Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Bambang Kesowo: "Sekretariat Negara Harus Kuat"

Baru sekitar 24 jam menjabat sebagai Sekretaris Negara, Bambang Kesowo sudah mengeluarkan pengumuman penting. Pejabat setingkat menteri ini memutuskan kembali menyatukan lembaga-lembaga di bawah Sekretariat Negara yang sempat dipecah di masa Presiden Abdurrahman Wahid: Sekretariat Presiden, Sekretariat Wapres, dan Sekretariat Kabinet. "Saya ingin membangun Sekretariat Negara menjadi sangat kuat," katanya.

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Bambang, Sekretariat Negara adalah rumah lamanya. Lulusan Harvard Law School (1983) itu memulai dan mendaki karir di situ sejak 1968. Lambat tapi pasti, namanya terus menanjak, terutama ketika dia memegang jabatan penting, kepala biro hukum, yang biasa membuat draf rancangan undang-undang (1983-1994). Duduk di jabatan itu, alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini sering memberikan pertimbangan hukum tentang berbagai keputusan yang akan diambil Presiden Soeharto. Dengan jam terbang panjang di pusat kekuasaan rezim Orde Baru itulah Bambang telah "memetik hasilnya". Bambang harus ikut menjelaskan beberapa kasus tak sedap. Dia dipanggil jaksa agung untuk menjadi saksi penyelewengan keppres dalam kasus bekas presiden Soeharto dan saksi proyek mobil nasionalnya Tommy Soeharto. Selain itu, Bambang pernah keserempet tuduhan menerima suap $ 2 juta atau sekitar Rp 18,3 miliar untuk penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Kepailitan (1998). Yang telak, dia juga dituduh sebagai orang Orde Baru yang disusupkan ke pemerintahan pascareformasi. Tuduhan itu berkaitan dengan jabatan barunya setelah Soeharto jatuh, yakni sebagai Sekretaris Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri. Tudingan itu tak menggoyahkannya, dan Bambang justru sukses menunjukkan dirinya sebagai birokrat yang liat. Tak hanya itu. Dia juga menjadi salah satu pilar kekuatan Megawati—dulu dan tampaknya di masa depan ini. Dia mengaku sering memberi berbagai pertimbangan kepada Mega. "Tapi semua keputusan terserah pada Mega," katanya. Lahir di Sragen, Jawa Tengah, 27 Maret 1945, Bambang masih tampak bersemangat mengepulkan asap rokoknya (satu setengah pak sehari). Dari istrinya, Nurien Fatimah, dia memperoleh tiga anak. Dan di tengah kesibukannya sehari-hari, birokrat tulen dengan cara kerja sistematis ini masih menyempatkan diri mengurus yayasan, yakni Yayasan Karya Cipta Indonesia, yang didirikannya pada 1990. Berikut ini adalah petikan wawancara Leanika Tanjung dari TEMPO dengan Bambang Kesowo, Selasa pekan lalu (dua hari sebelum diangkat jadi menteri).
Megawati membutuhkan waktu cukup lama (10 hari) untuk menyusun kabinet. Apakah sulit mencapai kata sepakat? Yang sebenarnya terjadi, Mega tidak ingin melangkah dengan cap "semaunya sendiri". Dia sadar betul bahwa pemilihan menteri adalah kewenangan presiden. Dia tahu persis itu dan dia menjaga kepercayaan publik atas kewenangan itu. Mega tidak mau menimbulkan kesalahpahaman dalam situasi yang serba masih rentan ini, emosi juga rentan, sehingga ada risiko dia dikira otoriter dan jalan sendiri. Meski begitu, kehati-hatiannya memang juga bisa ditafsirkan lamban. Jadi, itu juga risiko buatnya. Lalu, apa sebenarnya yang terjadi? Begini, yang Mega lakukan pada tiga hari pertama setelah pelantikan adalah menunggu. Dia bicara dengan Wapres Hamzah Haz, bagaimana idenya tentang kabinet mendatang. Setelah itu, Mega mendefinisikan apa kira-kira tugas kabinet yang hanya berumur dua tahun ini. Apakah kabinet Mega bertanggung jawab menjawab semua masalah seperti ekspektasi publik Indonesia. Bila tidak mungkin, apa yang harus diprioritaskannya menjadi program kerja. Mega juga memikirkan struktur kabinet seperti apa yang diperlukan untuk bisa efektif. Lalu, dia menyusun sejumlah kriteria. Sesudah melakukan hal-hal itu, Mega baru mengumpulkan orang-orang. Saya perlu memberi klarifikasi dalam soal ini. Koran-koran pernah menulis bahwa 70 persen kabinet Mega diisi orang lama. Padahal, pada awal-awal pembahasan kabinet, Mega belum pernah bicara soal orang, termasuk apakah orang lama masih dipakai atau tidak. Lalu, yang benar bagaimana? Yang benar, setelah melalui pembahasan, Mega mempertimbangkan memakai struktur kabinet seperti yang lama saja. Tapi, bila memang perlu ada tambahan, dia siap mendiskusikannya. Misalnya kemungkinan tambahan Menko Kesejahteraan Rakyat. Mengapa kok pemikiran itu muncul dan dia mengakomodasinya? Karena selama ini untuk lingkup kerja Kesra yang masuk ke Menko Polsoskam, masalah sosialnya baru digarap bila ada unsur keamanannya. Bila tidak, tidak akan digarap. Misalnya kalau UMPTN bocor atau ada drop-out tinggi, itu tidak akan dibahas. Bagaimana dengan anggota parlemen yang meminta bagian kursi di kabinet? Memang, problem yang datang kemudian adalah beberapa teman di parlemen. Mereka merasa sudah berhasil menjatuhkan Abdurrahman Wahid dan menaikkan Mega. Itu membuat mereka seolah-olah mempunyai hak ikut menentukan. Tapi, karena memang nuansa seperti itu hidup, harus ada take and give. Senang atau tidak senang, ini harus kita akui. Pada saat penyusunan kabinet, suara-suara itu seperti tak terjawab. Dan mereka mulai berpikir what's wrong, apakah Mega mulai meninggalkan kita. Pertanyaan lain, siapa sih yang sebenarnya mempengaruhi Mega. There must be somebody yang jadi kambing congek, dong. Lalu, mengapa begitu lambat. Ini pekerjaan berat. "Daripada terjadi bongkar-pasang, saya lebih baik hati-hati saja, deh." Begitu kira-kira pemikiran Mega. Sebetulnya problemnya jauh lebih berat dari soal bagi-bagi kursi dan kemungkinan bongkar-pasang kabinet? Mega tidak berbicara partai atau nonpartai, tapi profesional. Dia tidak bicara asal-usul. Kalaupun Mega meminta daftar nama, bukan karena jatah-jatahan. Tidak ada itu. Dia bicara begitu karena ingin merangkul. Dia minta daftar, itu sebenarnya untuk membuktikan apakah partai tertentu punya orang dengan persyaratan yang ditentukan. Pertimbangan itu yang membedakan dengan zaman Pak Abdurrahman, yang mengutamakan asal-usul. Mungkin karena Abdurrahman berasal dari partai yang suaranya tidak banyak sehingga harus mengakomodasi berbagai kepentingan. Akhirnya, kabinetnya warna-warni seperti es campur. Kenyataannya tidak efektif, team work tidak kuat. Akibatnya, kerja seperti berjalan di tempat. Gaduh. Apa yang dimaksud profesional menurut Mega? Pertama, seorang menteri mempunyai pengetahuan di bidangnya. Kedua, dia mempunyai visi dan mengetahui permasalahan di bidangnya. Ketiga, punya track record bagus. Keempat, mempunyai network baik. Dan kelima, bisa bekerja sama dengan Mega. Susunan kabinet sekarang benar-benar mencerminkan lima hal itu? Indirectly yes. (Terdiam sebentar.) Ini pertanyaan menyesatkan. Bila dipelintir, bisa jadi heboh. Pertanyaanmu itu tujuannya "apakah ini mewakili unsur partai atau tidak". Orang berpikir ini kabinet koalisi. Tapi, menurut Ibu, kabinet ini kabinet kerja. Beliau tidak melihat efektivitas kabinet koalisi. Sebenarnya bagaimana sih manajemen Mega? Sebagai wapres, dia sudah memiliki gambaran. Untuk mendapat gambaran besar, ada mekanisme ke arah itu. Setiap Senin dan Rabu, ada peraturan agar selalu memberi masukan kepada dia tentang masalah-masalah yang terjadi di hari-hari sebelumnya, persoalan yang perlu diselesaikan dalam waktu dekat, dan sesuatu yang menjadi potensi persoalan. Semua masalah itu memang tidak semuanya harus menjadi kewenangan Mega. Tapi dia harus mempunyai pengetahuan untuk menyelesaikan masalah-masalah itu, salah satunya dengan memberi arahan. Lalu, dia perintahkan cara penanganannya: apakah rapatnya di tingkat staf saja, atau menteri, atau malah dilempar ke sidang kabinet saja. Menurut Anda, Mega menarik garis tegas dengan partai. Dalam prakteknya, apakah itu bisa murni dilakukan? Saya tidak seratus persen di dalam. Tapi, yang saya ketahui sebagai staf, Mega tidak pernah mengaitkan kebijakan partai untuk masalah negara. Jadi, pengaruh PDI-P sama sekali tidak ada? Tidak. Kalau kaitannya dengan PDI-P, waktu Mega adalah tiap Selasa. Ibu kerja di Pecenongan. Tapi ada juga orang partai yang suka ke Istana sendiri-sendiri atau KISS. Apa yang harus diprioritaskan Mega? Pertama, menstabilkan hubungan antara pemerintah dan legislatif. DPR tidak perlu harus seperti zaman Soeharto, adem-ayem. Bisa tetap terus kritis, tapi tidak dalam semangat menjatuhkan. Kedua, kekompakan kabinet, yang sangat bergantung pada integritas menteri itu sendiri, bukan menko. Ke depan, peran menko juga jangan hanya mengoordinasi tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Kedua, semua orang setuju reformasi, tapi agendanya tidak jelas. Sekarang, kalau mengatur sedikit dibilang mengekang, melanggar hak. Seperti kemarin (seperti peristiwa-peristiwa yang melibatkan pengerahan massa), saya terus-terang sedih. Rakyat kita tidak bodoh. Mereka hanya berpikir sederhana. Tapi mereka sebenarnya banyak yang termanipulasi. Ketiga, soal otonomi. Konsep otonomi kita sudah benar atau belum. Bila otonomi tidak dikelola dengan arif, akan berbahaya. Mengapa? Cobalah lihat konsep undang-undang. Yang namanya otonomi sama dengan otoritas daerah. Akuntabilitas ada di DPRD tingkat I dan II, tapi tidak ada hubungan hierarkis antara DPRD I dan II. Akibatnya, bila gubernur memanggil anggota dewan, mereka tidak pernah komplet datang. Lalu, bagaimana Mega menjalankan kebijakan? Dia tahu apa yang harus dilakukan. Kitalah yang menciptakan kondisi sehingga memungkinkan dia melakukan move. Saya bukan orang partai. Saya datang dari birokrasi. Yang saya tahu, bila menginginkan barang jualan kita laku, barang itu harus menarik. Kalau mau membuat program, bikinlah yang ada benang merahnya, sehingga tonggak-tonggaknya ada dan bisa dijual pada 2004. Tampaknya Mega sangat percaya pada Anda? Saya tidak tahu. Saya selalu melihat suatu masalah dari lingkup nasional dan internasional, yang dimampatkan dalam satu pemikiran. Dan hasil itulah yang saya berikan kepada Mega. Saya tetap memakai bahan-bahan pikiran yang kita buat bersama teman-teman lainnya. Tapi tetap Mega yang memutuskan. Apa contoh masukan dari Anda yang diadopsi Mega? Sebagai anggota staf, saya memberi masukan tentang swastanisasi BUMN. Saya katakan, "Bu, privatisasi memang dibutuhkan karena dompet negara sedang kosong. Tapi Bu, please keep in mind very carefully, semua ini harus diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah. Bila sekarang kita mau menjual kepemilikan negara kepada orang lain, itu tidak ada dasar hukumnya, Bu. Nanti, bila kita diminta pertanggungjawabannya, susah." Lalu, waktu itu Ibu langsung memanggil Menteri Perekonomian, Menteri Perhubungan, Menteri Kehutanan, Menteri Keuangan, Ketua Bappenas, dan Ketua BPPN. Mereka ditanya satu per satu apakah mereka berani bertanggung jawab bila nanti privatisasi bermasalah. Ini rahasia terbesar yang tidak pernah saya omongkan ke pers. Di balik program privatisasi, di satu sisi itu sangat saya pahami dan sangat kita perlukan. Tapi, di lain hal, tidak ada dasar hukum menjual aset rakyat ini. Privatisasi tetap bisa jalan asalkan dibuatkan lebih dahulu dasar hukumnya. Mungkin hal-hal seperti ini yang membuat Mega percaya pada Anda? Saya kurang tahu. Saya tahu, saya diberi stempel "Orde Baru". Monggo. Tahun 1968, waktu saya masuk ke Sekretariat Negara, saya dikasih stempel "merah" (Orde Lama, yang berbau komunis) oleh tim screening. Saya tidak menyalahkan mereka. Sejarah kita memang begitu. Masukan Anda sering diterima Mega. Apakah tidak ada pembonceng yang memasukkan kepentingan kelompok tertentu melalui Anda? Begini ya, ini saya tidak basa-basi. Anda harus bisa menerima keterangan saya, meskipun teman-teman pers terkadang sudah mempunyai kerangka berpikir sendiri. Terus-terang, teman-teman menteri cukup matang menjalankan pekerjaan mereka. Hanya, dalam soal-soal tertentu, seperti menanyakan bagaimana pemikiran Mega, mereka bertanya kepada saya. Tapi mereka tidak pernah bilang, "Tolong, dong, bilangin Ibu supaya jangan mengambil keputusan A atau B." Ini tidak pernah terjadi. Mereka cukup matang dan tahu etika untuk tidak melakukan itu. Mega jarang bicara dan lebih memilih diam. Apakah itu kontraproduktif? Kita memang merekomendasikan kepada Mega (ketika masih menjadi wapres) agar menghindari komentar dan opini yang bertentangan dengan presiden. Dan dia sangat berdisiplin. Sikap Mega itu merupakan saran Anda? Sebagian dari kita. Tapi itu memang sikap beliau sendiri juga. Di masa lalu, memang banyak yang membuat pernyataan kontroversial tentang berbagai hal. Jika Wapres Megawati meluruskan atau mengeluarkan opini yang berbeda, jelas akan menjadi komoditi politik yang tidak bermutu. Anda orang lama di Sekretariat Negara (Setneg). Bagaimana pendapat Anda tentang hasil audit BPK tentang korupsi di Setneg? Itu hasil pemeriksaan yang belum diverifikasi tapi sudah diumumkan ke masyarakat. Hasilnya juga tidak akurat. Contohnya adalah salah satu anggota staf saya, Deputi Bidang Administrasi Dr. Bambang Sutanto. Dia dulu asisten Mensesneg untuk bidang umum. Tugasnya adalah mengelola dan mengadministrasikan dana-dana banpres. Mengadministrasikan bukan berarti menentukan siapa yang bisa mendapatkan dana tersebut. Dia hanya mencatat berapa bunganya dan disimpan di mana. Ada unit lain yang melakukan penilaian. Bagaimana rasanya menjadi orang Setneg begitu lama? Strict to be professional. Saya sendiri ingin membangun Setneg menjadi sangat kuat karena saya orang Setneg. Mengapa saya berpendirian begitu? Dalam sistem presidensial, sebenarnya kekuasaan tertinggi di tangan presiden. Menteri itu pembantu. Presidenlah yang membuat kebijakan, menteri yang melaksanakan. Bila kita mau betul-betul mewujudkan itu, masing-masing harus berusaha membangun diri sendiri. Saya juga berusaha membangun supaya presiden didukung staf yang kuat sehingga bisa bekerja efektif. Susahnya, kalau itu semakin kuat, yang terjadi adalah superdepartemen, sehingga muncul istilah "negara di dalam negara". Memang kita tidak selalu mengiyakan perkataan presiden. Ketika zaman Moerdiono, bila ada persoalan, saya selalu tanya. Lalu, saya akan menalar dengan dasar hukum. Saya juga memberikan memo kepada presiden, seperti: "Tampaknya kebijakan ini tidak menguntungkan bila diteruskan," atau, "Bapak Presiden, kebijakan ini bertentangan dengan undang-undang. Namun, apabila Bapak memutuskan atau mempunyai pertimbangan lain, segera akan disiapkan." Semua itu ada catatannya. Sebenarnya, apa cita-cita Anda? Saya dulu ingin jadi penerbang pesawat tempur. Tidak tahu mengapa kemudian saya tertarik pada bidang hukum. Kalau pensiun, saya ingin sangat simpel, ingin menikmati hidup. Saya ingin tidur lama, ingin pergi leluasa dengan keluarga, bisa hanya untuk pergi makan atau bisa juga ke Danau Toba.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus