Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang berharga pada tanah liat ini/selain separuh ilusi?/
Sesuatu yang kelak retak/dan kita membikinnya abadi
(Kwatrin tentang Sebuah Poci, Goenawan Mohamad)
KERAMIK berjudul Numbers (Circle) itu tak sampai retak, melainkan ”hilang”. Karya instalasi Nurdian Ichsan berbentuk bangunan mini pagar melingkar, terdiri atas 2.000-an batu bata berukuran panjang sekitar 5 sentimeter, tersebut adalah karya interaktif. Pengunjung boleh mengambil batu bata itu, berapa saja, lalu silakan mencoret nomor batu bata yang diambil di lembaran yang sudah disediakan. Di hari ketiga karya dipamerkan, bagian atas pagar tak lagi rata—sejumlah batu bata hilang sudah. Bisa jadi pada 25 Januari 2010, hari terakhir pameran Jakarta Contemporary Ceramics Biennale #1, karya ini tinggal ”ilusi”, tinggal kartu judul karya dan beberapa lembar kertas sefolio daftar angka batu bata itu, menempel di tembok. Circle pun tinggal kenangan, yang mungkin abadi.
Circle, satu dari sejumlah karya dari 38 seniman keramik dan dua kelompok di dua lantai North Art Space Gallery, Pasar Seni Ancol, Jakarta, mencerminkan biennale ini. Karya ini begitu intens, menghadirkan ilusi ruang tersendiri di dalam ruang pameran di lantai dua, yang terbentuk oleh pagar melingkar batu bata yang disajikan dengan cermat, konseptual, dan ekspresif. Kecermatan dalam keminiaturan seolah sebuah ”lubang hitam” yang menyedot perhatian.
Dan demikianlah Bienal Keramik Jakarta yang pertama ini menghadirkan pameran yang berbeda, tak kolosal, bahkan cenderung ”sepi”. Namun, begitu berkeliling di dua lantai ruang pameran, pengunjung akan disadarkan bahwa pameran ini menyajikan sesuatu yang berbeda di tengah keramaian pameran dari hari ke hari di beberapa kota. Sebagian besar karya membuat pengunjung mesti mendekat bila hendak melihat dengan cermat. Ukuran karya tak memungkinkan pengunjung melihat dari suatu jarak. Yang kemudian terkesan adalah kehadiran satu per satu karya, bukan pameran yang menyeluruh. Ini bertolak belakang dengan pameran ArTention Hot/el di Hotel Grand Kemang, yang begitu ramai serta beragam, dan yang mengesankan adalah kebersamaannya (lihat Seni Rupa, Tempo, 21-27 Desember 2009).
Memang, karya keramik pun sudah hadir hampir di tiap pameran seni rupa bersama, dan di tengah berbagai medium itu karya keramik bersaing dan eksis. Karya Titarubi, Lie Fhung, Handiwirman Saputra, F. Widayanto—untuk menyebut beberapa nama. Kita pun tak lagi peduli apakah sebuah karya seni rupa bermedium cat minyak, logam, tanah liat, kaca, dan sebagainya.
Namun sebuah pameran yang hanya keramik membawa kita kembali merenungkan ihwal proses penciptaan. Bagaimana bila dalam pembakaran karya yang dalam proses itu retak dan ini bukan bagian dari yang diinginkan senimannya? Bagaimana pula bila panas itu membuat karya terpiuh di luar desain semula? Jadi, ketika ”yang tak terduga” adalah bagian tak terelakkan dari proses, apa makna sebuah rencana, konsep, desain? Mungkin itu disebut misteri: ada sesuatu yang di luar rencana dan itu mengejutkan, dan kita tetap tak memahami yang di luar rencana itu. Tak semua hal di dunia ini bisa dijelaskan, tampaknya.
Di situlah seni keramik, lebih daripada medium seni rupa yang lain, mendapatkan napasnya. Di proses penciptaan karya seni keramik, pun teori probabilitas tak bakal menjelaskan misteri itu, karena begitu banyak faktor pengubahnya, dan tak terhingganya kemungkinan yang bisa diperoleh. Kalau kemudian, umpamanya, kita mengatakan bahwa seni keramik adalah seni yang diliputi serba kebetulan, tidakkah itu menyiratkan bahwa penciptaan mengandung makna tak bisa dibakukan, selalu luput dari definisi? Dengan lain kalimat, proses penciptaan tak pernah selesai. Sebuah karya mengundang direncanakannya karya yang lain. Itulah yang berkecamuk di benak selagi berkeliling dalam ruang pameran Bienal Keramik Jakarta ini.
Beranjak dari Circle adalah *Ting. Piring dan mangkuk serta cangkir, serba putih bersih, diserakkan dalam keteraturan tertentu, seolah membimbing mata menuju ke sebuah almari yang penuh barang pecah belah tadi, dan sebuah monitor. *Ting menghadirkan sebuah ”panggung” pertunjukan dengan pelaku-pelaku barang pecah belah tadi.
Ini mengingatkan orang pada film animasi yang menghidupkan benda-benda bak makhluk hidup. Ini adalah sebuah tafsir bahwa ada dunia lain yang bukan jagat manusia. Benda, atau apa pun, memberikan makna yang bisa berbeda-beda karena waktu dan ruang yang berbeda. Ruang hidup pun menjadi terbuka: ada kemungkinan-kemungkinan lain daripada atmosfer sehari-hari kita.
Lalu monitor itu, ketika nyala, adalah memang sebuah film animasi dengan pelaku barang-barang pecah belah. Totallah dunia barang pecah belah yang terbentuk, kita menjadi bagian (bukan lagi ciptaan utama, bukan lagi subyek) di ruang pameran ini.
Adalah Ferry Pharama yang menyajikan lempeng-lempeng yang memunculkan gambar, mengisahkan lelaki bercelana jins berkaus oblong. Ia seperti melawan sesuatu, dan akhirnya terkapar. Ia tanpa identitas—selalu posisi kepala berada di luar bidang lempeng. Gambar yang tak begitu jelas dibanding bila dibikin dengan kanvas dan akrilik, misalnya, adalah misteri itu. Lempeng-lempeng itu seperti cermin peramal ahli sihir, yang mungkin menunjukkan nasib Anda.
Karya Handiwirman, sebagaimana *Ting, menyuguhkan kemungkinan sebuah dunia yang lain. Bentuk dalam sehari-hari adalah bentuk yang kita akrabi, kita timbang guna praktisnya, termasuk guna sebagai dekorasi. Sejumlah kubus dan silinder serta entah bentuk apa yang dipeletat-peletotkan, berukuran mini—lebih kecil daripada genggaman tangan orang dewasa—membuka imajinasi kita mengembara dalam dunia ”entah”. Di sini karya seni menjadi semacam pengguncang kesadaran untuk keluar dari rutinitas, untuk kembali menjalani keseharian dengan lebih yakin.
Itu pula yang terkesan dari karya Krisaya Luenganantakul, seniwati dari Thailand. Sebagai benda dekorasi, karya Krisaya memberikan warna segar: oker, jingga, kuning, putih, dengan bentuk mungil mirip rumah keong atau rumah-rumahan kecil bagaikan mainan. Secara keseluruhan, karya itu mengharu biru imajinasi kita ketika sebuah gunting adalah perpanjangan sebuah ranting bunga yang menjulur menembus jambangan mungil yang terpasang di cerobong rumah jingga nan mungil tadi. Judul karya ini Orange Lady.
Tiga torso Titarubi, yang sepenuh permukaan kulit diukir dengan huruf-huruf yang mengingatkan kita pada huruf Arab, dikurung dalam kotak transparan. Ini bukan hanya torso, dalam kotak, menyembul kedua tangan, dalam posisi seperti ketika orang berdoa. Asosiasi antara berdoa dan ornamen huruf seperti huruf Arab itu adalah sensasi karya ini.
Lalu ada sejumlah karya yang ngetren: menyajikan sepotong potret sebuah adegan di suatu hari. Karya-karya seperti ini, kalau tak salah, dipelopori karya-karya patung dari Cina yang pernah dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta. Termasuk yang seperti ini adalah karya Me & My Suster (Tisa Granicia). Lalu sejumlah perempuan duduk menunggu, beberapa hamil (seolah ini ruang tunggu rumah sakit), berjudul Waiting (Jenny Lee). Ada juga patung-patung kecil terdiri atas sejumlah sosok yang sedang ber-HP-ria, dengan berbagai posisi tangan. Inilah Cuma Obrolan Biasa, Jangan Disadap, Dong Ah! (Ira Suryandari).
Lebih menarik dari karya yang ”aktual dan relevan” itu (ingat ramainya soal undang-undang penyadapan) berupa seorang ibu mengasuh empat anak yang tiap anak berada dalam kereta roda dua. Empat kereta itu digandeng. Dalam warna putih kekuningan, biru tas yang dipegang si ibu dan warna tali yang menggandengkan empat kereta tadi mengusir nada tunggal dan ”menggerakkan” si ibu serta empat keretanya. Satu lagi karya yang seperti ini adalah Koper Merah dan Perempuan Pekerja (Endang Lestari). Sekelompok wanita, ada yang bertopi ada yang tidak, sedang menunggu dengan tas merah di samping mereka. Sebuah perjalanan tampaknya sedang disiapkan. Banyak berjalan banyak dilihat, kata pepatah. Itulah yang mungkin hendak dikisahkan.
Dan Animal of Anti-Animalis (Dona Prawita Arissuta). Dua lantai kantor, para hewan sedang mengadakan pertemuan. Warna mencolok hewan-hewan itulah yang pertama-tama menarik perhatian: merah, kuning, hijau, biru, dan seterusnya. Ekspresi pada hewan-hewan itu karikatural. Mungkin ini sebuah karya yang kocak, sebuah satire tentang rapat.
Di luar itu semua adalah karya yang masih bertolak dari seni keramik yang menggarap bentuk wadah (jambangan dan sebagainya). Di antara karya-karya itu, yang menyajikan bentuk dengan presisi yang seolah tanpa cacat, seolah karya ini lahir dari cetakan yang sempurna, adalah karya Mohd. Roslan Ahmad, seniman Malaysia. Bidang pada karya patung keramiknya tak menyisakan ”bekas” tangannya. Ia seperti mengucapkan ayat itu, Kun fayakun.... Jadilah, maka terciptalah itu.
Lalu karya Ponimin yang judulnya begitu panjang: Ceremonial of Having Meals with Upside Down Yellow Rice Cone. Berpuluh figur setinggi 20-an sentimeter ditempelkan memanjat di bambu yang dibentuk selongsong dan digantungkan. Figur-figur itu dalam berbagai posisi jungkir balik. Ini mengingatkan saya pada lomba panjat pinang. Mungkin ini sebuah parodi untuk itu.
Sekali lagi, inilah bienal yang sepi tapi berarti. Pameran yang mengingatkan kita kembali bahwa dalam seni keramik esensi itu adalah modal untuk mengeksploitasi yang tak terbatas: ketika yang tak terduga menjadi napas karya.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo