Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pelanggaran HAM banyak terjadi dalam konflik agraria yang disertai kekerasan.
Kasus pelanggaran HAM di Paniai, Papua, lebih maju karena dapat naik ke tingkat penyidikan.
Komnas HAM merintis jalan membuka perundingan dengan Organisasi Papua Merdeka.
Ahmad Taufan Damanik memimpin Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di tengah berbagai peristiwa penting. Ada demonstrasi pada Mei 2019 yang berujung kerusuhan dan menyebabkan sembilan orang tewas. Ada pula penembakan terhadap empat anggota laskar Front Pembela Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi juga masih memiliki 12 kasus pelanggaran HAM berat dan baru satu yang diproses ke tahap penyidikan oleh Kejaksaan Agung, yaitu kasus Paniai, Papua. “Penyelesaian kasus pelanggaran HAM tergantung kemauan politik,” kata Ahmad Taufan pada Rabu, 8 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang masa akhir tugasnya pada November mendatang, Komisi mencatat bahwa pemenuhan hak asasi manusia masih mengecewakan. Kepada Tempo, Ahmad Taufan memaparkan masalah konflik agraria, kematian anggota laskar FPI, dan upaya perundingan dengan Organisasi Papua Merdeka.
Mengapa Komisi menggagas perundingan damai Organisasi Papua Merdeka dengan pemerintah?
Kami berkomunikasi lebih dulu dengan Presiden, menyampaikan gagasan kami, mendiskusikannya. Beliau perintahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Mahfud Md.) dan (Menteri Sekretaris Negara) Pratikno berkoordinasi dengan Komnas. Bukan persetujuan. Komnas tidak bisa diperintah presiden. Komunikasi juga ke Panglima TNI. Tapi saya tidak dalam konteks meminta izin. Institusi tentara dan polisi harus tunduk pada kebijakan politik pemerintah. Sudah beberapa kali kontak. Empat kali ketemu langsung.
Apakah ada skema yang ditawarkan?
Belum menawarkan skema. Justru mendengarkan. Yang mereka angkat itu empat poin yang dihasilkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Misalnya soal status politik Papua. Itu kaitannya dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), pelanggaran HAM berat, dan keadilan. Paling krusial di poin soal status Pepera. Walaupun resolusi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sudah mengakui bahwa Papua bagian dari Indonesia, mereka mempersoalkan itu lagi. Tapi, saat berbicara dengan kami, (mereka mengatakan), “Seluruh poin ini kalau kami berunding dengan Indonesia.” Persoalannya, kita mau enggak bernegosiasi. Kadang-kadang pihak di sini (menyatakan), “Ngapain bernegosiasi dengan separatis?” Ya, boleh saja bersikap begitu, tapi puluhan tahun tak selesai bagaimana?
Apa dampak pembentukan provinsi baru Papua bagi upaya perundingan ini?
Di Jakarta, banyak pejabat meyakini bahwa langkah (pemekaran) itu membangun kesejahteraan. Saya cuma bilang, kami, Komnas HAM, ingin kalian tahu orang itu merasa ditelikung, ditaklukkan, dan karena itu berpikir kalian itu seperti kolonial. Kasarnya kan begitu. Saya katakan apa adanya. Apa kita senang bikin Papua naik tingkat ekonominya tapi sebenarnya orang Papua merasa dikalahkan? Terus, besok kalian kaget tiba-tiba mereka angkat senjata. Komnas HAM juga memberikan pandangan ke Mahkamah Konstitusi soal otonomi khusus Papua. Yang kami sampaikan berdasarkan keluh kesah mereka yang merasa kecewa karena otonomi khusus disahkan revisinya tapi mereka (orang Papua) tidak ditanya.
Bagaimana kasus pelanggaran HAM di Papua?
Iya, sekarang kasus Paniai. Saya ketemu tokoh-tokoh Papua, termasuk pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP). Kami paham saudara kita di Papua pasti marah dan kecewa terhadap hasil (sidang) Paniai karena tidak sesuai dengan harapan. Mereka membayangkan dalam proses peradilan tersangkanya banyak, ternyata cuma satu orang. Saya bilang begini, “Tolong dibalik cara melihatnya. Di Indonesia sudah 11 tahun tidak satu pun kasus HAM berat yang diselidiki Komnas HAM naik ke tingkat penyidikan.” Kami berusaha terus-menerus meyakinkan Presiden supaya beliau mau memastikan Jaksa Agung, dari Prasetyo sampai sekarang, agar naik ke penyidikan.
Masuknya polisi aktif sebagai calon anggota Komnas HAM dipersoalkan. Bagaimana sikap Komnas?
Ada pegangan panitia seleksi, yaitu Pasal 84 Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Kedua, Paris Principles, standar internasional yang diakui oleh komisi hak asasi di dunia. Poin utamanya adalah soal independensi.
Apakah polisi aktif tidak membahayakan independensi?
Di dalam undang-undang bahkan disebut calon (dapat dari orang yang) berlatar belakang polisi. Paris Principles tidak tegas menyebut apakah seorang polisi itu diizinkan atau tidak. Komnas HAM sudah memberikan mandat kepada lima anggota panitia seleksi. Ada undang-undang, ada standar internasional. Tak boleh juga (mereka) sepelekan standar itu. Kalau dilanggar, Komnas HAM turun akreditasi menjadi B. Gawat kami, karena ruang Komnas HAM di PBB itu untuk bermain diskursus, negosiasi kebijakan HAM internasional. Kalau kami akreditasinya B, duduknya di belakang, tak boleh berbicara.
Bagaimana pemenuhan HAM dalam lima tahun ini?
Yang kami jadikan prioritas terutama soal agraria. Kita sudah punya problem agraria sejak zaman Belanda, kemudian Orde Baru. Sekarang soal investasi, pembangunan infrastruktur. Bahkan tambang di pulau kecil, meski undang-undang mengatakan tidak boleh, tetap terjadi, seperti di Sangihe dan Towoni. Konflik agraria ini makin kompleks karena selalu dibarengi kekerasan. Kekerasannya tak hanya dari aparat, tapi (juga) dari masyarakat, yang kecewa sehingga melakukan pembakaran. Karena ada perusakan, terjadi pemidanaan. Persoalan agrarianya belum selesai, muncul persoalan baru pemidanaan. Itu problem serius. Sudah kami sampaikan ke Presiden, Menteri Agraria, Kementerian Lingkungan Hidup, supaya mengambil kebijakan yang memperhatikan aspek itu.
Dalam hal tambang, kadang sikap pemerintah begini: “Ini tambang kan sudah diberikan izin. Kalau kemudian ada protes, lalu dibatalkan, akan membahayakan iklim investasi.” Iklim investasi kita jaga, oke. Tapi, kalau kemudian dalam rangka menjaga itu terjadi pelanggaran hak asasi dan kerusakan ekologi, bagaimana? Apakah kita harus memilih salah satunya? Apakah kita tak bisa mencari regulasi yang lain, yang investasi kita tingkatkan tapi indikator ekologi dan HAM wajib dipenuhi?
Ahmad Taufan Damanik
Tempat dan tanggal lahir:
Pematangsiantar, Sumatera Utara, 29 Juni 1965
Pendidikan:
• S-1 Departemen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara;
• S-2 Teori Politik University of Essex, Inggris
Pekerjaan:
• Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2017-2022;
• Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, 2007-sekarang;
• Pengajar Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2012-sekarang;
• Ketua Komisi Etik Komisi Pemilihan Umum Sumatera Utara, 2009;
• Koordinator Regional Community Facilitator of Development Project Consortium of World Bank-British Council-DSF-IGGRD, 2007-2009;
• Direktur Eksekutif Yayasan KKSP-Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak, 1993-2006;
• Konsultan lepas untuk isu separated children Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias, 2006;
• Konsultan UNICEF Banda Aceh untuk Reconstruction and Rehabilitation on Social and Education Project in Aceh, 2007
Secara keseluruhan pemenuhan HAM tidak menggembirakan?
Belum menggembirakan. Pembangunan infrastruktur seperti Wadas, misalnya. Pemerintah mau bikin proyek strategis nasional waduk, lalu memutuskan dengan asesmen dia untuk mengambil batu andesitnya di Desa Wadas. Pertanyaan kami, apakah ketika menyusun rencana ini mereka berbicara kepada masyarakat? Dalam aspek HAM, satu prasyarat penting adalah bahwa proses pembangunan itu mengambil satu persetujuan dari masyarakat dengan benar. Kalau memang sudah setuju, kenapa mereka menolak keras sekali?
Kita mau mengulang (kasus) Kedungombo? Kita tenggelamkan tuh berapa kecamatan demi pembangunan waduk untuk listrik. Itu bukan era demokrasi, tapi era pelanggaran HAM. Bagi kami, bisa enggak dalam proyek strategis nasional ada regulasi yang bisa kita buat menjadi standar bahwa di setiap pembangunan ada indikator yang memastikan tidak ada pelanggaran HAM?
Angka pengaduan dari masyarakat adat juga tinggi.
Itu juga sama. Bahkan kita belum terlalu serius untuk mengakomodasi hak masyarakat adat dalam sistem hukum dan kebijakan nasional. Undang-undangnya belum ada. Itu yang jadi masalah. Soal agraria, di mana-mana modal pasti mengalahkan masyarakat. Rakyat sekian tahun mengelola tanah. Ada perusahaan swasta atau BUMN (badan usaha milik negara), misalnya, mengklaim hak guna usaha (HGU) mereka. Pasti pemilik HGU menang. Rakyat pasti melawan, kan?
Dalam banyak konflik agraria, pemerintah lebih berada di belakang pengusaha?
Ya. Paradigma Orde Baru, belum berubah.
Intoleransi juga meningkat. Bagaimana kondisinya?
Kalau yang dilaporkan ke Komnas HAM, soal rumah ibadah. Dari kelompok minoritas Ahmadiyah. Kami sudah dorong Kementerian Agama supaya ambil peran, bukan lagi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam pandangan konstitusi dan HAM, yang bertanggung jawab melindungi hak beragama itu kan negara. Kalau ada satu daerah bermasalah, selama ini kan MUI yang berinteraksi. Kami dorong Kementerian Agama di kabupaten atau provinsi turun menyelesaikan itu, bersikap mewakili negara untuk melindungi hak beragama, seperti yang dialami Ahmadiyah di Sintang.
Apakah pemerintah cenderung tunduk pada keinginan mayoritas?
Ya. Aparat penegak hukum juga mengikuti cara pandang begitu, bukan bertindak melindungi warga negara yang menjalankan hak beragamanya. Jangankan Ahmadiyah. Ada maling ditangkap tak boleh dibiarkan digebukin. Kesadaran itu yang kami yakinkan ke kepolisian: tugas kalian menjaga hak warga negara.
Bagaimana nasib kasus pelanggaran HAM berat masa lalu?
Saya berani mengatakan dalam periode saya ada satu lompatan besar. Satu kasus naik (ke tingkat penyidikan). Walaupun, ya, dengan catatan itu belum maksimal. Tapi kan dulu enggak ada, sekarang ada. Selama 20 tahun tak pernah punya rumah, sekarang punya rumah. Tapi belum megah. Masih rumah susun sederhana. Tapi punya rumah, toh?
Apa problem utamanya?
Kemauan politik. Coba lihat jawaban-jawaban pihak Kejaksaan Agung di berbagai seminar. Kalau saya enggak menahan emosi, penjelasan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus terkesan meremehkan semua hasil kerja Komnas HAM. Saya sudah ngamuk semestinya. Ini soal political will. Kalau Presiden bisa diyakinkan dan kemudian memerintahkan Jaksa Agung, semua argumentasi hukum ini (berkas Komnas HAM tidak lengkap dan lain-lain) enggak ada lagi begitu Presiden bilang Paniai maju ke tahap berikutnya.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Demanik memberikan keterangan terkait dugaan penggunaan kekuatan secara berlebihan oleh Polda Jawa Tengah di Desa Wadas di Kantor Komnas HAM, Jakarta, 24 Februari 2022. TEMPO/Muhammad Hidayat
Apakah Presiden punya kemauan politik itu?
Dengan Paniai berarti ada. Sebelumnya tidak ada, belum berani. Tinggal cara melihatnya saja. Saya melihatnya terbalik. Dengan ada (kasus Paniai) ini, meski kecil, (jadi) peluang untuk mendorong lagi langkah penegakan hukum terhadap kasus lain. Komnas HAM dengan pemerintah sudah lama merancang peraturan presiden tentang penyelesaian HAM berat melalui jalur nonyudisial. Banyak pihak marah. Saya berkali-kali katakan, “Kami dengan pemerintah bersepakat kalau kita nanti peraturan itu keluar, yang merupakan langkah nonyudisial, tidak berarti langkah yudisial ditutup.”
Bagaimana perkembangan peraturan itu?
Belum ditandatangani. Draf sudah selesai. Pada Hari HAM lalu, saya tagih itu. Banyak pihak khawatir sekali kalau seandainya langkah-langkah penegakan hukum dijalankan. Ada pihak yang merasa akan mengadili mereka. Sebetulnya kan tidak. Tidak ada institusi yang diadili. Yang diadili orang yang melakukan. Tidak berarti itu cerminan institusi. Kekhawatiran itu tidak beralasan. Di mana-mana di dunia, kalau pelaku pelanggaran HAM diadili, institusi tempat asal pelaku itu tidak akan runtuh. Di Amerika Latin, tetap saja kepolisian eksis, tentara makin kuat. Hanya orang dan tindakan atau kebijakan yang dulunya represif tak bisa lagi diterima. TNI sekarang kan tidak sama dengan masa Orde Baru.
Salah satu kasus kontroversial adalah penembakan anggota laskar FPI di Kilometer 50. Bagaimana Anda melihat putusan pengadilan yang membebaskan polisi sebagai pelaku penembakan?
Kami tetap dengan kesimpulan kami. Orang memperdebatkan itu pelanggaran HAM berat atau tidak. Pelanggaran HAM berat itu mesti direncanakan dan operasi sistematis dalam bentuk serangan terhadap penduduk sipil. Kami tak menemukan itu. Kepolisian ditugasi untuk mengawasi, kemudian dalam proses dia bentrok dengan laskar. Dua orang mati dalam bentrokan itu. Empat ditangkap. Di dalam penguasaan polisi itu, mereka meninggal. Komnas HAM tidak bisa menerima argumentasi polisi bahwa mereka dalam kondisi terdesak karena kami tidak menemukan satu bukti atau informasi yang meyakinkan bahwa hal itu benar. Karena itu kami sebut unlawful killing.
Putusan pengadilan itu apakah tidak mementahkan hasil Komnas HAM?
Pengadilan mengatakan unlawful killing terbukti, tapi ada pembenaran dari petugas itu karena dia digambarkan dalam situasi terancam jiwanya sebagai aparat sehingga menjadi alasan pembenar terhadap tindakannya yang menyebabkan kematian empat orang tersebut. Itu ranah hakim dalam membuat keputusan.
Yang kami kecewa, ada beberapa rekomendasi lain Komnas HAM yang tidak dilaksanakan. Contohnya, mengapa (penyidik) tidak pernah menelusuri enam anggota FPI yang lolos? Kami juga merekomendasikan kepemilikan senjata api laskar FPI ditelusuri lebih jauh karena ini berkait dengan sumber masalah. Kita perlu membuka di balik semua ini ada kekuatan apa. Sebab, kalau saya kaitkan dengan pemantauan peristiwa Mei 2019 kan ditemukan anak muda ikut demo itu ternyata dipersenjatai, meski tak sampai senjata api, tapi macam-macam, termasuk molotov, yang sampai menimbulkan kebakaran, kerusakan. Ada puluhan anggota Brigade Mobil dan demonstran cedera. Ada sembilan orang tewas yang tidak diketahui siapa penembaknya. Peristiwa kekerasan bukan sekali ini terjadi. Bayangan kami, kalau rekomendasi kami dijalankan, itu bisa menguak berbagai peristiwa kekerasan di Indonesia.
Masih optimistis kasus pelanggaran HAM berat diselesaikan?
Masih optimistis. Bisa jadi ada kasus yang mungkin saja aspek yudisialnya makin sulit tapi ada solusi lain. Misalnya nonyudisial atau semiyudisial. Mungkin enggak (kita) bikin pengadilan yang tidak mengadili orang tapi kasus karena orangnya sudah meninggal? Ini bisa menjadi kreasi hukum di Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo