita berfokus bagaimana mengatasi masalah sektor ini.

Apa yang telah dicapai dalam kesepakatan itu?

Kita sepakat menjaga keseimbangan dan keberlanjutan perdagangan bilateral. Kalau ada ketidakseimbangan, negara yang surplus wajib mengimpor atau mendorong ekspor dari negara yang defisit. Kita juga akan membentuk working group dua belah pihak sebelum dua bulan. Working group ini akan melakukan evaluasi dan monitoring yang membuat rekomendasi untuk menjaga keseimbangan.

Apa kompensasi lain?

Selain itu, kita mendapat investasi dan pendanaan. Kalau kita bahas tarif per tarif, kita hanya bicara di perdagangan. Tapi kesepakatan yang kita capai mendapat lebih dari hanya isu perdagangan. Ada juga kesepakatan dan komitmen untuk revitalisasi, misalnya untuk industri tekstil yang memerlukan mesin. Mekanisme yang didorong adalah business to business. Kita juga mendorong pendanaan antarbank, antara Bank Exim Cina, ICBC (Industrial and Commercial Bank of China), dan LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia). Kita harapkan bank lain di sini juga menyediakan pendanaan.

Bagaimana dengan pembiayaan di bidang infrastruktur?

Kerja sama bidang infrastruktur intinya meningkatkan daya saing kita. Kita sedang menyusun perjanjian bidang infrastruktur yang menjadi payung untuk meningkatkan investasi Cina, misalnya transportasi.

Mengapa pertemuan di Yogyakarta tidak disebut saja renegosiasi?

Kita memang tak pernah menyebut renegosiasi. Yang menjadi komitmen pemerintah adalah melakukan pembicaraan ulang untuk sektor yang menyampaikan kekhawatiran. Hasil yang telah dicapai bisa dinilai sendiri. Kita melihat lebih positif daripada renegosiasi secara tarif per tarif. Renegosiasi merupakan sesuatu yang kompleks dan berbiaya tinggi.

Biaya tinggi itu berapa?

Tak bisa dihitung. Kita tak tahu Cina dan negara ASEAN lain akan minta apa dan sektor mana. Artinya, ada sektor lain yang harus berkorban untuk penundaan ini. Saya kira kalau kita masuk ke wilayah hitung-hitungan tak akan selesai. Lebih baik berfokus ke masalahnya, misalnya tekstil menyampaikan perlunya revitalisasi mesin dan persaingan yang tidak adil.

Tak semua industri tekstil keberatan adanya perdagangan bebas dengan Cina?

Iya. Beberapa industri tekstil kita masih sangat kompetitif. Bahkan kita ekspor denim ke Cina. Untuk kualitas baik dan medium ke atas tak jadi masalah.

Bagaimana tanggapan pelaku industri terhadap kesepakatan Yogyakarta?

Kita sudah bertemu dengan Kadin, Asosiasi Besi Baja, Asosiasi Pertekstilan dan Sepatu. Kita menjelaskan apa yang sudah dihasilkan dan meminta mereka aktif karena mereka yang akan berperan dalam kesepakatan ini. Ada juga yang kita bahas tapi tak tertulis dalam kesepakatan seperti investasi dari Cina. Di sini asosiasi atau bisnis sangat berperan. Dan working group harus bekerja keras menghasilkan aksi tepat.

Apakah kesepakatan ini sekaligus persiapan menyambut Perdana Menteri Cina Wen Jiabao pada akhir April nanti?

Iya, dalam arti join commission meeting. Kita harus menyepakati berbagai hal yang akan ditandatangani oleh para kepala negara nanti. Misalnya kita masuk tahap kedua kemitraan strategis yang ditandatangani sejak 2005. Waktu itu targetnya meningkatkan perdagangan bilateral US$ 30 miliar dari 2005 sampai 2010. Target itu tercapai pada 2008. Kita bikin target baru 2010 sampai 2014 untuk perdagangan bilateral mencapai US$ 50 miliar. Tapi yang penting sebenarnya komposisi, bukan hanya target kuantitatif. Prinsipnya meningkat tapi harus berkelanjutan dan saling menguntungkan.

Termasuk target investasi bidang infrastruktur?

Kalau membuat target investasi kuantitatif agak susah, sehingga lebih diarahkan pada prioritas. Prioritas investasi itu infrastruktur sehingga bisa meningkatkan daya saing industri maupun nilai tambah di sumber daya alam. Akan ada payung baru untuk meningkatkan kerja sama infrastruktur sehingga menjadi kerangka kerja sama. Pengalaman lima tahun terakhir, masing-masing tak tahu peraturan yang ada. Apalagi sudah bicara tentang soft loan, seperti pengalaman proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt pertama yang tak lancar. Pengalaman kita, yang sering disampaikan eksportir, menghadapi hambatan akses ke pasar Cina. Bisa jadi tarif nol tapi kesulitan, misalnya karantina atau standar.

Termasuk bank asal Indonesia yang susah masuk ke Cina, tapi bank asing dengan mudah masuk ke Indonesia?

Ya, itu juga dibahas dalam join commission meeting. Kalau sudah ada perjanjian antara bank sentral kita dan China Regulation Banking Commission di sana, akses bank akan lebih mudah. Kalau sudah ada perjanjian, Bank Mandiri boleh membuka cabang di Cina. Perjanjian itu ditandatangani saat Perdana Menteri Wen Jiabao datang.

Ada dana US$ 1,8 miliar pinjaman kredit ekspor dari Cina?

Sebenarnya bukan hal baru. Dana itu telah disetujui beberapa tahun lalu tapi belum digunakan. Ada enam proyek yang sudah disetujui, misalnya jembatan, jalan, dan pembelian kereta api. Masih ada sisa yang sedang dibahas. Cina punya komitmen yang diikat dengan kesepakatan, sehingga kalau tak cukup bisa ditingkatkan.

Kesepakatan dengan Cina itu sepertinya mulus semua, termasuk masalah impor pesawat Merpati dari Xian?

Persoalan impor pesawat sudah selesai semua. B to B, Merpati dan Xian. Komitmen kita ada di situ dan mereka sangat positif. Dalam perjanjian pertama khusus ACFTA, Cina selalu meminta masukan, ”Oke, kekhawatiran Anda di mana. Mari kita selesaikan.” Itulah spirit kemitraan strategis yang harus di-appreciate. Tapi appreciate saja tak cukup, harus ada working group yang benar-benar working, ha-ha-ha....

Ada kesan dari luar, pemerintah dianggap lembek menghadapi Cina?

Dalam bernegosiasi, kita tak boleh terlalu bercerita apa yang sedang dilakukan. Setelah selesai, baru bercerita dan lihat hasilnya konkret.

Bagaimana dengan suara dari asosiasi?

Saya rasa mereka pun mengapresiasi. Tapi tentu menunggu realisasi. Bukan hanya pemerintah, asosiasi juga harus bekerja. Kalau tak membuat proposal yang jelas, realisasinya tak akan seoptimal yang diharapkan.

Termasuk meyakinkan perdagangan bebas ini bukan ancaman, tapi peluang?

Iya. Perjanjian bukan hanya membahas kekhawatiran sektor yang bermasalah, juga mendorong ekspor kita ke sana, sehingga bisa menikmati potensi pasar yang terbuka.

Dalam proses kesepakatan, Kementerian Perindustrian merasa tak dilibatkan?

Kita kan dikasih mandat membicarakan ulang soal sektor itu. Kita sudah paham apa yang diinginkan. Kita mencapai target itu. Nah, setelah ada kesepakatan, baru melibatkan semua.

Bagaimana evaluasi perdagangan bebas dalam tiga bulan pertama?

Ada peningkatan. Ekspor kita ke Cina, Januari-Februari meningkat 138 persen dari US$ 840 juta menjadi US$ 2 miliar. Impor juga naik dari 2 sekian menjadi 2,9 persen. Tapi kenaikan impor hanya 50 persen. Jadi kenaikan ekspor jauh lebih tinggi daripada impor, sehingga defisit sangat kurang. Yang menarik dari data Cina, impor dari Indonesia meningkat pesat. Artinya, Cina defisit dengan Indonesia atau kita surplus dengan dia.

Sejak perdagangan bebas berlaku, Bea-Cukai menemukan pemalsuan dokumen impor di negara asal meningkat?

Saya belum tahu meningkat atau tidak. Tapi, dengan implementasi penuh ini, kita pasti memperketat aturan sehingga tak disalahgunakan. Kalau ada produk dengan muatan 40 persen dari Cina atau negara ASEAN, boleh masuk dengan bea masuk nol atau rendah.

DPR sempat berencana membentuk panitia kerja perdagangan bebas?

Itu lihat saja nanti perkembangannya. Bagi saya, yang sudah dilaporkan itulah yang dikerjakan pemerintah. Kita sampaikan rencana dan sikap pemerintah menghadapi kekhawatiran dengan pembicaraan ulang. Ada juga langkah lain seperti pengamanan perdagangan. Intinya mengamankan perdagangan tak adil, seperti impor jumlah besar atau impor dengan harga murah. Perdagangan tak adil juga berupa penyelundupan serta penjualan barang tak memenuhi standar. Bahaya buat konsumen dan tak sehat bersaing karena produk dalam negeri harus memenuhi standar, label, dan sebagainya.

Bagaimana peluang produk kita di pasar Cina?

Cina merupakan pasar yang mengalami pertumbuhan tinggi. Tahun lalu tumbuh 8 persen, sekarang diperkirakan 10 persen. Tahun 2009, saat krisis global, total ekspor Indonesia ke Cina turunnya sedikit sekali US$ 11,6 miliar menjadi US$ 11,5 miliar. Ekspor nonmigas bahkan naik dari US$ 7,9 miliar menjadi US$ 8,9 miliar. Padahal total ekspor nonmigas kita turun 10 persen. Dalam dua bulan pertama, ekspor kita naik 138 persen. Kita mencoba mengatasi hambatan seperti standar dan karantina. Juga menggalakkan promosi, seperti ikut di World Expo di Shanghai selama enam bulan, mulai Mei nanti.

Kalangan industri menilai Indonesia seharusnya punya posisi tawar, ternyata kesepakatan itu sekadar diplomatis?

Negosiasi itu kan selalu harus ada yang dibayar atau dikompensasikan. Justru kalau kita bernegosiasi dalam suatu perjanjian tak akan menguntungkan. Akhirnya dibawa dalam konteks lebih besar, sehingga bisa menjawab aspek perdagangan yang tak berimbang, investasi yang bisa ditingkatkan, dan pembiayaan infrastruktur. Ujungnya, meningkatkan daya saing. Intinya, kesepakatan ini mengatasi masalah yang dialami sektor tersebut.

Jadi, kalau ada industri berteriak sekarang bisa diartikan belum siap menghadapi perdagangan bebas?

Atau mungkin tak memahami apa yang telah menjadi kesepakatan. Dalam perdagangan bebas memang tak semua industri merasa siap. Di Cina juga ada industri yang menyatakan belum siap. Tapi itu komitmen kita yang harus ditindaklanjuti.

MARI ELKA PANGESTU

Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 23 Oktober 1956 

Pendidikan:

  • Master ekonomi bidang perdagangan internasional, keuangan, dan ekonomi moneter dari Australian National University, Canberra (1980)
  • PhD ekonomi bidang perdagangan internasional, keuangan, dan ekonomi moneter dari Universitas California, Davis (1986)

    Pekerjaan:

  • Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesial
  • Menteri Perdagangan 2004–sekarang
  • Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus