Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#FF9900>Dahlan Iskan:</font><br />Memangnya Saya Ini Siapa

4 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENDATI sudah pindah jabatan, dari Pemimpin Perusahaan Grup Jawa Pos menjadi Direktur Utama Per­usahaan Listrik Negara, tak banyak yang berubah dari Dahlan Iskan. Gaya berpakaiannya tetap: kemeja, jaket kulit, celana kain, dan sepatu olahraga.

Dahlan, 58 tahun, juga tak pernah mendekam di ruang kantornya. ”Saya tak suka hanya­ duduk di belakang meja,” kata­nya. Bahkan, setelah hampir sepekan menjabat orang nomor satu di perusahaan setrum itu, dia mengaku belum masuk ke ruang kerjanya. Dia hinggap dari satu pertemuan ke pertemuan lain.

Dahlan memang mesti berge­rak cepat. Per­usahaan listrik itu dibelit rupa-rupa persoalan laten. Sebagian harus dituntaskan secepatnya, misalnya peng­adaan trafo untuk jaringan listrik Jawa-Bali. PLN berencana membeli 12 trafo baru untuk cadangan di 12 gardu induk.

Urusan trafo ini jugalah yang memicu pe­madaman listrik di sebagian besar wilayah Jakarta dan sekitarnya, pada akhir September lalu. Akibat trafo di gardu induk ­Cawang terbakar, beberapa wilayah Jakarta yang biasa gemebyar pada malam hari, gelap total. Masalah itu tak hanya membuat para bos PLN kelimpungan, pemerintah pun ikut gerah.

Prioritas utama Dahlan adalah ­peng­adaan trafo itu. Tapi, sekali lagi, trafo hanyalah satu dari tumpukan masalah yang membelit PLN. Kepada Ali Nur Yasin, Sapto Pradityo, dan Ferri Firmansyah dari Tempo, Dahlan memaparkan prioritas program kerjanya, Selasa pekan lalu, di kantor PLN, Jakarta.

Bagaimana ceritanya hingga Anda ditunjuk sebagai Direktur Utama PLN?

Saya kaget, karena tak ­menyangka sama sekali. Saya dipanggil Presi­den ke Istana pada 2 November, diantar oleh Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Presiden mengatakan, beliau berterima kasih bila saya bersedia menjadi Direktur Utama PLN.

Tanggapan Anda?

Saya mengatakan, apakah tepat menunjuk saya, karena pasti akan banyak sorotan. Saya ini bukan orang dalam. Presiden lalu mengatakan, yang dibutuhkan dari saya leadership dan pengalaman manajemen. Bagi saya, ini tantangan. Yang penting, saya sudah mengutarakan apa yang ada di pikiran. Saya tidak langsung mengatakan ”ya” dan ”tidak”. Memangnya saya ini siapa?

Anda diminta Presiden, tidak mengajukan diri?

Ya. Tapi tidak lantas begitu saja lolos. Tetap melalui proses. Ada uji kelayakan, komitmen yang harus ditandatangani, dan ada kontrak kinerja.

Seberapa dekat hubungan Anda dengan Presiden?

Saya tak tahu. Orang lain yang menilai. Tahun lalu bertemu Presiden empat kali di beberapa acara. Tapi belum pernah bertemu empat mata.

Anda tahu kenapa bisa ditunjuk sebagai Dirut PLN?

Saya tak tahu. Mungkin karena saya bisa memimpin banyak perusahaan. Mungkin beliau juga melihat bagaimana saya selalu mempersoalkan tak masuk akalnya masalah listrik di Indonesia ini.

Apa yang tak masuk akal?

Misalnya, mengapa PLN tak bisa mendapatkan gas? Kenapa PLN punya banyak pembangkit berbahan bakar gas, kapasitasnya besar, dan kualitas kelas satu, tapi kenapa malah ”membakar” solar? Padahal, biayanya bisa tiga kali lipat. Itu berlangsung berpuluh-puluh tahun. Lalu kenapa di wilayah Kalimantan Timur yang kaya akan batu bara, pembangkit listriknya malah berbahan bakar solar? Kita ekspor batu bara habis-habisan, tapi juga impor solar habis-habisan.

Penunjukan Anda ini bukan kompensasi karena gagal menjadi Wakil Menteri Perhubungan?

Tidaklah. Masak pakai kompensasi.

Ketika itu Anda diberi tahu akan menjadi Wakil Menteri Perhubungan?

Ya. Tapi waktu ditawari, saya segera melihat undang-undang. Saya menga­takan kepada Hatta Rajasa bahwa tak mungkin saya menjadi Wakil Menteri, sebab saya bukan pejabat karier.

Grup Jawa Pos punya PLTU Embalut di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Apakah tak ada benturan kepentingan?

Saya sudah melepas perusahaan itu setelah saya dilantik. Jadi tuduhan itu tidak relevan.

Anda bukan pejabat PLN, lalu apa yang Anda ketahui soal perusahaan setrum ini?

Sebetulnya tak adil kalau menilai­ direksi PLN gagal, karena banyak keputusan ada di luar kewenangan direksi. Misalnya soal gas. Apakah PLN diberi kebebasan membeli gas dengan harga yang dikehendaki PLN? Tidak. Mereka harus berkoordinasi dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas, Perusahaan Gas Negara, dan sebagainya.

Jadi maju atau mundurnya PLN sangat tergantung pemerintah?

PLN, menurut saya, hanya tukang jahit yang terima upah. Artinya, kami memproduksi listrik yang tarifnya sudah ditentukan pemerintah, kemudian kalau ada kekurangan biaya, ditu­tup dengan subsidi. Bukan perusahaan dalam pengertian entitas bisnis.

Bagaimana menjadikan PLN sebagai entitas bisnis yang menghasilkan laba?

Akan terkait dengan kemajuan ekonomi Indonesia dan kesejahteraan rakyat. Maksud saya, PLN menerima nasib seperti ini dulu. Yang penting menunjukkan diri sebagai perusahaan yang efisien. Setelah membuktikan diri, bisa mengurangi subsidi hingga batas yang bisa ditoleransi dan rakyat sudah makmur, maka tarif listrik bisa naik. Baru PLN bisa berdiri gagah. Dan itu tak mungkin tercapai dalam waktu singkat.

Butuh berapa lama?

Untuk bisa bebas subsidi saja—maksud saya bukan berarti subsidi nol, tapi tinggal sedikit—kira-kira perlu tiga tahun.

Bagaimana caranya bisa bebas subsidi, bukankah konversi solar ke gas sudah dikerjakan?

Ya. Tapi sekarang kebutuhan gasnya masih kurang satu juta million metric British thermal unit (mmBtu). Kalau itu terpenuhi, PLN bisa menghemat Rp 15 triliun setiap tahun. Gas didapat dari banyak tempat. Pembangkit Tambak Lorok mendapat dari Podang. Tinggal minta izin Badan Pelaksana Migas. Jakarta akan dapat tambahan gas dari Sulawesi Selatan. Tinggal menunggu PGN membeli kompresor untuk menambah tekanan pipa. PGN baru bersedia membeli kompresor kalau PLN sudah pasti mau membeli gasnya. Sudah pasti PLN mau beli.

Di Sumatera Utara, kami minta PGN membangun terminal gasifikasi. PGN mau membangun asal PLN mau membeli. PLN sudah pasti mau beli. Mungkin selama ini proyek seperti itu harus dimiliki bersama antara PLN dan PGN. Saya tak begitu lagi. Silakan PGN membangun sendiri, yang penting PLN bisa mendapat gas. Lha wong PLN tak punya uang. Dan kalau proyek kerja sama, rapat koordinasi­nya saja makan waktu dan energi. Padahal kami mau cepat. Yang penting PLN dapat gas.

Sudah ada kesepakatan harga dengan penjual?

Harga itu urusan nomor dua. Kenapa Anda bicara harga? Misalnya, Anda mau beli gas dengan harga US$ 5 sen, penjual hanya mau US$ 5,5 sen. Anda ngotot tak mau menaikkan harga dan penjual juga tak mau menjualnya dengan harga yang Anda minta. Akibatnya, selama setahun negosiasi mandek. Selama setahun itu pembangkit Anda tetap ”membakar” solar yang harga­nya US$ 16 sen. Kenapa Anda menolak selisih US$ 0,5 sen tapi mau membeli solar dengan harga US$ 16 sen? Itu menghamburkan uang negara.

Apa lagi prioritas efisiensi PLN?

Mengganti pembangkit diesel di luar Jawa dengan pembangkit berbahan bakar batu bara berskala kecil.

Bukankah pembangkit batu bara skala kecil tak efisien?

Yang Anda sebut tak efisien itu berapa? Kalau PLTU besar bisa US$ 5 sen per kWh, PLTU kecil bisa berapa? Katakanlah enam atau bahkan tujuh sen per kWh. Dibandingkan dengan diesel yang US$ 20 sen hingga US$ 25 sen per kWh, pilih mana? Dari cara ini bisa menghemat Rp 20 triliun setahun.

PLTU skala kecil ini berapa besar?

Bervariasi, tapi jangan terlalu­ ­­ba­nyak­ macamnya. Dua atau tiga macam saja. Misalnya 7 megawatt kali dua atau 5 megawatt kali dua. Yang pen­ting, jangan­ beraneka macam supaya standar, lebih gampang penyediaan suku cadang dan urusan teknisnya le­bih sederhana. Akan saya lihat, apakah akan dibangun PLN sendiri atau meng­ajak swasta. Kalau dibangun PLN sendiri, apakah PLN punya uang? Kalau tak punya uang, apakah masih bisa berutang? Kalau bisa berutang­, apa­kah pemerintah mengizinkan? Yang mau memberi kredit sih banyak.

Masalah konversi energi primer ini kenapa bertahun-tahun tak terselesaikan?

Saya tak tahu. Tapi saya sudah menjajaki Menteri Energi dan Menteri Badan Usaha Milik Negara. Atmosfernya sama, masalah ini harus diselesaikan secepatnya dan akal sehat harus dijunjung tinggi.

Apa kelemahan manajemen lama?

Saya tak tahu. Yang saya tahu, mere­ka tak dapat gas. Saya tak mempela­jari apa penyebabnya. Menurut saya, itu tak masuk akal. Negeri ini kaya akan gas. Saya tak mengecam kenapa kita punya gas tapi diekspor, sedang­kan di dalam negeri butuh banyak gas. Saya memaklumi, mungkin harga ekspor lebih baik atau pemerintah butuh pendapatan lebih besar. Yang penting, tak jadi masalah gas diekspor sepanjang kami diizinkan mengimpor gas dan membangun terminal.

Bagaimana dengan masalah jarak?

Kalau, misalnya, jaraknya kurang dari 1.500 kilometer, mungkin kami bisa membeli dengan menggunakan teknologi kompresi gas, sehingga tak perlu dijadikan gas cair. Sudah ada teknologinya. Kalau tak memung­kin­kan­, ya pakai terminal gas. Ada teori, kalau jarak lebih dari 2.500 kilometer, terminal gasifikasi lebih efisien. Namun, jika jaraknya kurang dari 1.500 kilometer, tek­nologi kompresi lebih efisien.

Apa prioritas PLN lainnya?

Yang kritis dan bikin dagdigdug sebenarnya trafo. Di Jakarta ini tak ada cadangan trafo. Jadi, kalau misalnya nasib saya lagi jelek dan minggu depan ada trafo yang terbakar, mampus saya. Dan untuk membeli trafo, perlu­ waktu. Proses pembuatan trafonya saja perlu tujuh bulan. Belum pengirim­an dan proses tender. Untuk tender saja butuh empat bulan. Total perlu lebih dari satu tahun. Dan selama itu PLN tak bisa apa-apa. Harus ada yang padam. Setiap satu trafo mati, akan ada kehilangan kapasitas 100 megawatt. Seluruh Jakarta perlu kapasitas 5.000 megawatt.

Berapa trafo yang dibutuhkan PLN?

Butuh 12 trafo untuk cadangan di 12 gardu induk. Semuanya di Jawa. Harga pembelian terakhir, Rp 120 miliar per trafo.

Apa terobosan untuk mempercepat pengadaan trafo?

Kalau diperbolehkan, PLN akan berhu­bungan langsung dengan produsen. Kemudian tawar-menawar langsung. Dengan cara seperti itu, mungkin empat bulan bisa selesai. Makanya kami akan berkoordinasi dengan BPK, BPKP, ICW, Kejaksaan Agung, apakah­ boleh kami berhubungan langsung dengan­ produsen karena kondisi kritis.

Sementara trafo belum ada, apa yang dilakukan?

Saya sudah bertanya ke direksi apakah PLN punya trafo yang rusak. Ternyata ada satu set trafo. Memperbaikinya perlu waktu empat bulan. Ongkos memperbaikinya 40 persen dari harga trafo baru.

Proyek 10 ribu megawatt tahap pertama apakah akan dievaluasi?

Pada 2010 akan ada tambahan sekitar 2.500 megawatt untuk Jawa dan Sumatera Utara. Tapi tambahan itu tak akan terlalu signifikan kalau trafonya tak ditambah. Mau masuk ke jaringan transmisi lewat mana, karena tak ada trafo cadangan. Jadi trafo ini mendesaknya bukan cuma untuk cadangan, melainkan juga supaya ada tambahan kapasitas. Kalau setrumnya sudah datang, tapi ”pintunya” belum ada, kan repot?

Apa tanggapan Anda dengan rencana 20 general manager PLN yang mengancam mundur?

Saya tak tahu. Itu hak mereka. Kalau mereka mau mundur, saya tak bisa mencegah.

Anda satu-satunya orang luar PLN di direksi. Bagaimana?

Saya lihat orang PLN itu pintar-pintar. Mungkin yang diperlukan cukup satu orang bodoh seperti saya… ha-ha-ha....

DAHLAN ISKAN

Lahir: Magetan, Jawa Timur, 17 Agustus 1951

Pendidikan: Institut Agama Islam Negeri Samarinda (1970)

Pekerjaan:

  • Wartawan majalah Tempo (1976-1982)
  • Pemimpin Grup Jawa Pos (1982-2009)
  • Direktur Utama PLN (2009-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus