Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1 color=#FF9900>SENGKETA PERS</font><br />Karena Wartawan Mencemarkan Jenderal

Kepala Kepolisian Sulawesi Selatan melaporkan mantan wartawan Metro TV yang dianggap mencemarkan nama baiknya. Segera menggelinding ke meja hijau.

15 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERKAS penyidikan itu kembali lagi ke Markas Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Dua pekan lalu, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan meminta polisi segera melengkapi hasil penyidikan mereka terhadap mantan wartawan Metro TV, Upi Asmaradhana, 34 tahun. ”Bukti pelanggarannya belum lengkap,” ujar Pelaksana Harian Hubungan Masyarakat Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan M. Syahran Rauf.

Bak tak hendak membuang waktu, pekan lalu, polisi memanggil dua wartawan harian Fajar, Herwin dan Muchlis. Keduanya diperiksa berkaitan dengan berita yang dimuat harian itu akhir Mei lalu, yang berjudul ”Sisno: Dirugikan, Tak Perlu Gunakan Hak Jawab”.

Sisno dalam berita itu tak lain adalah Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto, Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat, yang sebelumnya menjabat Kepada Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian Indonesia. Awal November lalu, Sisno memperkarakan Upi lantaran wartawan televisi itu dianggap memfitnah dan mencemarkan nama baiknya. Itu, antara lain, menurut Sisno, dilakukan Upi lewat orasinya pada sejumlah unjuk rasa yang ia gelar di Makassar. Untuk keperluan kasus inilah polisi memanggil dua wartawan Fajar itu sebagai saksi.

Unjuk rasa itu sendiri berkaitan dengan pernyataan Sisno yang dianggap Upi mengarah ke tindak kriminalisasi pers. Awal-muasalnya adalah pertemuan Sisno dengan bupati dan wali kota se-Sulawesi Selatan pada 19 Mei lalu. Dalam pertemuan itu, Sisno mengeluarkan pernyataan yang membuat terkejut wartawan yang meliput acara tersebut. Menurut Sisno, jika ada yang merasa dirugikan pemberitaan media, dipersilakan melapor ke polisi. Menurut Upi, sebagai pejabat publik, Sisno mestinya paham ada mekanisme hak jawab yang harus dipakai dalam kasus seperti ini.

Pernyataan Sisno ini juga muncul di sejumlah media lokal. Selain Fajar, harian Tribun Timur memuat pernyataan Sisno itu dengan judul ”Kapolda Ancam Periksa Wartawan”. Bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Koalisi Wartawan Makassar, Upi lantas menggelar serangkaian unjuk rasa. Mereka menuntut Sisno meminta maaf. Lantaran merasa tak ditanggapi, Juni lalu, diongkosi rekan-rekannya, Upi berangkat ke Jakarta. Ia membawa kasus Sisno ini ke Dewan Pers dan Komisi Kepolisian Nasional.

Saat di Jakarta itulah ia diminta atasannya di Metro TV berhenti dari kegiatannya memperkarakan Sisno. Tapi ia jalan terus. ”Ketika itu, saya sudah siap dipecat,” ujarnya. Upi lantas merasa tak sreg lagi bekerja di Metro TV. Sepulang dari Jakarta, ia memutuskan mundur dari televisi berita itu. Soal berhentinya Upi, Pemimpin Redaksi Metro TV Elman Saragih mengatakan itu inisiatifnya sendiri. ”Kami tidak melakukan tekanan apa-apa,” ujarnya. Menurut Elman, Upi wartawan bagus. ”Saya hanya menyarankan agar dia tidak usah demo-demo.”

Bersama Koalisi Wartawan Makassar, Upi terus menggelar unjuk rasa, sampai akhirnya, awal November lalu itu, sepucuk surat panggilan dari polisi datang ke rumahnya di kawasan Biringkanaya, Makassar. Pertengahan November lalu, Upi diperiksa polisi selama enam jam. Ia dijerat dengan tuduhan melakukan penghinaan di muka umum lewat tulisan. Upi sendiri tak gentar dengan tuduhan itu. ”Ini memang risikonya,” ujar pemuda lajang tersebut.

Kasus Upi ini membuat prihatin anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi. Menurut dia, pangkal kasus ini adalah perbedaan pandang dalam melihat penyelesaian sengketa pers. Polisi, ujarnya, cenderung memakai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ketimbang Undang-Undang Pers. Abdullah menyarankan sebaiknya Sisno mencabut laporannya. ”Keduanya lebih baik berdialog.”

Sisno sendiri membantah pemberitaan-pemberitaan yang menyebut ia mendorong kriminalisasi pers. Yang benar, ujarnya, ia mengatakan, meski ada hak jawab, pihak yang merasa dirugikan pers tetap bisa mengadu ke polisi. ”Dan polisi harus menerima laporan itu.” Menurut Sisno, penetapan Upi sebagai tersangka tidak ada hubungannya dengan profesinya sebagai wartawan, tapi lebih karena orasinya dan selebaran-selebaran yang dianggap menjelekkan dirinya.

Terhadap surat kabar yang memuat berita ”salah kutip” itu, menurut Sisno, dia telah mengirim surat bantahan. Nah, inilah yang justru dipertanyakan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Fajar Nur Alim Djalil. Kendati surat bantahan itu sudah dimuat utuh di medianya, dua wartawannya tetap dipanggil sebagai saksi. ”Ini kan rancu karena berita itu sudah diklarifikasi oleh pihak Polda,” kata Nur Alim.

LRB, Adek Media, Cornila, Irmawati (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus