Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tak Mengaku, Paku Bicara

Tiga polisi di Gorontalo memaku telapak tangan seorang tahanan agar mengaku melakukan kejahatan. Hingga kini baru dijatuhi sanksi disiplin.

4 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAUT muka Kasman Noho langsung memerah. Sembari bersandar di kursi rumahnya, di Kelurahan Moutong, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, ia tampak menahan amarah saat mendengar berita bebasnya polisi yang telah menganiayanya. Rabu pekan lalu itu, penyiksaan tersebut masih meninggalkan bekas. Kendati dia sudah bisa berjalan, kepalanya masih pening dan sekujur badannya kerap linu. ”Saya disiksa untuk mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan,” katanya kepada Tempo yang mendatangi rumahnya.

Polisi yang dimaksud Kasman adalah Brigadir Nafri dari unit Buru Sergap Kepolisian Resor Kota Gorontalo. Bersama Brigadir Dedy dan Taufik, menurut Kasman, Nafri menganiayanya secara sadis saat dia menjalani pemeriksaan kasus penggelapan sepeda motor Suzuki Shogun milik koperasi tempatnya bekerja. Pada malam 1 Desember itu, tak hanya memukul, para polisi tersebut bahkan memaku kedua tangannya.

Karena perbuatannya itu, Nafri kini dijadikan tersangka oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Gorontalo. Ia juga diganjar hukuman disiplin, ditahan selama 21 hari. Pada Senin pekan lalu, masa hukuman itu berakhir dan ia telah kembali bertugas. Adapun dua rekannya hingga kini belum mendapat sanksi apa pun. ”Nafri pelaku utamanya. Yang lain masih diproses,” kata Kepala Kepolisian Resor Kota Gorontalo Ajun Komisaris Besar Yozal Zein.

Di mata keluarga Kasman, Polda Gorontalo sangat melindungi ketiga polisi tersebut. ”Harusnya mereka sudah dipecat,” kata Samin Gani, kakak Kasman. Selain menuntut para penyiksanya diadili, Kasman kini melaporkan atasannya, Imran Hidipu, dengan tuduhan perbuatan tak menyenangkan. Pemimpin Koperasi Simpan Pinjam Jaya Lestari—kini bernama Koperasi Fadillah—itulah yang melaporkannya ke polisi.

Kepala Polda Gorontalo Brigadir Jenderal Sunarjono menolak tuduhan bahwa pihaknya melindungi anak buahnya yang bersalah. Sejauh ini, kata Sunarjono, memang baru Nafri yang terbukti melakukan penganiayaan. Dua polisi lainnya masih menjalani pemeriksaan.

Dari Trunojoyo, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Kepolisian RI Inpektur Jenderal Oegroseno meminta kasus ini ditangani secara serius. Tindakan penyiksaan yang dilakukan terhadap Kasman, ujar Oegroseno, bukan hanya pelanggaran kode etik, melainkan sudah masuk wilayah pidana. ”Tindakan kekerasan sudah tidak dikenal lagi di kepolisian,” ujarnya.

Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar berharap polisi membuktikan komitmennya menuntaskan kasus itu. Perbuatan ketiga polisi tersebut, kata Bambang, jelas merupakan tindak pidana penganiayaan dan mereka bisa dijerat Pasal 442 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang ancaman hukumannya bisa berupa penjara empat tahun. ”Kalau terbukti, pecat saja,” kata Bambang.

Selama ini, ujar Bambang, pelanggaran oleh polisi selalu diselesaikan secara hukum profesi. Ia mencontohkan empat anggota Kepolisian Resor Depok yang menganiaya sejarawan Universitas Indonesia, J.J. Rizal, awal Desember lalu. Mereka hanya diberi sanksi disiplin berupa penahanan dan mutasi. Sanksi serupa diberikan untuk anggota Kepolisian Sektor Limo, Depok, yang menembak mati sopir angkutan umum. ”Kalau terus seperti ini, mereka tidak kapok, apalagi pengawasan lemah,” katanya.

l l l

NASIB mengenaskan yang dialami Kasman berawal saat ia kehilangan sepeda motornya akhir September lalu. Kala itu ia tengah mengunjungi kediaman kekasihnya di Kota Gorontalo. Saat diparkir di rumah pacarnya, motor dinas yang sehari-hari dipakai untuk menagih uang koperasi itu raib. Kasman segera melaporkan hilangnya sepeda motor itu ke kantor polisi setempat. Ia juga melaporkan hal itu ke bosnya, Imran Hidipu.

Rupanya, bosnya tak mempercayai laporan tersebut. Tiga hari kemudian, Imran melaporkan anak buahnya itu ke polisi dengan tuduhan penggelapan. Kasman sempat dimintai keterangan. Saat itu, statusnya masih saksi. Ketika Tempo beberapa kali mendatangi koperasi dan kediamannya di Gorontalo, Imran tak pernah ada di tempat. Telepon selulernya tak pernah aktif. Seorang karyawan koperasi mengatakan, sejak kasus penganiayaan Kasman ramai diberitakan media, Imran jarang ke kantor.

Polisi kembali membuka kasus ini setelah sepeda motor yang hilang itu ditemukan akhir November lalu di pelataran Masjid Nurul Ilahi, Gorontalo. Motor itu ditemukan penjaga masjid, Umar Dolli. Pada 1 Desember, polisi menetapkan Kasman sebagai tersangka dan menggelandangnya ke Kepolisian Resor Kota Gorontalo. ”Kami punya cukup bukti bahwa dia pelakunya,” kata Kepala Hubungan Masyarakat Polda Gorontalo Ajun Komisaris Besar Wilson Damanik.

Sepanjang jalan menuju kantor polisi, Kasman mengaku sudah punya firasat buruk. Apalagi penangkapan itu tak disertai surat perintah. Sesampai di kantor polisi, Kasman langsung dijebloskan ke dalam sel.

Malamnya, ia dibawa ke ruang interogasi. Di ruang seluas sekitar 24 meter persegi itu, ia diinterogasi tiga petugas berperawakan tinggi dan berambut gondrong. Ia dituduh menggelapkan sepeda motor. Menurut Kasman, setiap kali ia membantah perkataan pemeriksanya, hujan pukulan datang ke dirinya. ”Saya diperlakukan seperti binatang,” ujar Kasman. Belakangan, ia tahu ketiga petugas itu bernama Dedy, Nafri, dan Taufik.

Puncaknya adalah saat para penyiksanya memaku kedua tangannya di atas meja di dalam ruangan itu. Kendati ia berteriak-teriak kesakitan, saat itu dengan kayu, ujarnya, Nafri terus memukul paku sepanjang sekitar tiga belas sentimeter hingga menancap di meja. Tak berhenti di situ, para penyiksanya lantas menggoyang-goyangkan meja tersebut. ”Waktu itu saya minta lebih baik dibunuh saja,” ujarnya.

Menjelang tengah malam, penyiksaan itu berakhir. Itu pun setelah Kasman pingsan karena tak mampu menahan rasa sakit. Esok harinya, keluarga Kasman yang datang membesuk kaget bukan kepalang melihat kondisi Kasman yang babak-belur dengan telapak tangan berlubang dan berlumur darah yang sudah mengering ”Kami langsung membawanya ke Rumah Sakit Aloe Saboe Gorontalo,” kata Samin Gani.

Menurut Samin, perbuatan yang dilakukan ketiga polisi itu sudah di luar batas. Lebih-lebih, Kasman belum terbukti menggelapkan motor. ”Kami yakin dia korban salah tangkap,” katanya. Tapi, hingga kini, Polda Gorontalo berkukuh memiliki cukup bukti Kasman melakukan penggelapan. ”Kami tidak salah tangkap,” ujar Wilson Damanik. Kasman, kata dia, akan tetap diproses.

Lepas dari polemik ”salah atau tidak salah tangkap” itu, Kepala Polda Gorontalo Brigadir Jenderal Sunarjono menegaskan, penganiayaan itu tidak dibenarkan dan melanggar undang-undang. Menurut dia, polisi memang bertugas di lingkungan kejahatan, tapi itu bukan berarti ikut menjadi jahat. ”Kasus ini mencoreng citra kepolisian,” ujarnya. Dia berjanji, jika terbukti anak buahnya melakukan penganiayaan sadis itu, mereka akan dijerat dengan hukum pidana.

Anton Aprianto (Jakarta), Christopel Paino (Gorontalo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus