Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Huru-hara Ganggang Cokelat

Ledakan fitoplankton di Teluk Bima, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, disebabkan oleh limbah dan menghangatnya suhu air laut. Mematikan penghasilan nelayan. 

11 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hamparan gelatin di Teluk Bima disebabkan ledakan populasi fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae alias diatom.

  • Limbah, pembalikan arus, dan menghangatnya suhu diduga ikut mempengaruhi ledakan populasi Bacillariophyceae alias diatom.

  • Merugikan nelayan karena penghasilannya berkurang drastis.

SUDAH lebih dari satu bulan Yudha Hernawan, 40 tahun, tidak melaut. Penyebab nelayan dari lingkungan Bina Baru, Kelurahan Dara, Kecamatan Dara, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, itu tidak berlayar untuk mencari ikan adalah ledakan fitoplankton yang telah mengubah perairan Teluk Bima, Pulau Sumbawa, menjadi seperti kubang jeli berwarna cokelat. Ledakan fitoplankton adalah fenomena melimpahnya populasi ganggang di atas normal.

Menurut Yudha, jika melaut, ia hanya akan membuang waktu, tenaga, dan terutama ongkos. “Saat jaring dilepas, yang terjaring bukan ikan, melainkan gumpalan mirip agar-agar berwarna cokelat itu," kata Yudha saat ditemui, Senin, 6 Juni lalu. "Saya tak pernah melaut lagi sejak itu," dia menambahkan. Ia menandai kemunculan pertama huru-hara koloni ganggang cokelat keemasan yang sudah dalam fase mati itu pada Ahad, 24 April lalu.

Yudha mengatakan kejadian ledakan populasi fitoplankton itu membuat perekonomiannya melambat. Sebelum populasi fitoplankton meledak dan mati berbarengan, ia bisa mengantongi penghasilan bersih sekitar Rp 450 ribu sekali melaut. Dengan mudahnya ia bisa mendapatkan kerapu merah dan kerisi dalam semalam. Menurut Yudha, banyak ikan seperti pari dan selar yang ditemukan mati setelah kemunculan lapisan cokelat kental dan berbusa itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia pernah berupaya mencari cara menangkap ikan selain dengan jaring. Yang terlintas di pikirannya saat itu adalah memancing. Namun hasilnya sama saja. Ikan-ikan makin sulit dipancing. "Hanya dapat satu-dua yang bagus. Cuma untuk dikonsumsi sendiri," tuturnya. Selain itu, Yudha menambahkan, pancing berisiko rusak. “Juga butuh tenaga dan biaya ekstra untuk membersihkan pancing, jaring, dan pukat cincin.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

•••

“JELI” yang mengambang di sepanjang pesisir Teluk Bima itu dari kejauhan tampak menyerupai padang pasir. Muncul pelbagai spekulasi ihwal penyebabnya, dari pasir halus yang mengapung dan terombang-ambing ombak hingga tumpahan minyak dari tanker atau kebocoran pipa minyak bawah laut milik Terminal Bahan Bakar Minyak Bima yang dikelola PT Pertamina Patra Niaga.

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bima kontan menepis dugaan adanya pencemaran air oleh tumpahan minyak. Dugaan awal mereka, penyebab “pencemaran” itu adalah lendir laut (sea snot). Menurut Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Sekretariat Daerah Kabupaten Bima Suryadin, lendir laut adalah massa mikroorganisme yang terbentuk secara alami di laut dan diduga muncul akibat pembuangan limbah tanpa pengolahan ke perairan.

Dalam keterangan pers pada Jumat, 29 April lalu, PT Pertamina Patra Niaga juga membantah dugaan kebocoran pipa penyalur minyak atau tumpahan minyak dari kapal-kapal Pertamina. Bantahan tersebut lalu disusul dengan pengambilan sejumlah sampel lapisan berwarna cokelat itu untuk diteliti di laboratorium. Pertamina melibatkan peneliti dari Genau Lab, Surabaya; dan Yayasan Biologi Indonesia.

Pada Selasa, 7 Juni lalu, Pertamina menyampaikan hasil pengujian yang menunjukkan kandungan hidrokarbon petroleum total (TPH) di dalam air hanya 0,0001 miligram per liter (mg/L). Adapun ambang baku mutu TPH untuk pelabuhan adalah 1 dan biota laut adalah 0,02 mg/L. Sementara itu, dari penelitian didapatkan tingkat kandungan fitoplankton yang sangat tinggi. Menurut Aisyah Hadi Ramadani, peneliti dari Yayasan Biologi Indonesia, ada 20 jenis fitoplankton yang mayoritas berasal dari kelas Bacillariophyceae.

Dinas Lingkungan Hidup Kota Bima, yang mengambil sampel pada Kamis, 28 April lalu, di area Wadu Mbolo, mendapatkan hasil serupa. Dari pengujian diperoleh nilai minyak dan lemak adalah 0,833. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Lampiran VIII (Baku Mutu Air Laut), baku mutu lapisan minyak adalah nihil. Adapun baku mutu minyak dan lemak untuk pelabuhan adalah 5 mg/L, sementara buat wisata bahari serta biota laut 1 mg/L.

Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat Julmansyah, berdasarkan hasil pengujian, terdapat keberlimpahan fitoplankton Bacillariophyceae dari jenis Nitzschia acicularis. Jumlahnya sebesar 116.813 sel per 800 mililiter atau sekitar 146 sel per mililiter. "Kejadian ini merupakan yang pertama di wilayah Nusa Tenggara Barat," katanya.

Sejumlah peneliti dari Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Bogor, Jawa Barat, yang dipimpin Hefni Effendi juga membuat kajian. Mereka bekerja sama dengan Maulana Ishak dari Yayasan Kabua Dana Rasa, Kota Bima, untuk mengambil sampel serupa gelatin itu. Tim IPB University juga bekerja sama dengan tim dari Universitas Mataram yang diketuai Paryono untuk mengambil sampel air dan cemaran.

Menurut Hefni, yang juga guru besar pengelolaan lingkungan khususnya pencemaran pada sumber daya perairan, hasil identifikasi cepat dari tim IPB dan Universitas Mataram menunjukkan jumlah fitoplankton yang sangat tinggi dengan dugaan genus yang dominan Navicula. "Estimasi keberlimpahan berkisar 10-100 miliar sel per liter," tuturnya. Baku mutu keberlimpahan fitoplankton untuk wisata bahari dan biota laut adalah1.000 sel per mililiter.

Hefni menjelaskan, jika dibandingkan dengan fenomena ledakan populasi fitoplankton lain yang pernah terjadi di Indonesia, keberlimpahan di Teluk Bima memiliki nilai yang sangat tinggi. Ia menyinggung keberlimpahan fitoplankton di Teluk Jakarta yang hanya puluhan juta sel per liter. Selain itu, jenis fitoplankton yang melimpah di Teluk Jakarta pada 2020 adalah Trichodesmium sp.

Paryono, ahli kelautan dan pengajar di Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Mataram, menjelaskan bahwa Bacillariophyceae adalah kelas fitoplankton yang mendominasi perairan laut karena terdiri atas ratusan ribu spesies. "Kelas ini paling banyak dijumpai karena memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif cepat bahkan dalam kondisi lingkungan yang buruk," ujarnya.

Ia menambahkan, struktur komunitas Bacillariophyceae alias diatom dapat berubah-ubah karena adanya perubahan sifat fisik pada perairan, seperti suhu, arus, dan salinitas. Adanya perubahan sifat kimia dalam perairan, seperti zat hara nitrat dan fosfat, juga dapat mempengaruhi struktur tumbuhan laut tersebut. "Jumlahnya yang melimpah ruah dan ketika mati bersamaan akan terapung di laut mengakibatkan fenomena hamparan jeli cokelat di perairan," kata Paryono.

Nelayan mencoba berlayar, terlihat sisa fitoplankotn di Teluk Bima, NTB, 8 Juni 2022. Tempo/Akhyar



Ketika hamparan jeli Bacillariophyceae terbentuk secara luas, kehidupan jenis plankton lain akan terganggu karena kalah bersaing dengan si ganggang cokelat keemasan itu. Ledakan populasi itu juga menutupi permukaan laut sehingga menyebabkan deplesi oksigen—menipisnya kandungan oksigen secara signifikan. Bagi ikan, dampaknya dapat mengganggu fungsi mekanis ataupun kimiawi pada insang. Menurut Paryono, inilah yang menyebabkan kematian massal plankton dan ikan.

Meningkatnya unsur hara seperti nitrat dan fosfat di perairan merupakan salah satu biang keladi ledakan populasi fitoplankton Bacillariophyceae. Kedua unsur kimia ini bisa meningkatkan kadar nutrien yang menyebabkan terjadinya eutrofikasi atau penyuburan di perairan. Sementara itu, nitrat dan fosfat adalah nutrien yang diperlukan fitoplankton sebagai sumber makanan primer untuk bertumbuh.

Peningkatan nutrien di perairan, Paryono menerangkan, bisa disebabkan oleh pencemaran limbah. "Lokasi kejadian berada di Kota Bima sehingga potensi pasokan zat hara dari limbah domestik cukup besar," ucapnya. Selain itu, area di sekitar pegunungan telah dijejali lahan pertanian yang berpotensi mengalirkan limbah ke teluk. Peristiwa erosi yang membawa tanah subur ke teluk melalui aliran air permukaan saat hujan juga menambah pasokan nutrien ke perairan.

Selain itu, Paryono menambahkan, fenomena pembalikan massa air karena perubahan iklim dan pergantian musim dari hujan ke kemarau turut berpotensi menyebabkan ledakan populasi fitoplankton. Menurut Paryono, fenomena pembalikan massa air akan mempengaruhi kondisi kehidupan fitoplankton, hidrologi, dan pengayaan nutrisi di perairan itu. Sebab, pembalikan massa air dari dasar ke permukaan akan mengangkut zat organik yang menjadi sumber nutrien bagi fitoplankton.

Paryono menjelaskan, pembalikan massa air terjadi karena pengaruh suhu atau angin. Angin membentuk arus horizontal yang bergerak di permukaan perairan yang dapat menggerakkan massa air dan menenggelamkannya. Sementara itu, di belahan bumi utara angin bergerak sekitar 45 derajat ke arah kanan sehingga mengubah arah arus. Teori yang dikenal sebagai Spiral Ekman ini mengangkat massa air dengan nutrien tinggi yang berada di dasar perairan.

Menurut Paryono, suhu yang tinggi berdampak pada proses metabolisme, yang akan meningkatkan kecepatan perubahan sel, menaikkan laju respirasi, dan mempengaruhi pergerakan diatom. Ia mengatakan diatom akan mengalami pertumbuhan optimum dalam kisaran suhu 25-30 derajat Celsius. "Suhu merupakan variabel yang mengontrol kelimpahan dan distribusi diatom," tuturnya.

Untuk mengantisipasi ledakan fitoplankton kelas Bacillariophyceae ini di kemudian hari, Julmansyah mengatakan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB akan mengharuskan pelaku usaha di sekitar Teluk Bima menambahkan parameter biologi, khususnya fitoplankton, sebagai salah satu kewajiban pemantauan. Ia mengakui selama ini kadar fosfat dan nitrat belum menjadi parameter wajib. "Karena ini peristiwa pertama, kami belum ada pengalaman dalam menanganinya," ucapnya.

DINI PRAMITA, AKHYAR M. NUR (KOTA BIMA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus