Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Tak Putus Dirundung Perang

Belum ada tanda perang Rusia-Ukraina akan berakhir meski sudah memasuki hari ke-100. Bantuan senjata negara Barat terus berdatangan.

11 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perang Rusia-Ukraina telah berlangsung 100 hari lebih.

  • Belum ada tanda-tanda perang ini akan berakhir.

  • Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat terus mengirimkan bantuan senjata.

DALAM pidato yang menandai 100 hari invasi Rusia pada Sabtu, 4 Juni lalu, Presiden Ukraina Volodymir Zelenskyy menyatakan, “Ada tiga kata yang telah kami perjuangkan selama seratus hari setelah delapan tahun: perdamaian, kemenangan, Ukraina.” Ia menutupnya dengan “Slava Ukraini!” (“Kemuliaan untuk Ukraina!”).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perang Rusia-Ukraina ini telah banyak memakan korban. Ukraina mencatat, nyawa yang melayang sekitar 100 ribu orang, yang sebagian besar penduduk sipil. Lebih dari 12 juta orang mengungsi. Perang ini juga memicu kenaikan harga minyak dan gas serta krisis pangan karena Ukraina dan Rusia adalah penghasil gandum dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Serbuan sekitar 190 ribu anggota pasukan Rusia pada 24 Februari lalu dengan sasaran Ibu Kota Kyiv dan ingin mengganti pemerintahan yang dianggap anti-Rusia tak berjalan sesuai dengan rencana. Gagal menaklukkan Kyiv, Presiden Rusia Vladimir Putin mengkonsentrasikan pasukannya ke daerah timur, yang sudah dikuasai sejak awal penyerbuan, yaitu di Luhansk dan Donetsk—dua daerah yang dikenal sebagai Donbas.

Pasukan Rusia sudah menguasai sebagian besar Kherson dan Zaporizhzhia di awal perang, mendapatkan kendali atas sebagian besar pantai Laut Azov, serta mengamankan sebagian koridor darat ke Semenanjung Krimea. Krimea dicaplok Rusia dari Ukraina pada 2014. Mereka menyelesaikan pengambilalihan secara penuh sisi timur ini dengan merebut kota pelabuhan Mariupol setelah pengepungan selama tiga bulan.

Presiden Zelenskyy mengatakan pasukan Rusia saat ini menguasai hampir 20 persen wilayah Ukraina. Sebelum perang, Rusia baru menguasai 7 persen, termasuk Semenanjung Krimea dan sebagian Donbas. Namun dia menegaskan bahwa Ukraina tidak akan menyerah dengan mudah. “Kami mempertahankan Ukraina selama 100 hari. Kemenangan akan menjadi milik kami,” katanya.

Pemerintah Rusia menyebut serangan ke Ukraina sebagai “operasi militer khusus”. Dmitri S. Peskov, juru bicara kepresidenan Rusia, mengatakan operasi ini akan berakhir ketika tujuannya tercapai. “Pemenuhan tugas-tugas ini berarti akhir dari operasi militer khusus,” ujarnya seperti dilansir kantor berita Rusia, TASS, pada Kamis, 9 Juni lalu. Saat menguraikan tujuan operasi, Presiden Putin menyebutkan antara lain mengenai denazifikasi dan demiliterisasi Ukraina.

Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, mengklaim Ukraina punya peluang memenangi perang meskipun personel militer dan peralatan perangnya belum bisa mengimbangi Rusia. Selain memiliki moral yang tinggi dan dukungan senjata negara Barat, “Rakyat Ukraina siap berperang dan siap mati. Tentara mereka (Rusia) siap berperang tapi tidak siap mati,” ucapnya kepada Tempo pada Senin, 6 Juni lalu.

Jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan bahwa hampir 80 persen orang Ukraina percaya bahwa negara itu “bergerak ke arah yang benar”. “Kami mungkin tidak memiliki cukup senjata, tapi kami melawan,” tutur Oleh Kubrianov, tentara Ukraina yang kehilangan kaki kanannya karena bertempur di dekat garis depan, seperti dilansir New York Times.

Ukraina mengklaim 33 ribu tentara Rusia tewas dan yang terluka lebih banyak. Menurut Hamianin, perbandingan korban tewas dan terluka 1 : 3. Presiden Zelenskyy mengatakan Ukraina kehilangan 60-100 tentara setiap hari.

Persenjataan Ukraina saat ini, kata Hamianin, masih belum mencukupi. Dia mengharapkan dukungan dari luar. Negeri itu mendapat bantuan senjata dari Eropa dan Amerika Serikat. Ada rudal Javelin dan Starstreak dari Inggris serta pesawat tak berawak produksi Turki, Bayraktar. “Itu lebih banyak untuk bertahan,” ujarnya.

Untuk melakukan serangan dan merebut kembali wilayah daratan, menurut Hamianin, yang dibutuhkan adalah senjata berat seperti artileri, rudal, tank, dan kendaraan lapis baja pengangkut personel. Ukraina juga membutuhkan senjata antikapal perang, rudal Harpoon, untuk menangkal rudal Rusia. “Sebagian rudal diluncurkan dari Belarus, tapi terutama dari kapal perang di Laut Azov dan Laut Hitam,” ucap Hamianin.

Sebagian persenjataan berat itu sudah mengalir ke Ukraina. Fox News melaporkan bahwa Denmark sudah mengirimkan rudal Harpoon ke Ukraina. Persenjataan artileri juga dilaporkan sudah mencapai garis depan Ukraina, termasuk meriam jarak jauh atau howitzer tipe M777, FH70, dan CAESAR SPH yang masing-masing dipasok oleh Amerika, Inggris, dan Prancis.

Amerika juga berjanji mengirimkan sistem roket artileri mobilitas tinggi (HIMARS) M142, peluncur roket yang presisinya cukup untuk menghancurkan sasaran dari jarak hingga 70 kilometer. Ini lebih jauh dari jangkauan howitzer dan lebih akurat daripada peluncur roket buatan Rusia.

Pengiriman senjata baru Amerika ini dapat meningkatkan risiko konfrontasi negara itu dengan Rusia. “Setiap pasokan senjata yang terus meningkat akan meningkatkan risiko perkembangan seperti itu,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov kepada kantor berita RIA Novosti.

Ian Bremmer, Presiden Grup Eurasia, lembaga konsultan keamanan, mengatakan senjata baru yang dijanjikan sejumlah negara Barat kepada Ukraina dapat membantu Ukraina merebut kembali beberapa kota yang diduduki Rusia. Ini juga berdampak signifikan bagi warga sipil di daerah itu. “Tapi itu tidak mungkin secara dramatis mengubah jalan perang,” ujarnya kepada New York Times.

Andi Widjajanto, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional dan analis militer, menyebut perang Rusia-Ukraina sebagai perang konvensional bersifat asimetris karena perbedaan kekuatan yang signifikan di antara kedua negara. “Karakter perang asimetris ini cenderung akan membuat perang berlangsung lama, cenderung tidak akan ada pertempuran utama di satu medan utama yang akan menentukan kemenangan atau kekalahan,” tuturnya pada Sabtu, 11 Juni lalu.

Andi menilai opsi nonmiliter akan muncul jika tercipta kebuntuan strategis yang menyakitkan. Pemicunya antara lain kalau perang menghasilkan kehancuran yang tidak bisa lagi diterima oleh salah satu atau kedua pihak atau ada penurunan signifikan dalam dukungan tempur, hilangnya sokongan publik, atau tekanan politik ekonomi yang menghancurkan kemampuan ekonomi pihak-pihak yang berperang. “Jika kebuntuan ini terjadi, perundingan bisa terjadi untuk membahas solusi damai,” ujarnya.

Kolumnis Thomas Friedman dalam kolomnya di New York Times mengatakan mayoritas warga Amerika mendukung bantuan ekonomi dan militer ke Ukraina. Mempertahankan dukungan itu selama musim panas ini sangat penting karena ia menyebutkan perang Rusia-Ukraina kini memasuki fase “sumo”, dua pegulat raksasa yang masing-masing mencoba mengeluarkan yang lain dari arena.

Namun ada risiko bahwa dukungan itu menyusut karena melihat dampak besar perang ini yang bisa mendorong krisis pangan dan kenaikan harga energi global. “Saya masih berharap bahwa mayoritas orang Amerika akan bertahan di sana sampai Ukraina dapat memulihkan kedaulatannya secara militer atau mencapai kesepakatan damai yang layak dengan Putin,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus