Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia baru me-rampungkan pengumpulan fakta dan keterangan seputar kerusuhan dalam unjuk rasa 21-23 Mei 2019. Salah satu temuan mereka menyangkut penembakan misterius yang menewaskan sembilan dari sepuluh orang di Jakarta dan Pontianak setelah pengumuman hasil pemilihan presiden 2019. Seperti laporan majalah Tempo edisi 3-8 Juni dan 1-6 Juli 2019, penembakan disebut dilakukan secara terencana dan melibatkan pelaku profesional.
Meski tidak menemukan korelasi langsung dengan aktor lapangan, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menilai berbagai komentar sejumlah politikus yang menolak hasil pemilihan presiden ikut memanaskan situasi. “Ada politikus yang mungkin tidak menyadari pernyataannya menjadi pemicu,” kata Taufan dalam wawancara khusus dengan Tempo, Jumat, 1 November lalu.
Komnas HAM bergerak mulai 23 Mei lalu. Sejak awal, Taufan melanjutkan, tim pencari fakta menemukan kejanggal-an berupa pembiaran oleh polisi yang membuat unjuk rasa berlangsung jauh melewati batas waktu, pukul 18.00. Lewat serangkaian wawancara dan pantauan kamera pengawas (CCTV), tim mendapati pergantian massa pada 21 Mei menjelang tengah malam. Orang-orang di jalan tidak lagi menyalurkan aspirasi, tapi menyulut kerusuhan.
Dalam peristiwa ini, untuk pertama kalinya Komnas HAM menjenguk sekaligus menggali cerita polisi yang menjadi korban kekerasan. Mereka juga meminta keterangan Jenderal Tito Karnavian, Kepala Kepolisian RI 2016-2019—kini Menteri Dalam Negeri—dan Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Moechgiyarto. Komnas HAM sedang meminta waktu bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan Kepala Polri yang baru terpilih, Jenderal Idham Azis, untuk menyerahkan hasil investigasi tersebut. “Kami upaya-kan betul bisa bertemu dengan Kapolri karena berkaitan dengan pencarian pelaku,” ujar Taufan.
Di sela penulisan akhir laporan tersebut, Taufan, 54 tahun, menerima wartawan Tempo, Reza Maulana, Mahardika S. Hadi, dan Aisha Shaidra, di kantornya di Menteng, Jakarta Pusat. Komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mendampingi Taufan dan turut menjawab sejumlah pertanyaan Tempo.
Apa dasar laporan menyebutkan penembakan dilakukan secara terencana?
Rata-rata korban ditembak dari dekat. Pelakunya profesional. Dari CCTV, Harun Rasyid ditembak dari jarak 10-11 meter. Korban ini bisa menjadi kunci mengungkap peristiwa tersebut karena memiliki bukti lebih kuat dibanding korban lain. Korban juga sempat divisum.
Rekaman CCTV bisa mengungkap identitas penembak?
Polisi memiliki kemampuan mengidentifikasi lewat rekaman wajah di CCTV. Tapi penembak Harun Rasyid (15 tahun, warga Duri Kepa, Jakarta Barat, yang jenazahnya ditemukan di jalan layang Slipi, Jakarta Barat, dengan luka tembak di dada) tidak terdeteksi wajahnya. Entah karena kebetulan entah tingginya profesionalitas pelaku sehingga dia menandai posisi kamera dan menghindarinya. Padahal dia tidak memakai masker, topi, atau penutup wajah lain. Sementara itu, ada ratusan pelaku perusakan yang ditangkap berkat identifikasi lewat CCTV, termasuk perusak mobil dan perebut senjata polisi. Kami juga merekomendasikan pencarian terhadap pelaku penembakan Harun serius dilakukan. Dia mungkin juga bisa mengungkap penembak korban lain.
Pelaku profesional itu siapa?
Kelompok profesional bisa siapa saja, kan? Nama-nama itu sudah disebut dalam laporan majalah Tempo. Saya sudah dua kali bertemu dengan Tito Karnavian dan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Gatot Eddy Pramono. Polisi memiliki data itu. Maka kami minta mereka menelusuri.
Mengapa bukan Komnas HAM sendiri yang membuka nama-nama itu?
Itu bukan ranah Komnas HAM. Kami tidak boleh menyebut itu. Itu ranah kepolisian.
Mengapa penelusuran tidak lewat korban lain?
Kebanyakan korban lain dibawa ke rumah sakit tanpa sempat ditanyai lokasi kematiannya. Petugas rumah sakit tidak sempat mendata karena situasi panik dan korban datang hampir pada waktu bersamaan. Ada misteri tak terjawab soal lokasi kematian dan pengantar jenazah. Kami curiga ada desain berupa kelompok pelaku menembak korban, mengantar jenazah ke rumah sakit, lalu menelepon keluarga. Keluarga lalu menjemput jenazah untuk segera dimakamkan.
Bukankah korban kejahatan harus divisum?
Kami juga kaget mengapa rumah sakit mengizinkan jenazah dipulangkan tanpa visum. Mereka beralasan situasi sedang panik. Memang saat itu ramai sekali. Jenazah tidak sempat dicatat dan hanya diterima oleh satuan pengamanan. Keluarga korban tiba-tiba mendapat panggilan telepon dari orang asing, bukan dari rumah sakit. Maka salah satu rekomendasi dari laporan kami adalah perlunya prosedur resmi terkait dengan penanganan korban meninggal tak wajar.
Apa dugaan motif penembakan tersebut?
Menciptakan instabilitas politik. Demokrasi kita sudah masuk tahap ancaman politik kekerasan. Peringatan ini kami berikan kepada publik, terutama partai-partai politik, supaya tidak berlaku sembarangan.
Ya. Korban meninggal memiliki bekas luka yang tembus. Dari sembilan yang tertembak, hanya dua yang ditemukan sisa pelurunya. Salah satunya Harun Rasyid. Pelurunya ditemukan utuh.
Apakah aktornya politikus?
Macam-macam. Ada politikus yang tidak menyadari pernyataannya menjadi pemicu.
Adakah bukti garis komando dari politikus?
Tidak. Kami juga bertanya kepada sejumlah anak muda yang melakukan kekerasan dalam demonstrasi itu. Mereka bilang tidak ada komando dari siapa pun. Yang lebih masuk akal, pernyataan politik sejumlah pihak ikut memanaskan situasi saat itu. Maka kami persilakan polisi mengusut tokoh seperti Eggi Sudjana, pengacara dan aktivis Persaudaraan Alumni 212. Termasuk temuan ambulans partai yang memasok batu untuk kerusuhan.
Kapan tim pencari fakta peristiwa 21-23 Mei mulai bekerja?
Tim kami memantau sejak awal unjuk rasa, 21 Mei. Awalnya kami sudah bertanya-tanya, mengapa polisi membiarkan demonstrasi berlangsung hingga malam. Kami mendapat laporan polisi memberikan izin. Istilah mereka diskresi.
Apa alasannya?
Ada berbagai alasan. Misalnya massa harus berbuka puasa, lalu melakukan salat tarawih bersama. Polisi berkeyakinan lanjutan unjuk rasa itu akan damai karena merasa sudah mengenal sebagian besar kelompok massa, yaitu mereka yang juga pernah turun pada 212 (demonstrasi besar yang menuntut Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dihukum atas kasus penodaan agama pada 2 Desember 2016). Karena menilai situasi aman, tim kami meninggalkan lokasi, gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, sekitar pukul 21.00.
Ternyata terjadi kerusuhan....
Ya. Sekitar tengah malam, kami mendapat informasi kericuhan. Pagi harinya, kami mendapat informasi ada korban. Kami mulai mengontak polisi. Kami lalu mendatangi banyak pihak, mengunjungi rumah sakit untuk mendata korban meninggal dan cedera. Kami mulai dari yang terdekat, gedung Bawaslu, Rumah Sakit Tarakan dan Budi Kemuliaan, lalu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, baru ke Rumah Sakit Bhayangkara di Kramat Jati, Jakarta Timur.
Keterangan apa yang didapat dari korban?
Rata-rata mengatakan demonstrasi pada 21 Mei berlangsung aman. Sebagian besar dari mereka tidak pulang ke rumah, tapi bermalam di masjid di dekat lokasi karena akan kembali turun ke jalan keesokan harinya. Mereka bermalam di masjid-masjid sekitar Petamburan dan Tanah Abang. Mereka tidak mengetahui kenapa tengah malam ada keributan.
Keluarga korban meninggal menyampaikan apa?
Rata-rata menjelaskan anak mereka datang pada demonstrasi 22 Mei, sehari setelah kerusuhan. Mereka bilang korban tak mengerti apa-apa. Tapi, berdasarkan penelusuran tim, sebagian korban, termasuk yang hidup, punya ikatan dengan komunitas melalui pengajian atau dimobilisasi melalui media sosial.
Apakah nama kelompok pengajian itu teridentifikasi?
Berbeda-beda. Pengajian ini penuh propaganda untuk membangun kesadaran politik tertentu bahwa rezim pemerintah Indonesia zalim. Kami juga kerap mendapati seragam putih-putih ala organisasi kemasyarakatan agama tertentu di kamar sejumlah korban. Tapi mereka menolak diafiliasikan dengan kelompok itu.
Penyebab cedera mereka apa?
Para korban yang hidup tertembak peluru karet. Mereka hanya sehari-dua hari di rumah sakit, setelah itu pulang. Misalnya seorang tukang ojek asal Bintaro yang terjebak di Petamburan. Dia tidak berani pulang karena situasi rusuh, lalu bermalam di masjid. Dia mengaku kena peluru karet yang ditembakkan dari jarak dekat.
Berbeda dengan penyebab korban meninggal?
Ya. Korban meninggal memiliki bekas luka yang tembus. Dari sembilan yang tertembak, hanya dua yang ditemukan sisa pelurunya. Salah satunya Harun Rasyid. Pelurunya ditemukan utuh.
Itu bisa digunakan untuk menelusuri sumber senjata?
Ya. Itu yang masih dilacak polisi. Tapi saya lupa jenisnya.
Apakah sama dengan senjata organik Polri dan Tentara Nasional Indonesia?
Berbeda dengan yang dipakai petugas Brigade Mobil. Jadi penembakan bukan dilakukan oleh polisi yang berada di depan massa.
Apakah polisi menyiapkan peluru tajam dalam unjuk rasa itu?
Mereka menggunakan peluru karet dan senjata hampa. Tapi mereka juga menyiapkan peluru tajam untuk kondisi yang disebut tahap keenam. Itu tahap paling akhir. Misalnya ada kelompok yang mengancam nyawa. Tapi peluru itu tidak dipakai. Berbeda jenis dengan yang ditemukan pada korban.
Komnas HAM juga meminta keterangan dari polisi yang menjadi korban kekerasan pengunjuk rasa?
Ya. Ini baru pertama kali kami mengunjungi polisi di rumah sakit. Mereka kaget. Banyak juga yang menangis. Selama ini, dalam bayangan mereka, Komnas selalu menyalahkan polisi. Ini bagian dari upaya kami menunjukkan empati. Polisi juga jadi terbuka. Ada yang membuat saya ikut sedih, yaitu anggota Kepolisian Sektor Jatinegara (Jakarta Timur). Mereka bukan bagian dari regu pengamanan demonstrasi. Wilayahnya jauh dari area unjuk rasa. Mereka sedang berjaga saat ada laporan perusakan pos polisi. Enam orang berangkat naik tiga sepeda motor, tidak bawa senjata. Di jalan, mereka terjebak massa yang rusuh. Empat lolos, dua digebukin sampai luka parah. Dari situ kami juga mengindikasikan ada upaya melebarkan wilayah kerusuhan.
Ahmad Taufan Damanik (tengah) saat konferensi pers “Tragedi Kemanusiaan Wamena dan Papua” di kantor Komnas HAM, Jakarta, 30 September 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Adakah persamaan kerusuhan Mei dan pasca-demonstrasi mahasiswa September lalu?
Ada gejala sosiologis. Warga permukiman padat Jakarta senang melihat ribut-ribut, bahkan ikut berpartisipasi. Seperti warga yang sering tawuran di depan sini (wilayah Manggarai, Jakarta Selatan). Persamaan lain adalah adanya persalinan antara pengunjuk rasa di siang hari dan kerumunan di malam hari. Itu terekam CCTV. Ini gejala baru dalam demonstrasi di Jakarta. Rata-rata korban jatuh saat malam. Saat demonstrasi mahasiswa, tidak ada korban dari mahasiswa.
Apa tanggapan Komnas HAM soal sanksi disiplin bagi polisi terkait dengan kematian dua demonstran mahasiswa di Kendari?
Amiruddin Al Rahab: Memahami masalah ini tidak bisa serta-merta. Ada enam polisi melanggar instruksi membawa senjata api. Lalu ada dua mahasiswa meninggal. Kedua fakta itu belum tentu berhubungan. Perlu diuji apakah senjata di tangan enam polisi itu yang betul-betul menewaskan mahasiswa. Proyektil pada korban sedang diuji di laboratorium di Polri dan Australia. Kesimpulannya belum ada. Saat ini enam petugas itu baru terbukti menyalahi perintah atasan, maka kena hukuman indisipliner. Kami datang ke Kendari untuk menyelidiki kejadian ini.
Komnas HAM menilai sanksi tersebut adil?
Sementara ini hukuman disiplin dan administrasi. Para polisi itu merasa sudah berjuang untuk bangsa dan negara malah harus dipenjara 21 hari dan tidak bisa naik pangkat. Padahal pangkatnya juga tidak begitu tinggi. Makanya, kadang-kadang mereka emosional. Ketika kami dijelaskan soal itu oleh Polri, kami berpikir, “Iya juga, ya.”
Bagaimana Komnas HAM melihat kabinet baru?
Kami menunggu diskusi dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Beliau sudah berbicara tentang penanganan pelanggaran HAM berat. Itu bisa menjadi jalan masuk untuk berdiskusi.
Mengapa berharap pada menteri koordinator, bukan Menteri Hukum dan HAM atau Jaksa Agung sebagai eksekutor?
Menko akan bawa Jaksa Agung dan menteri-menterinya. Dia yang lead untuk duduk bersama dan mengundang stakeholder lain, termasuk lembaga swadaya masyarakat dan keluarga korban, lalu membentuk road map. Pak Menko bilang salah satu tugas dari Presiden Joko Widodo adalah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Berarti ini sudah menjadi garis kebijakan.
Faktanya, Presiden tidak menyinggung soal HAM dalam pidato pelantikannya.
Ya, tapi melihat arahan tersebut sudah memberi harapan. Kita optimistis sajalah. Kalau tidak optimistis, susah hidup ini, ha-ha-ha…. Orang yang bekerja di Komnas HAM harus optimistis. Kalau tidak, bagaimana bisa membela orang lain yang sudah kebanyakan pesimistis dan emosi duluan.
Ahmad Taufan Damanik
Tempat dan tanggal lahir: Pematangsiantar, Sumatera Utara, 29 Juni 1965 Pendidikan: SMA Negeri 2 Pematangsiantar (1983), Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (1987), Master Teori Politik University of Essex, Inggris (2005) Karier: Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (1987-sekarang), Wakil Ketua ASEAN Commission on the Promotion and Protection on the Rights of Women and Children atau ACWC (2010-2013), Anggota ACWC (2013-2016), Anggota Dewan Pengawas Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi (2013-2017), Ketua Komnas HAM (2017-sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo