Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#FF3300>Abdul Hafiz Anshary: </font><br />Nantinya Partai Harus Berkoalisi

15 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMILIHAN umum tinggal lima bulan lagi. Banyak kritik dialamatkan ke Komisi Pemilihan Umum. Sejumlah kalangan, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat, ragu pemilu bakal sukses. Namun Ketua Komisi Pemilihan Umum Abdul Hafiz Anshary menyatakan, ”Insya Allah, semuanya lancar.” Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan itu tampak tetap optimistis.

Dibanding Ketua Komisi Pemilihan Umum periode sebelumnya, Hafiz terkesan lebih ”pendiam”. Ia bahkan mengabaikan sejumlah kritik yang kerap muncul di media massa. ”Menurut pengamatan kami, yang mengkritik hanya orang yang itu-itu saja,” kata guru besar sejarah peradaban Islam di Institut Agama Islam Negeri Antasari, Banjarmasin, itu.

Dengan jumlah peserta lebih banyak, Pemilu 2009 akan berbeda dari pemilu sebelumnya. ”Teknisnya jauh lebih rumit. Itu yang perlu dipahami,” ujar Hafiz. Ada pula ancaman lain: menurunnya partisipasi pemilih. Akhir November lalu, Arif Kuswardono, Gabriel Titiyoga, dan Cornila Desyana dari Tempo mewawancarai Hafiz di kantor Komisi Pemilihan Umum di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat.

Bagaimana persiapan pemilihan umum yang tinggal lima bulan lagi?

Ada beberapa hal terkait persiapan pemilihan umum. Pertama perencanaan. Sejak awal, program kita disusun sampai tahap pelaksanaan dan pascapemilu. Jadi, bila ada masalah, tinggal melakukan penyesuaian. Tapi kita konsisten—dalam bahasa saya—pada porosnya. Poros itu, misalnya, pada 1 Oktober 2009 Dewan Perwakilan Rakyat harus dilantik. Sebab, undang-undang tidak mengatur soal kekosongan masa jabatan Dewan. Pada 20 Oktober, presiden terpilih harus dilantik. Empat belas hari sebelumnya, presiden baru harus sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Satu hari saja tertunda, akan terjadi kekosongan kekuasaan.

Bagaimana persiapan personalia?

Menyangkut organisasi dan personalia, pada dasarnya yang melaksanakan pemilu adalah KPU dengan jajaran pemerintah, hingga tingkat pemerintah kota atau kabupaten. Di KPU pusat, personelnya telah dilantik hingga eselon yang paling bawah. Di daerah ada 30 KPU provinsi yang sudah dilantik. Dua provinsi belum dilantik karena masih dalam proses pemilihan ketua, yaitu Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Di Papua Barat, masa jabatannya baru berakhir April nanti. Jadi, untuk yang satu ini, masa jabatannya diperpanjang.

Bagaimana dengan pengadaan logistik?

Menyangkut bilik suara dan kotak suara, yang telah tersedia 60-70 persen dari kebutuhan. Masih dibutuhkan 30-40 persen tambahan. Soal ini, KPU daerah yang mengurusnya. Yang ditangani KPU pusat itu hanya surat suara, segel, dan tinta. Sampul, formulir, dan alat pemberian suara ditangani daerah. Hanya ada sedikit masalah, tapi bisa berdampak serius. Anggaran untuk logistik ini tersedia di anggaran 2008, yang berakhir Desember. Padahal proses pelaksanaannya melewati batas transisi tahun anggaran, antara 2008 dan 2009. Menurut sistem anggaran kita, anggaran 2008 tidak bisa diambil atau diproses pada 2009. Jumlah anggarannya besar sekali, karena termasuk anggaran KPU daerah. Sekitar Rp 3,7 triliun. Kami sedang meminta bantuan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar bisa mendapat dispensasi.

Ada kendala dengan jumlah partai yang begitu banyak?

Bagi pemilih, semakin banyak partai semakin banyak pula calon yang dicantumkan pada kertas suara. Itu membuat mereka semakin sulit membuat pilihan. Mereka cenderung lupa nomor urut calonnya. Di bilik suara, mereka harus mencari nama calonnya di antara 456 nama di kertas suara. Apalagi bila pemilih hanya mengenal nama dan wajah calon, sedangkan nomor dan partainya lupa. Berapa lama dia harus berada di bilik suara? Untuk dewan perwakilan rakyat daerah, jumlah calon anggota legislatif per daerah pemilihan boleh diusulkan sampai 120 persen dari maksimal 12. Jadi, satu partai bisa mengajukan maksimal 15 calon, dikali 38 partai, maka jumlahnya lebih dari 500 calon. Apalagi Aceh, yang memiliki enam partai lokal. Orang berpendidikan saja sulit mencari, apalagi yang baru belajar baca-tulis.

Kertas suaranya pasti besar sekali….

Soal kedua adalah pembuatan surat suara. Seperti penempatan partai pada kertas suara. Semua partai ingin dicantumkan di pinggir atau deretan atas kertas. Lipatan kertas juga tidak boleh melewati nama calon atau gambar partai. (Hafiz kemudian mengambil contoh kertas suara yang ternyata berukuran hampir sebesar daun jendela.) Yang paling sulit adalah penghitungan suara. Dulu, waktu dicoblos, mudah dilihat. Tapi sekarang dicontreng. Untuk mencari yang dicontreng, harus dilihat oleh satu orang dulu, baru ditunjukkan kepada saksi. Itu butuh waktu lama dalam penghitungan suara.

Bisa-bisa penghitungan suara baru selesai tengah malam….

Sewaktu simulasi di Papua atau Aceh, waktu yang dihabiskan dari pemanggilan, masuk bilik suara, hingga pencoblosan mencapai 8 menit. Kalau kita rata-ratakan satu orang empat menit saja, bila di sebuah tempat pemungutan suara maksimal 500 sesuai dengan ketentuan, maka 500 dikali 4 menit hasilnya 2.000 menit. Itu hanya untuk memberikan suara. Untuk waktu penghitungan, dari simulasi di beberapa daerah dengan pemilih 329 orang, baru berakhir pukul 6 sore dan hanya mampu menghitung untuk DPR dan Dewan Perwakilan Daerah. Padahal yang dipilih ada empat: DPR RI, DPD, DPRD I, dan DPRD II. Penghitungan baru selesai malam hari. Ini problem paling berat, dan kami sedang mencari jalan keluarnya.

Jumlah pemilih sejak 1999 semakin berkurang. Apa yang dilakukan Komisi untuk mencegah minimnya partisipasi?

Saya melihat banyak faktor penyebabnya. Bisa karena partai tidak lagi dipercayai masyarakat untuk membawa perubahan. Bisa calon yang dipasang partai mungkin tidak dipercaya. Begitu banyak kasus di lembaga perwakilan kita yang menimbulkan antipati masyarakat. Dari sudut penyelenggara, bisa tidak KPU-nya sendiri, dari pusat sampai daerah, dipercayai masyarakat?

Apakah sosialisasi yang dilakukan Komisi bisa meningkatkan partisipasi masyarakat?

Yang dibutuhkan itu pembuktian. Dan peran media sangat besar. Saya sangat terusik ketika KPU mendapat serangan dari berbagai pihak. Ada beberapa keputusan KPU yang dinilai tidak produktif. Itu akan berpengaruh pada kepercayaan masyarakat. Kita sudah berusaha maksimal dengan mengedepankan realita dan kejujuran, sesuai dengan undang-undang.

Itu sebabnya Anda memilih mengubah kembali daftar pemilih tetap?

Untuk daftar pemilih tetap, ada dua pilihan. Konsisten dengan pengumuman KPU 2 Oktober lalu, sebanyak 170 juta sekian itu, hanya dengan tambahan Papua Barat dan luar negeri, aman itu. Tapi realita di lapangan, sekitar 710 ribu tidak ada orangnya. Ini karena kesalahan data teman-teman di daerah. Pilih mana? Yang riil atau konsisten dengan yang pertama demi nama baik? Saya berpendapat yang riil dan jujur itu lebih utama.

Bukannya undang-undang mengatur pengumuman daftar pemilih tetap hanya boleh sekali?

Tidak ada klausul yang menyatakan daftar itu tidak boleh ditetapkan hingga dua kali. Surat keputusan kami berbunyi, apabila ada kesalahan dan kekeliruan di kemudian hari, akan ditentukan sebagaimana mestinya. Kalau kita bertahan, bukan hanya dihantam, tapi kami bisa dipidana. Contohnya di Kabupaten Konawe Selatan (salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara), ada 425 ribu penduduknya, kenyataannya hanya 126 ribu orang. Mereka salah menjumlah karena digabungkan dengan kabupaten induk, sebelum dipisah. Ada juga yang salah entry data, seperti Karang Asem (Bali).

Bagaimana dengan masyarakat yang sampai sekarang mengaku tidak terdaftar?

Itu memang menjadi masalah. Padahal sudah berbulan-bulan pendaftaran dibuka dan diperpanjang terus. Begitu diumumkan, ada yang mengadu, akhirnya diubah. Saat diubah itu masih ada yang mengatakan belum terdaftar juga, diubah lagi. Akhirnya kami bertanya-tanya: ada apa ini? Apakah ada skenario besar untuk melemahkan posisi KPU? Karena itu, pada 22 November, saya mengatakan tidak akan ada perubahan lagi hingga pengumuman suara karena inilah daftar yang terakhir. Saya menginginkan tidak ada masyarakat yang tidak terdaftar. Sudah diumumkan berkali-kali di daerah, tetap saja seperti ini.

Bagaimana dengan daftar calon anggota legislatif yang diprotes terus oleh beberapa partai. Apa sebenarnya acuan Komisi?

Kami bekerja berdasarkan undang-undang. Pegangan KPU adalah legal formal. Kalau ada dualisme pengurus partai, mana yang sah? Berdasarkan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, diatur dalam setiap pergantian kepengurusan, nama dan lambang partai itu harus dilaporkan ke Departemen Kehakiman untuk pengesahan. Itu pegangannya.

Sosialisasi pemilu dinilai kurang mengena. Bagaimana sebenarnya sosialisasi yang dilakukan Komisi selama ini?

Hampir tiap bulan kami melakukan sosialisasi ke daerah, bekerja sama dengan Departemen Komunikasi dan Informatika. Kami buat pertemuan di lapangan, kami gelar kesenian tradisional, mengundang ribuan orang. Kami juga menyebarkan sekian banyak bahan cetakan tentang peraturan dan undang-undang. Orang mengukur sosialisasi dari tampilan di televisi dalam bentuk iklan. Itu yang jadi masalah. Padahal, untuk iklan 30 detik sepuluh kali tayang dalam satu bulan, enggak cukup satu miliar uangnya. Komisi provinsi hanya mendapat jatah (dana) sosialisasi Rp 100 juta per tahun. Kabupaten/kota mendapat jatah Rp 50 juta setahun. Itu termasuk untuk pengumuman daftar calon sementara dan tetap. Padahal, sekali mengumumkan di koran daerah saja, berapa puluh juta? Kemarin butuh Rp 3 miliar untuk pengumuman di koran dan televisi.

Sosialisasi pemilu di luar negeri juga mengundang kritik. Seberapa penting sosialisasi semacam itu?

Buktinya kan daftar pemilih tetap tertunda? Merasa ada masalah enggak bangsa ini? Gara-gara kita lengah ke luar negeri, sampai sekarang dikatakan ada 3-4 juta pemilih di luar negeri, tapi yang terdata cuma 1,5 juta orang. Di Indonesia, hampir di tiap tahapan kami adakan rapat dan sosialisasi ke panitia pemilihan di daerah. Pertanyaannya: apakah panitia pemilihan luar negeri bukan bagian dari kita? Ada 117 panitia di berbagai perwakilan kita di luar negeri. Untuk mudahnya, mereka lalu diundang di 14 titik di dunia. Satu titik itu untuk 9-10 panitia. Misalnya Kuala Lumpur untuk wilayah Brunei, Sarawak, Sabah, Johor, dan sebagainya ditambah Thailand dan Singapura. New York untuk Washington, Vancouver, Los Angeles, dan lainnya.

Kenapa mereka tidak diundang saja ke Jakarta?

Kami berpendapat perlu melihat dulu kenyataan di lapangan. Selain itu, biayanya lebih ringan. Tapi masyarakat menilainya tidak seperti itu. Malah dinilai pelesiran…, sudah divonis langsung. Yang dikhawatirkan KPU, kelak ada lagi yang menuntut karena lengah terhadap pemilih luar negeri. Saya sampai bertanya, katakanlah ke Hong Kong, Brunei, Malaysia, berapa besar biayanya dibanding ke Papua? Berapa harga tiketnya? Tapi orang-orang enggak pernah mempersoalkan ketika kami ke Papua, karena masih di dalam negeri. Tapi saya berpikir positif bahwa kami harus hati-hati.

Mengenai pemilihan presiden, bagaimana persiapan Komisi?

Ada kemungkinan calonnya lebih banyak ketimbang pemilihan presiden 2004. Kalau syarat partai politik untuk mengajukan calon itu minimal memiliki kursi 20 persen di DPR, atau 25 persen suara sah secara nasional, maksimal (calon) kan cuma lima pasang? Dan jumlah pas 20 persen itu hampir 90 persen enggak bisa dilaksanakan. Sebab, mencari partai yang punya 20 persen kursi di DPR itu berat. Partai harus berkoalisi nantinya. Partai A mendapat 15 persen kursi, partai B mendapat 10, akhirnya bergabung, maka pasangannya bisa kurang dari lima. Secara teknis, pemilihan presiden tidak terlalu berat, karena sedikit. Yang paling rumit ya legislatif tadi.

Mengapa partai-partai dan Dewan Perwakilan Rakyat sering bersuara keras terhadap Komisi?

Ya, karena itu tadi, mereka lebih banyak dipengaruhi oleh pemberitaan, yang sudah bercampur antara opini dan fakta. Judulnya saja sudah opini. Misalnya ”Komisi Pelesiran ke Luar Negeri”. Padahal apa bedanya orang melakukan tugas ke luar negeri dengan pelesiran? Itu kan harus jelas.

Bukankah Komisi sering ditegur oleh Badan Pengawas Pemilu?

Itulah yang muncul di koran. Memang ada beda tafsir antara Komisi dan Badan. Makanya saya bilang kita perlu duduk bersama untuk menafsirkannya. Jangan nanti Komisi sudah keluar, dibilang salah. Misalnya tentang foto. Wajibkah foto itu dicantumkan oleh calon anggota legislatif? Menurut Komisi, foto tidak masuk persyaratan. Terlambat menyerahkan pun tidak apa-apa. Tapi mereka bilang foto harus ada. Lalu muncul di berita, Komisi sudah melanggar, ada calon anggota legislatif tanpa foto tapi diterima, ha-ha-ha….

Apa jaminan pemilu nanti bisa fair jika di beberapa pemilihan kepala daerah Komisi daerah terbukti tidak netral?

Memang masih ada Komisi daerah yang terindikasi tidak netral. Itu yang kami coba benahi. Kalau perlu diberhentikan, seperti di Kota Manado, yang diberhentikan oleh Komisi provinsinya. Tapi saya mendapat laporan, Komisi provinsinya juga bermasalah. Di Maluku Utara, panitia pemilihan kecamatan malah bukan lagi penyelenggara pemilu, tapi sudah jadi tim sukses. Sewaktu mereka diundang ke sini untuk memberikan penjelasan, malah membela calon gubernur masing-masing. Tapi mereka dipilih kan sebelum periode saya? Semoga sekarang lebih baik. Frekuensi konsolidasi dan pertemuan kami juga cukup tinggi. Kami punya kode etik, tidak boleh memihak, nonpartisan, independen. Bahkan kami memperjuangkan agar honorarium mereka lebih baik daripada sebelumnya, meski sangat kecil. Itu untuk mengantisipasi godaan dan rayuan dari pihak lain yang membuat mereka berbuat tidak benar.

Bagaimana dengan permintaan Direktur Jenderal Pajak agar penyumbang partai melampirkan nomor pokok wajib pajak?

Semula saya bilang, enggak usahlah pakai nomor pokok wajib pajak, karena kasihan juga orang nyumbang Rp 10 ribu harus mencantumkan NPWP… repot. Tapi ini kan untuk sumbangan Rp 20 juta ke atas. Memang akan ada reaksi. Pengalaman saya selama ini, keputusan yang diambil Komisi, apa pun bentuknya, pasti ada reaksi.

Anda yakin nanti akan terselenggara pemilu yang kredibel?

Insya Allah. Kita sudah berusaha maksimal ke arah sana. Jajaran kami sudah disiapkan ke arah sana.

ABDUL HAFIZ ANSHARY

Tempat dan tanggal lahir: Kalimantan Selatan, 14 Agustus 1956

Pendidikan

  • Sarjana Muda, Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Pangeran Antasari, Banjarmasin, 1979
  • Sarjana, Fakultas Syariah, 1982
  • Pascasarjana Bidang Pengkajian Islam, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1992
  • Doktor Pengkajian Islam (Sejarah Peradaban Islam) di Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2000

Karier dan jabatan

  • Guru besar di Institut Agama Islam Negeri Pangeran Antasari, Banjarmasin
  • Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan
  • Ketua Komisi Pemilihan Umum Kalimantan Selatan, 2003-2008
  • Ketua Komisi Pemilihan Umum, 2007-2012

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus