Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

"Sistem Proporsional dan 100"

12 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kursi ABRI Bikinan Soeharto" Mengetengahkan Achmad Dahlan Ranuwihardjo berarti menampilkan potret aktivis gerakan mahasiswa yang nyaris komplet memperjuangkan idealisme kaum muda. Dari 1945 hingga 1947, sebagai pelajar, dia memimpin majalah Api Merdeka, yang terbit di Yogyakarta. Sewaktu perang kemerdekaan berkecamuk, dia menjabat komandan regu Corps Mahasiswa. Dahlan sempat berjuang di front Lamongan, Jawa Timur, di bawah Divisi Ronggolawe, yang dipimpin Kolonel Djatikusumo. Selepas penyerahan kedaulatan, sebagian besar tentara pelajar meninggalkan dinas militer, tapi Dahlan tidak. Dalam kedudukan sebagai perwira militer, ia mendapat tugas belajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Hal ini seiring sejalan dengan terpilihnya dia sebagai ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di Ibu Kota, pria kelahiran Pekalongan 13 Desember 1925 ini semakin aktif dalam gerakan mahasiswa. Namanya memang sudah terpatri sebagai salah seorang bapak pendiri (founding fathers) HMI, bersama pencetus HMI, Lafran Pane. Dahlan giat membidani kelahiran HMI di Yogyakarta pada 5 Februari 1947, begitu pula di Jakarta, ia bekerja keras membangun independensi HMI, di samping memimpin Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (1952). Dan ia berhasil, termasuk menggalang solidaritas organisasi ekstra kampus. Atas saran KSAD, Letjen Ahmad Yani, Dahlan melepas karir militernya dan pensiun dengan pangkat letnan satu (1990). Ia memilih karir sebagai politisi dan selalu bersama HMI tatkala organisasi ini melalui masa-masa sulit: periode kemerdekaan 1947-1950, demokrasi liberal 1950-1960, Orde Lama 1960-1965. Tumbuh dewasa dalam asuhan pamannya, Mr. Mohamad Roem—politisi kawakan Indonesia pada masa awal kemerdekaan—Dahlan muda memilih sikap politik yang lebih "taktis dan moderat" ketimbang sang Paman. Sikap ini jelas terlihat saat ia memandu HMI melalui masa kritis pada 1964. Ketika itu HMI harus memilih, misalnya, menerima paham Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunis)—yang digagas Bung Karno—atau terancam bubar. Dahlan memilih yang pertama, kendati ada kawan yang "menghujat"-nya karena dianggap bersikap munafik. "Itu sikap taktis untuk menyelamatkan HMI. Dan secara batin HMI tidak pernah menerima ide Nasakom," tuturnya. Pada awal Orde Baru, memang, ayah enam anak ini langsung "terimbas" politik Soeharto. Ia—saat itu duduk sebagai anggota DPR—menentang keras klaim Soeharto tentang konsensus nasional dalam pembuatan Undang-Undang Pemilu pada 1967. Berdasarkan klaim konsensus nasional itulah Soeharto secara sepihak menetapkan pemilu dengan sistem proporsional. Padahal, Dahlan, yang duduk di panitia khusus pembuatan Undang-Undang Pemilu, mengusulkan sistem distrik. Perdebatan keras itu mementalkan ia dari kursi DPR—bersama dengan Adnan Buyung Nasution dan Ismail Suny—melalui mekanisme recall. Dan itulah recall pertama dalam sejarah Orde Baru. Peristiwa itu membuat Dahlan—salah satu pemikir di Sekretariat Bersama Golkar—praktis keluar dari lingkar elite politik masa itu. Peristiwa tersebut membawanya pula pada sebuah keputusan pribadi yang penting, yakni berhenti menjadi politisi. Ia kemudian memusatkan kegiatannya sebagai pengacara, pengamat politik, dan dosen. Kini, di sela-sela kesibukannya sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional, Jakarta, ia tetap aktif memberi seminar. Pekan lalu, di sebuah rumah bersahaja penuh buku dan koleksi pernak-pernik milik istrinya, di Kompleks Pesanggrahan Permai, Petukangan, Jakarta Selatan, ia menerima wartawan TEMPO Dwi Arjanto, Hermien Y. Kleden, dan fotografer Fernandez Hutagalung untuk sebuah wawancara khusus. Petikannya:

Mengapa HMI menolak berada di bawah naungan partai?

Pada waktu itu keras benar polarisasi politik antara partai pemerintah dan oposisi. Partai pemerintah (Partai Sosialis Indonesia, PSI) dipimpin Sjahrir dan ormas-ormasnya. Oposisinya adalah Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka. Nah, gaya PSI itu memang suka nyaplok. Jadi, motivasi kemandirian HMI itu antara lain untuk mencegah pencaplokan Persatuan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) oleh para mahasiswa sosialis.

Apakah Lafran Pane, pencetus HMI, sudah memikirkan soal kemandirian saat membentuk organisasi ini pada 5 Februari 1947?

Hal itu belum terpikirkan oleh Mas Lafran. Konsep independensi baru belakangan muncul. Saya yang pertama kali memakainya. Motivasinya adalah agar mahasiswa, yang dipelopori HMI, jangan ikut polarisasi politik. Dan jangan dipengaruhi partai-partai politik.
Masyumi memang meminta kami bergabung. Saat itu tidak ada organisasi Islam yang tidak di bawah Masyumi. Mereka bilang, "Kenapa HMI menyendiri? Nanti akan didirikan seksi mahasiswa di Masyumi." Tapi Mas Lafran menjawab dengan diplomatis, "Waktu mendirikan HMI, itu tidak saya pikirkan."

Jadi, apa yang terpikir?

Yang terpikir adalah agar mahasiswa Islam jangan menyendiri, tapi berintegrasi dengan kehidupan bangsa. Dari situ kemudian muncul doktrin muslim nasionalis. Dalam bahasa populernya, tunjukkan ke masyarakat bahwa yang namanya orang Islam itu bukan santri teklek (bakiak). Dan kalau sudah jadi mahasiswa, jangan lupa Islamnya.

Bukankah sempat muncul tuduhan separatisme terhadap HMI pada masa itu?

Tuduhan separatis dilancarkan oleh mahasiswa-mahasiswa sosialis. Tapi, kalau separatis dalam arti ingin keluar dari negara republik proklamasi, itu tidak benar.

Bagaimana dengan persoalan fanatisme?

Itu juga tidak benar. Anda tahu, mahasiswa HMI zaman Belanda itu termasuk anak-anak "bergaul". Terus terang, saya juga pernah ikut hura-hura, sewaktu belum jadi ketua Pengurus Besar (PB) HMI. Kalau ada pesta hari ulang tahun, ya, ikut dansa-dansi. Setelah jadi ketua PBHMI, saya tidak lagi berdansa di pesta. Suatu ketika, tahun 1951, di sebuah pesta, dua pengurus HMI Pusat, Norman Rajab dan Agustin Aminudin, mengajak saya turun dansa. Dengan halus saya tolak karena sudah jadi ketua umum PB HMI.

Apakah polarisasi politik, yang juga mempengaruhi gerakan mahasiswa, masih berlangsung menjelang Pemilu 1955?

Ada polarisasi, tapi bentuknya lain lagi. Setelah tahun 1950, polarisasi itu terjadi antara partai nasionalis dan golongan Islam. Isunya adalah negara Islam dan Pancasila, yang meruncing dan menajam pada 1953.

Anda pernah berkirim surat ke Bung Karno pada April 1953, meminta penjelasan soal Pancasila dan negara Islam. Apakah Anda juga berpendapat bahwa Bung Karno mulai berpihak pada golongan tertentu?

Surat itu saya kirim karena saya berpendapat bahwa tidak ada yang bertentangan antara Islam dan Pancasila. Malah, Pancasila sesuai dengan ajaran Islam. Tapi, kok, ada pihak yang mempertentangkannya dan mengalternatifkan Pancasila dengan Islam? Artinya, harus memilih, Pancasila atau Islam. Surat saya itu dijawab Bung Karno pada peringatan Isra' Mi'raj pada saat malam harinya di Istana Negara.

Siapa saja yang menjadi motor pertentangan polarisasi Islam dan Pancasila ketika itu?

Dari golongan nasionalis, eksponennya Bung Karno sendiri. Eksponen dari golongan Islam adalah Masyumi, yang diwakili ketua umumnya, Mohamad Natsir. Saat itu kan kita mau menghadapi pemilu. Nah, pemilu akan memilih DPR dan Konstituante, yang akan menetapkan UUD yang tetap. Masalah utama yang akan dihadapi dalam sidang Konstituante adalah masalah dasar Pancasila atau dasar Islam bagi negara.
Yang menghendaki dasar Islam itu empat partai, yang gigih bicara adalah Moh. Natsir.

Apa inti jawaban Bung Karno terhadap surat Anda?

Bung Karno mengakui adanya cita-cita Islam. Tapi Pancasila tidak bertentangan dengan cita-cita Islam. Bahkan, dalam akhir ceramahnya, ia mengutip pendapat Mohamad Natsir. Sewaktu bicara di Pakistan Institute for International Relations, Karachi, pada 1951, Pak Natsir mengatakan, "Your part and ours is the same. Only it is differently stated. What you call Islam in your country is called Pancasila in my country."

Apakah Anda menyimpan kekhawatiran tertentu di balik pengiriman surat itu?

Yang saya prihatinkan adalah polarisasi antara nasionalis dan Islam akan menguntungkan PKI. Dan itu terbukti. PKI, yang sudah morat-morat pada 1950 akibat pemberontakan Madiun, bangkit menjadi partai nomor empat pada Pemilu 1955.

Tapi apakah pertikaian antara golongan Islam dan nasionalis memang sudah sedemikian memprihatinkan?

Pertentangan ideologis sebetulnya hanya menyentuh aspek simbol, bukan aspek substansif, seperti Pancasila tadi. Kalau dipahami, butir-butir Pancasila kan tak ada yang bertentangan dengan Islam. Di lain pihak, partai-partai Islam, walaupun ngotot menghendaki dasar Islam untuk Indonesia, mereka belum pernah merumuskan secara persis apa yang dimaksud dengan "Dasar Islam bagi Negara".

Bahkan Masyumi?

Bahkan Masyumi. Beberapa kali saya tulis hal ini. Tidak pernah ada yang membantah. Dokumennya juga tidak ada. Saya sudah bertanya ke sana-kemari. Saya tanya tokoh Masyumi dan tokoh NU, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Masjkur, K.H. Idham Chalid, dan lainnya. Saya juga berdiskusi dengan tokoh Partai Syarikat Islam seperti Anwar Tjokroaminoto. Saya tanya kepada teman-teman yang ikut gerakan Darul Islam. Saya tetap tidak memperoleh jawaban. Sampai kemudian saya simpulkan dasar-dasar Islam untuk negara itu hanya sloganisme dan verbalisme.

Apa reaksi yang Anda terima gara-gara pengiriman surat itu?

Kalangan Masyumi tidak senang. Kata mereka, HMI tidak memihak umat Islam tapi malah memihak Presiden Sukarno yang anti-Islam? Saya jawab, anti-Islamnya itu yang bagaimana? Presiden Sukarno tidak setuju dengan cita-cita Masyumi akan negara Islam dan menghendaki negara nasional. Tapi itu kan tidak berarti anti-Islam.

Jadi, Anda merasa HMI tidak memihak Bung Karno?

HMI tidak memihak siapa-siapa. Independensinya tetap terjaga. Bahkan, sewaktu HMI mengalami cobaan yang amat berat pada 1964.

Yang Anda maksudkan tatkala organisasi ini "dikeroyok" PKI dan sayap PNI Asu (Ali Sastroamidjojo dan Suratman)?

Betul. Mereka menuntut dibubarkannya HMI. Istilahnya, pengganyangan HMI. Sebelumnya, Masyumi dibubarkan pada Agustus 1963. Saya pernah duduk di kepemimpinan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) pada 1956-1959. Anggota terdaftar GPII mencapai 2 juta di seluruh Indonesia. Organisasi ini juga dibubarkan.

Mengapa tuntutan pembubaran ini muncul jika HMI benar-benar organisasi independen?

Alasannya, HMI anak Masyumi. Karena Masyumi sudah bubar, HMI harus dibubarkan. Argumen itu jelas salah. Dan Bung Karno tahu betul bahwa HMI bukan anak Masyumi. Sejumlah fakta menunjukkan HMI anggota Front Nasional (Front Nasional Pembebasan Irian Barat). HMI menerima Manipol. Waktu itu alasannya karena isi Manipol adalah perjuangan nasional dan perjuangan anti-imperialis internasional. Kita juga pendukung revolusi Indonesia.

Berarti, HMI memilih bekerja sama dengan rezim Bung Karno?

La, iya. Wong, berdiri di belakang Bung Karno. Pertimbangan waktu itu begini: HMI pasti dibubarkan jika tidak taat kepada Pemimpin Besar Revolusi. Apakah tidak terlalu mahal sikap ini? Dalam kondisi kritis itu saya menjabat penasihat PBHMI.

Apakah Anda tetap berpendapat bahwa HMI tetap independen setelah menerima Nasakom?

Independensi HMI itu murni tapi bukan berarti netral. Bahkan, kalau perlu harus berpihak. Kami memilih berdiri di belakang Bung Karno karena sejak berdiri HMI selalu menyatu dengan kehidupan nasional dan pemerintah sah Republik Indonesia, yaitu pemerintahan Bung Karno. Selalu saya katakan ada empat unsur. Untuk Pemimpin Besar Revolusi, HMI oke. Manipol, oke. Front Nasional, oke. Yang tidak oke, hanya Nasakom.

Tidak okenya itu bagaimana?

Tidak sungguh-sungguh, hanya dalam bentuk lahir. Nasakom itu digariskan Pemimpin Besar Revolusi untuk menghadapi invasi imperialisme internasional. HMI juga menentang imperialisme. Tapi, untuk kerja sama dengan Nasakom, terus terang saja, tidak sungguh-sungguh. Dalam hati ini kita tetap menentang ideologi marxisme-komunisme. Langkah ini lebih sebagai strategi dan taktik.

Mengapa HMI mengambil sikap penuh risiko itu?

Yang bersikap begitu itu kan bukan hanya HMI. Angkatan Darat juga punya sikap yang sama terhadap Nasakom. Secara intern, kalangan umat datang kepada saya. Mereka bilang, Nasakom buat HMI hanya gaya dan permainan di kalangan elite atas. Namun, kami tetap muslim dan anti-ideologi marxisme dan materialisme.

Masa, tidak ada yang memberikan komentar sumbang?

Tentu ada. Seorang kawan lama dari GPII berkomentar, "Kalau begitu, Anda munafik."
Saya bilang, "Oke, saya munafik." Tapi argumen saya, HMI itu bukan hanya kader umat, tetapi kader bangsa. Jadi, perlu sikap taktis untuk menyelamatkan organisasi ini. Dan soal munafik, saya toh tidak munafik kepada Allah, kepada sesama ikhwan atau kawan-kawan. Saya munafik kepada PKI. Dan bagi saya, itu hukumnya wajib.

Karena pertentangan ideologi?

Karena PKI sendiri munafik. Apa benar PKI Pancasilais? Omong kosong! Jadi, saya munafik terhadap orang munafik. Anak-anak HMI bisa memahami sikap yang saya gariskan ini. Anak-anak HMI paham, dari segi ideologis, sampai kapan pun kami tidak bisa menerima Nasakom.

Apakah Anda harus menghadapi protes mahasiswa ketika mengambil keputusan itu?

Mereka bisa menerima sikap yang digariskan para penasihat, kendati tentu saja ada gejolak kecil di sana-sini. Eki Syachrudin, misalnya, marah-marah ketika dalam pertemuan diharuskan menyanyikan lagu Nasakom, ha-ha-ha....

Sedikit tentang keluarga. Anda tumbuh dewasa dalam asuhan paman Anda, Mr. Mohamad Roem. Mengapa Anda tidak memilih bergabung dengan Masyumi padahal paman Anda adalah tokoh Masyumi?

Itulah sikap demokratis yang saya pelajari dari Mr. Roem. Saya menjadi tokoh HMI yang mengambil sikap independen, dan paman saya tokoh Masyumi. Tapi kami akrab di bawah satu atap. Jika Paman menerima tamu tokoh partai, para duta besar, atau tamu penting lain, saya selalu boleh ikut duduk, mendengar, berkomentar. Kadang-kadang, saya mengambilkan teh dan melayani sembari mendengarkan diskusi mereka. Begitulah cara Paman membesarkan dan mendidik saya.

Namun, dalam berpolitik, Anda tampaknya lebih pragmatis daripada Mr. Roem. Ia memilih masuk penjara karena berbeda pendapat dengan Bung Karno, sementara Anda bisa meyakinkan HMI untuk menerima Manipol dan Nasakom demi kelangsungan organisasi.

Dari Paman, saya belajar watak ikhlas, demokrat, watak fatsoen dalam politik. Tapi, dalam cara berpolitik praktis, strategi, dan taktik serta ideologi, Paman Roem bukan guru saya. Di bidang ideologi, misalnya, Bung Karno yang menjadi guru saya. Selebihnya, saya belajar secara otodidak.

Bagaimana Anda mengambil sikap antara "guru" dan paman Anda, tatkala Bung Karno memenjarakan Mr. Roem selama empat tahun (1962-1966)?

Saat itu saya anggota DPRGR dan keluarga memang mendesak saya berbuat sesuatu. Suatu hari, bersama Bung Roeslan Abdulgani, kami bertemu Bung Karno. Setelah satu jam berbincang ke sana-kemari, akhirnya saya tanyakan soal Paman Roem. Bung Karno menjawab, "Dahlan, tugasmu itu apa?" Jawab saya, "Sebagai anggota DPRGR." Bung Karno berkata lagi, "Ya, sudah, lakukan saja tugasmu dengan baik." Sepatah kata pun ia tidak menjawab soal Paman Roem.

Sekarang, tentang hubungan Anda dengan Pak Harto. Tampaknya, karir Anda di bidang politik berakhir seiring dengan naiknya pemerintahan Soeharto.

Memang saya putuskan begitu. Setelah berbeda pendapat secara keras di parlemen pada 1967, saya direcall dari DPR. Saat itu juga saya tahu bahwa tokoh ini, Pak Harto, akan lama berkuasa—yang kemudian terbukti benar. Ketika itu juga saya putuskan untuk berkonsentrasi saja ke dunia kepengacaraan.

Apa inti perbedaan pendapat itu?

Saat itu, saya, Buyung, dan Suny duduk di Panitia Khusus (Pansus) DPRGR untuk menyusun UU Pemilu dan sistemnya. Pansus menghendaki supaya sistem pemilu diubah. Jangan lagi proporsional dengan coblos tanda gambar. Tahun 1955 kita pakai tanda gambar karena rakyat kita 85 persen buta huruf. Tapi, kalau pemilu diselenggarakan tahun 1970, rakyat yang buta huruf itu tinggal 40 persen. Jadi, kami menuntut supaya memakai sistem distrik sesuai dengan kesimpulan Seminar Angkatan Darat II di Bandung pada September 1967. Yang ngotot memang kami bertiga. Dan kebetulan semuanya sarjana hukum.

Anda kalah dalam perdebatan itu?

Mendadak, kami diberi tahu telah terjadi konsensus nasional. Lalu pemilu itu tetap pada sistem proporsional dan mencoblos gambar. Kami kaget dan tidak setuju dengan kata-kata konsensus nasional. Bagaimana keputusan ini keluar tatkala Pansus bahkan belum selesai membahasnya?

Apa yang sebetulnya terjadi?

Di luar Pansus, rupanya Jenderal Soeharto memanggil partai politik yang berjumlah sembilan. Sewaktu pemilu, ditambah lagi dengan Golkar. Jadi, sebagai pejabat presiden, Pak Harto ada konsensus dengan parpol. Tapi, bagi kami, itu tak bisa disebut konsensus nasional, karena kami (DPRGR) tidak diikutsertakan.

Kok, mereka begitu mudah terbujuk? Kan saat itu Pak Harto juga belum berkuasa benar?

Pak Harto memang pintar. Begini bujukannya: "Saudara-saudara dari partai-partai, kalau belum sanggup dengan sistem distrik, ya, sudah kita pakai saja proporsional." Rupanya, partai-partai itu takut dengan sistem distrik. Pertama, mereka tak punya tokoh. Partai NU, misalnya, kekurangan tokoh. Adapun PNI trauma terkena imbas terlampau akrab dengan Nasakom. Di situlah pintarnya Pak Harto, seakan-akan bersimpati. Tapi, apa imbalannya? Angkatan Darat diberi jatah 100 kursi dari 450 kursi parlemen. Saya tidak setuju karena jumlahnya sangat banyak. Kalau 5 persen, masih oke. La, ini sampai 25 persen?

Apakah perdebatannya berlangsung keras?

Perdebatan di Pansus keras. Kami bertiga bersikeras. Tapi kemudian kami mencium, Soeharto main politik. Sebab, yang dia sebut konsensus nasional itu cuma bikinan Soeharto. Buyung Nasution sampai bilang, "Wah, ini bukan konsensus nasional. Ini koehandel. Dagang sapi."

Apakah anggota Pansus lain tidak mendukung Anda bertiga?

Semuanya menentang, takut dikira tak menghendaki persatuan. Persidangan Pansus macet. Tapi kami tetap berkeras. Akhirnya, turunlah keputusan recalling. Buyung pada November 1967, saya pada Februari 1968, dan Ismail Sunny pada akhir 1968. Pemilunya berlangsung pada 1971, sedangkan Undang-Undang Pemilu disahkan pada 1969. Jadi, setelah kami bertiga sudah tidak ada di parlemen.

Sedikit soal pribadi. Anda melakukan banyak hal, tapi profesi apa yang sebetulnya Anda inginkan?

Tadinya saya menjadi advokat, menjalankan biro hukum Mr. Roem, tatkala beliau masuk penjara. Saya berhenti sebagai politisi sejak bertentangan dengan Soeharto. Kemudian, saya praktek sebagai pengacara. Namun, saya berhenti praktek pada 1975 karena praktek pengacara telah bergeser jauh. Kejaksaan mulai kotor, membuat batin terganggu. Setelah itu, saya mengajar, memberi seminar, menjadi pengamat politik. Jadi "ulama", usia lanjut tapi masih aktif, ha-ha-ha.... Sampai sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus