Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

"Kerajaan ini Harus Kembali Jadi Republik"

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKONOM Indonesia yang cemerlang dan rendah hati. Begitulah Thee Kian Wie, ekonom juga, pernah menjuluki tokoh satu ini. Jikapun tak sependapat, orang tetap mengenal Sadli sebagai ekonom yang punya kaliber tersendiri. Ia lulus dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (1953), meraih doktor di Universitas Indonesia, memperoleh master dari Massachusetts Institute of Technology, dan pernah menimba ilmu di University of California, Berkeley (1957), dan Harvard University (1964). Dua belas tahun silam, dia memperoleh anugerah Bintang Tanda Jasa Harta Suci Agung (The Grand Cordon of the Order of Sacred Treasure) dari pemerintah Jepang karena pengabdian dan jasanya meningkatkan persahabatan dan hubungan, terutama di bidang ekonomi, antara Indonesia dan Jepang. Di lingkaran pemerintahan, Sadli mulai hitungan ketika ditarik menjadi anggota tim penasihat ekonomi presiden dan sebagai Kepala Tim Teknis Penanaman Modal Asing (PMA) pada masa awal Soeharto berkuasa, lalu Menteri Tenaga Kerja (1971-1973), Menteri Pertambangan dan Energi (1973-1978) dalam Kabinet Pembangunan II. Boleh dikata, Sadli juga arsitek ekonomi Orde Baru, bersama dengan "Mafia Berkeley" lainnya: Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Soebroto, dan Ali Wardhana. "Radius Prawiro baru menyusul belakangan," tuturnya. Toh kritiknya selalu terdengar, vokal dan berimbang. Ia bisa memaki Soeharto, tapi juga tak ragu memujinya. Dalam usia ketika banyak orang sebayanya sudah tergolek lemah, Sadli masih sempat terbang ke sana-kemari dari satu seminar ke seminar lain. Ia juga menulis secara teratur di buletin ekonomi Business News, harian Kompas, dan majalah ini. Laki-laki kelahiran Sumedang, 10 Juni 1922 ini bahkan masih terlihat sehat dan segar meski sudah setahun malas lari pagi. "Saya dewan komisaris di International Nickel, sepatu Bata, dan perusahaan yang memproduksi Viagra itu," kata suami Saparinah Sadli, psikolog ternama dari Universitas Indonesia ini. Sadli tampak bersahaja dengan batik hijau Solo lengan pendek ketika menerima wartawan TEMPO di rumahnya yang asri, di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu pekan lalu. Percakapan berlangsung santai dalam suasana penuh keakraban dan keterbukaan, seperti layaknya seorang kawan lama, diselingi suguhan kolak pisang. "Pemilu 7 Juni nanti saya tidak tahu mau menusuk apa. Mungkin nanti saya pergi ke luar negeri sajalah," katanya kepada Fikri Jufri, Setiyardi, Karaniya Dharmasaputra, dan fotografer Rully Kesuma dari TEMPO. Berikut ini petikannya.

Anda pernah jadi menteri pertambangan dan energi, bisa cerita soal Pertamina?

Ketika saya mengurus Pertamina pada 1973-1978, Tommy (Hutomo Mandala Putra) baru sebesar ini (tangannya menggambarkan tinggi seorang anak kecil). Putra-putri Presidenlah yang belakangan menjadikan Pertamina sapi perahan. Tapi dari dulu sudah ada benalu-benalu lain, yaitu Ibnu Sutowo dan ajudan-ajudannya. Permainannya sama saja, pembelian dengan mark up yang gila-gilaan. Pembelian barang atau komponen tertentu seenaknya saja, tidak ada tender dan tidak dicek, tidak ada inventory control dan inventory management. Menurut sejarahnya, Pertamina itu jelek sejak permulaan.

Sejelek apa?

Keuangan Pertamina sangat kacau. Tidak ada pencatatan yang jelas. Lantas saya mencari perusahaan akuntansi asing, yang digaji besar sekali, untuk memperbaiki keuangan Pertamina. Sayangnya, pekerjaan itu tidak kunjung selesai, padahal mereka sudah bekerja selama sepuluh tahun. Sebabnya, pihak administrasi Pertamina tidak mau membantu kerja mereka. Jelas, ada vested of interest di sana. Orang asingnya juga begitu. Mereka pikir, daripada mereka kehilangan kontrak, lebih baik melakukan kompromi.

Setelah anak-anak Presiden "masuk" ke Pertamina, seberapa besar penjarahan yang mereka lakukan?

Persisnya saya tak punya data akurat. Namun, kalau diandaikan ada mark up 10 persen saja akibat dari korupsi, kita bisa tahu jumlah kerugian yang ditanggung masyarakat. Jumlah BBM yang dikonsumsi selama satu tahun kan bisa kita ketahui dalam hitungan miliar liter. Seandainya harga satu liter minyak mentah Rp 1.742, misalnya, lalu di-mark up 10 persen, akhirnya rupiah yang digerogoti jadi berjuta-juta dolar.

Jadi, rakyat dirugikan. Berapa persisnya?

Saya tidak tahu. Yang harus Anda ketahui, pengaruh korupsi itu bukan karena mark up-nya yang tinggi, tetapi karena volumenya yang besar. Produksi nasional kita waktu itu sekitar 1,5 juta barel per hari. Jumlah yang dikonsumsi untuk dalam negeri, anggap saja 750 ribu barel per hari, bisa kita cari penggunaan dalam satuan liter per tahun, yakni 42.431.250.000 liter per tahun. Kalau yang dikorupsi tiap liternya "hanya" US$ 5 sen, yang total selama satu tahun saja adalah US$ 2.121.562.500.

Bagian-bagian mana dari Pertamina yang paling rawan korupsi?

Saat ini mungkin pembangunan kilang menjadi tempat yang cukup strategis. Tapi, sewaktu akhir Orde Baru kan semua kontrak harus lewat putra-putri Presiden. Putra-putri harus menjadi perantara.

Sebelum putra-putri, ada Ibnu Sutowo. Tapi, sebagai menteri, kenapa waktu itu Anda diam saja?

Waktu itu urusan Pertamina memang bukan urusan menteri. Saya tidak tahu apa-apa. Semuanya langsung dari Soeharto. Semua dihitung oleh Pertamina sendiri. Akuntansinya yang bisa mengecek bukan Menteri Pertambangan dan Energi, melainkan Menteri Keuangan. Sebab, akhirnya yang harus memberikan subsidi adalah Menteri Keuangan.

Jadi Anda sering dilangkahi?

Oh..., selalu begitu. Pertamina tidak pernah diurus oleh Menteri Pertambangan. Pertamina langsung diurus oleh Presiden. Buktinya, direktur utama Pertamina selalu dipilih oleh Presiden. Tidak pernah dipilih dari bawah. Kabarnya, Faisal Abda'oe dari bawah, tetapi dia memiliki hubungan khusus dengan Cendana. Jadi memang eksklusif. Perusahaan besar seperti Pertamina, Garuda, selalu menjadi sapi perah bagi Presiden.

Anda mengatakan bahwa kekacauan ekonomi Orde Baru sejak anak-anak Soeharto mulai besar. Tapi, kalau melihat kasus Pertamina, kan mereka masih kecil?

Setelah Pak Ibnu pergi, secara intern Pertamina sebenarnya masih bobrok. Ukuran bobroknya karena auditor asing tidak pernah bisa masuk. Ketika pada 1978 saya keluar, auditor asing sudah ada. Tapi, setiap kali mau masuk, pintu Pertamina selalu ditutup. Pertamina bisa clean audit ketika Faisal Abda'oe masuk.

Apakah sedemikian besar peran Ibnu Sutowo waktu itu?

Itu kan masalah politik. Heirarki politik Soeharto itu harus kita sadari benar. Setelah Soeharto, di bawahnya ada ABRI, kemudian baru teknokrat. Jadi, Widjojo (Nitisastro) tidak akan pernah lebih tinggi dari Ali Moertopo. Pak Ibnu Sutowo itu kan ABRI, dan dia sangat senior. Saya masih ingat, Pak Harto berkata ke saya, "Pak Ibnu adalah senior saya di ABRI dan dia itu intelektual, seorang dokter. Dia seorang patriot, jadi tidak bisa salah." Pak Harto mengatakan itu ketika saya menyarankan agar Pak Ibnu diganti, ha-ha-ha.... Bagi Pak Harto, yang dilakukan oleh Ibnu hanyalah mismanajemen, bukan korupsi.

Tapi sebenarnya itu korupsi?

Waduh, besar sekali. Tapi, kalau mau membuktikannya, ya susah. Seperti sekarang, kalau kita mau membuktikan korupsi Pak Harto, pasti akan sulit. Sebaiknya Anda ngomong dengan Sumarlin dan Radius Prawiro. Mereka tahu banyak soal ini. Bagi saya, yang melihatnya dari luar, adalah bagaimana menjelaskan Ibnu bisa begitu kaya. Dengan gaji sebagai direktur utama Pertamina, kok bisa membangun hotel mewah dan macam-macam? Itu kan tak masuk akal. Semua itu bisa terjadi karena tidak transparannya proyek-proyek di Pertamina.

Kok, kebobrokan itu bisa berlangsung lama?

Begini, Pak Ibnu itu seorang tentara. Pertamina itu sumber duit, sedangkan tentara dari dulu kan selalu kekurangan uang. Jadi, ya, mereka tolong-menolong. Semua keperluan para jenderal dipenuhi oleh Pak Ibnu. Kebiasaan tentara sejak zaman pergerakan sudah jelek. Pak Harto, sewaktu masih ditempatkan di Semarang, hidupnya dari penyelundupan. Yang membantu penyelundupan itu selalu (orang) Cina, selalu begitu, dan Cinanya lantas menjadi besar. Namanya Oom Liem (Sioe Liong).

Bagaimana hubungan Anda dengan Ibnu Sutowo sekarang?

Sebenarnya tidak ada hubungan. Kalau ketemu, dia pasti kikuk. Kalau ketemu, ya, kami bersalaman. Sejak dulu dia tahu bahwa saya tidak setuju dengan kebijakannya di Pertamina. Saya ini dipasang oleh Widjojo di Departemen Pertambangan untuk menjaga Pak Ibnu dan menjaga hubungan baik dengan Pak Ibnu. Widjojo tahu bahwa Pak Harto pasti akan membela Pak Ibnu. Nah, dalam kasak-kusuknya Widjojo, Sadli dipasang untuk menjaga Pak Ibnu. Tapi, kalau nantinya ada apa-apa, Pak Ibnu akan dibabat oleh Radius dan lain-lainya itu. Ini sebuah strategi dari tim. Tiap orang punya perannya sendiri.

Mengapa Anda yang dipilih untuk "menjaga" Ibnu Sutowo?

Karena Sadli yang paling supel. Kalau Ali Wardhana kan tidak bisa, dia orangnya keras.

Yang Anda maksud dengan "menjaga" itu apa, sih?

Sebagai Menteri Pertambangan, ex officio saya adalah ketua dewan komisaris Pertamina. Jadi, minimal saya bisa memberikan perintah ke Pertamina. Tapi saya juga tahu bahwa ketua dewan komisaris Pertamina yang sesungguhnya bernama Soeharto.

Soeharto tahu bahwa Anda bertugas menjaga Pak Ibnu?

Oh, tidak. Tentu saja kita tidak melaporkan hal itu ke Pak Harto. Tapi pembagian tugas ini merupakan interpretasi saya. Kalau you ngomong dengan Widjojo, dia pasti akan membantah. Dulu, Widjojo selalu bekerja sama dengan Sudharmono. Ada semacam aliansi antara Widjojo, Sudharmono, dan Ismail Saleh. Mereka satu tim untuk menjaga Pak Harto agar kursnya tak turun.

Caranya?

Oh, itu permainan Jawa. Ngerjain Pak Harto supaya mau mengikuti mereka. Itu merupakan sebuah seni Jawa. Ali Wardhana, Emil Salim tidak bisa melakukan hal itu.

Jadi, ketika itu Widjojo sangat menguasai kabinet kita?

Pada bidang ekonomi memang benar, tapi tidak dalam politik. Di politik yang memegang kan Amir Machmud. Lihat saja Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1974, itu produk Amir Machmud. Tapi dia dibeking oleh Pak Harto.

Dengan ketidakmampuan mengendalikan Pertamina itu, Anda merasa bersalah?

Terus terang saja saya tidak pernah merasa bersalah karena saya memang tidak punya akses ke sana. Saya tidak mempunyai wewenang untuk menentukan.

Jika Anda tidak setuju, dan apa yang tidak Anda setujui terus berlangsung, bukankah Anda bisa mundur dari Kabinet Soeharto? Mengapa Anda tetap berada di sana, tidak segera keluar, misalnya?

Itu pertanyaan yang tidak bisa saya jawab.

Siapa yang akhirnya memecat Ibnu Sutowo?

Pak Harto langsung. Yang lain-lain, seperti Widjojo, hanya bisa memberi saran. Kesalahan terbesar Ibnu, di mata Pak Harto, berlangsung sewaktu para pemimpin ASEAN bertemu di Bali. Minggu pagi, Pak Ibnu naik helikopter, nguing..., nguing..., turun dengan Ferdinand Marcos (bekas presiden Filipina), tanpa izin dan kulo nuwun pada Pak Harto. Senin paginya, Tjokropranolo datang ke rumah Pak Ibnu dan mengatakan bahwa Pak Ibnu diberhentikan dari jabatan direktur utama Pertamina. Memang, sebelumnya Pak Harto sudah sangat gelisah. Tapi dia belum mau mengambil keputusan. Nah, kasus di Bali itu yang menjadi pemicu diberhentikannya Pak Ibnu.
Ada yang bilang Soeharto marah pada Ibnu Sutowo karena ia tidak diberi tahu soal tanker game?pembelian kapal tanker?

Memang Pak Harto tidak tahu persoalan pembelian tanker itu. Utang Pertamina yang US$ 10 miliar kan sebagian besar untuk membeli tanker. Alasan Pak Ibnu membeli tanker: Pertamina harus besar melalui pekerjaan-pekerjaan yang mudah. Kalau harus mencari minyak, melakukan eksplorasi, itu kan pekerjaan yang sulit dan berisiko. Sedangkan kalau membeli tanker, hotel, dan mobil yang disewakan kepada ekspatriat, itu lebih mudah dan gampang.

Bagaimana dengan cerita pertambangan Freeport?

Saya bertanggung jawab dengan proses kelahiran Freeport itu pada 1967. Tapi bukan Freeport yang sekarang ini dimiliki oleh Freeport McMorran, melainkan Freeport Silver. Memang proyeknya sama, tapi yang sekarang kepemilikannya sudah berganti ke James Bob Moffet.

Kabarnya, Freeport itu merupakan proyek percontohan untuk penanaman modal asing?

Benar, itu merupakan proyek Orde Baru, termasuk Pak Harto dan Sri Sultan. Ketika itu kita memerlukan sebuah record dari perusahaan besar yang masuk ke Tanah Air agar kita bisa pamer ke dunia internasional. Maka kami memutuskan menerima Freeport, karena yang masuk cuma itu. Jadi memang Freeport mendapat perlakuan yang paling baik, diberi tax holiday selama 10 tahun. International Nickel, yang masuk dua tahun sesudahnya, tidak lagi diperlakukan seperti Freeport. Terus terang saja, ketika itu tidak terpikir oleh kita soal hak-hak penduduk asli. Kesadaran bahwa penduduk asli harus diperhatikan dan diberdayakan baru muncul belakangan ini.

Siapa yang membawa Freeport ke sini?

Ibnu Sutowo, karena dia memang sudah dikenal di dunia internasional.

Jadi Ibnu Sutowo berjasa juga?

Tapi kemudian banyak pertanyaan bahwa PMA-PMA itu akhirnya menjajah kita. Utang yang terlalu banyak menyebabkan kita kehilangan kemerdekaan.

Mengapa Anda menolak jadi duta besar di Washington setelah berhenti dari jabatan menteri?

Jabatan dubes itu kan sebuah tanda jasa. Yang menolak adalah istri saya. Kalau saya jadi duta besar di Washington, tugas saya cuma menjemput orang di bandara malam hari. Kalau menjemput menteri sih mendingan, paling-paling yang dijemput nanti cuma Bob Hasan, ha-ha-ha.... Ya, saya tidak mau!

Ketika Anda keluar, kondisi minyak kita seperti apa?

Saya keluar tahun 1978, sebenarnya kita masih menikmati oil boom. Subroto masih mengalami oil boom itu. Harga minyak per barel masih US$ 15.

Apa alasan utama berhenti jadi menteri?

Saya tidak bisa lagi meladeni tokoh seperti Pak Harto yang tidak transparan. Saya juga orang Jawa, tapi dari Semarang. Dia orang Jawa yang dari Yogya. Rupanya sifatnya lain. Saya juga bosan. Secara pribadi saya sudah tidak tahan lagi. Saya katakan kepada Widjojo, kalau nanti ada kabinet yang baru, saya tidak usah diikutkan lagi.

Anda kan sebetulnya punya peluang untuk disogok?

Ah, tidak pernah. Tahun 1973-1978, saat jadi menteri, saya tidak punya kuasa. Jadi yang mau nyogok datang ke Ibnu Sutowo. Kalau dari Jepang, mereka nyogok (Soedjono) Hoemardani, tapi uangnya untuk membangun yayasan. Contohnya, gedung CSIS itu dibentuk dari dana orang Jepang.

Keluarnya Anda itu berhubungan dengan keluarnya Sumitro Djojohadikusumo dari kabinet?

Oh, tidak ada. Sebuah kebetulan saja bahwa saya keluar berbarengan dengan Pak Cum. Waktu Pak Cum keluar, dia sudah di kabinet selama 10 tahun, Widjojo sedang tumbuh. Ya, kita tetap menghormati Pak Cum sebagai godfather. Tapi saya tahu bahwa Pak Cum tidak bisa mendikte Widjojo. Widjojo tumbuh dengan kepribadiannya sendiri.

Sekarang soal ekonomi Orde Baru, sebetulnya apa yang salah sehingga berantakan?

Aduh, ini pertanyaan yang susah dijawab! Pada 1965, kami berpendapat, kalau rezim Soekarno tumbang, perekonomian yang morat-marit harus dibangun lebih layak. Saat itu kami tidak punya doktrin macam-macam. Visinya satu: pembangunan. Sekarang, "pembangunan" jadi istilah yang jelek, ha-ha-ha.... Konsep sesungguhnya adalah pembangunan dengan pemerataan. Tapi, dengan jumlah uang yang amat sedikit, kita harus menyusun prioritas.

Ada yang salah dalam desain itu?

Wah, saya susah ngomongnya. Itu mestinya Anda tanyakan ke Ali Wardhana, karena saya sudah keluar duluan. Tapi jangan dibayangkan desain itu sangat detail. Tidak begitu, kita sangat pragmatis, tidak ideologis. Apa yang diperlukan dalam sebuah kurun waktu, ya, itulah yang kita buat.

Menurut Profesor Sumitro, sepuluh tahun pertama semua masih berjalan baik. Setelah itu, sekitar tahun 1978, mulai acak-acakan?

Saya tidak mau berpendapat seperti itu. Tahun 1978 itu saya keluar dari kabinet. Maka, tidak fair dan sulit bagi saya untuk mengatakan bahwa setelah itu semuanya jadi kacau.

Tapi banyak yang berpendapat fondasinya sudah tidak benar sejak awal?

Ada dua hal yang harus kita pisahkan. Kelompok Widjojo adalah arsitek ekonomi. Tapi yang menjadi arsitek politik adalah ABRI.

Benarkah kerusakan itu dimulai saat kelompok Widjojo sudah tidak bisa lagi mengendalikan Soeharto?

Memang bisa disebut begitu. Ketika anak-anaknya sudah mulai dewasa, pertimbangan tim ekonomi memang sudah tidak didengar lagi. Anak-anaknyalah yang merusak perekonomian kita. Meski begitu, menurut saya yang paling bersalah adalah bapaknya. Tommy (Soeharto) itu produk dari zamannya. Zaman manja.

Mengapa ada keengganan dari tim ekonomi untuk mencegahnya?

Loh, tanya saja pada Ali Wardhana, ha-ha-ha.... Ketika itu memang zaman korupsi sudah dimulai. Sebenarnya bisa saja kita mencegahnya. Widjojo pasti bisa melakukannya. Tapi masalahnya tidak ada jaminan bahwa negara pasti akan bebas dari korupsi itu. Saya yakin, kalau Widjojo melakukannya, Pak Harto tetap akan jalan. Sedangkan Widjojo pasti akan diganti. Banyak, kok, yang bisa menggantikan Widjojo.

Kelihatannya pembangunan ekonomi kita memang lebih mementingkan pertumbuhan daripada pemerataan?

Begini, saya kan sudah lama keluar dari pemerintahan. Anda ngomong saja dengan Emil Salim. Saat ini dia lebih banyak tahu daripada saya. Sekarang, semua yang dilakukan oleh Soeharto memang selalu dihujat. Sewaktu Bung Karno turun juga dihujat, tapi akhirnya apresiasi orang lebih baik lagi.

Sebenarnya, apa kesalahan terbesar dari Soeharto selama berkuasa?

Persoalan korupsi. Soeharto tanpa korupsi adalah Soeharto tahun 1980-an. Tahun 85-an, korupsi itu dimulai, itu juga ditiup-tiup oleh boom ekonomi. Kalau Anda mau menelusuri, lihat saja di bank-bank BUMN. Yang menggerogotinya adalah anak-anak Pak Harto. Itu berlangsung selama 10 tahun terakhir. Tapi pada akhirnya saya berpendapat bahwa republik ini berhak untuk membuat kesalahan-kesalahan. Yang penting, krisis ini bisa memperkuat jati dirinya. Kita harus memetik hikmah dari krisis ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus