Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Siti Hediati Harijadi: "Hubungan Kami dengan Mbak Mega Sangat Baik"

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAWASAN Cendana, yang biasanya tenang, Kamis malam pekan lalu diselimuti ketegangan. Puluhan polisi bersiaga di setiap mulut jalan menuju daerah elite di Jakarta Pusat itu. Mereka menyetop setiap mobil yang lewat dan menggeledah para penumpangnya dengan teliti. Para pejalan kaki juga tak luput dari pemeriksaan. Di depan rumah Tommy Soeharto, di Jalan Yusuf Adiwinata 4, tampak bergerombol puluhan wartawan, menanti saat-saat Tommy menyerahkan diri kepada polisi. Walau batas waktu yang diberikan oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya, pukul 23.00 WIB, sudah lewat, Tommy belum juga muncul. Para wartawan sempat menunggu sampai subuh karena beredar desas-desus putra mantan presiden Soeharto itu akan pulang dan menyerahkan diri pada dini hari. Namun, kabar ini tidak terbukti. Malam itu ketegangan juga membungkus rumah Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut di Jalan Yusuf Adiwinata 14, hanya ratusan meter dari rumah Tommy. Mbak Tutut, yang malam itu mengenakan kaus hitam dan celana panjang hitam yang dipadu dengan kerudung biru, terlihat sedih memikirkan nasib adiknya. Matanya masih sembap. Tampak sekali ia baru menangis. Saudara-saudara Mbak Tutut berkumpul di situ. Tampak di antaranya Bambang Trihatmodjo, yang kini tampak lebih kurus. Namun, berbeda dengan Tutut, Bambang kelihatan lebih tenang. TEMPO sempat melihat ia berupaya menenangkan kakaknya. Seperti Bambang, Siti Hediati alias Titiek kelihatan langsing, lebih kurus dibandingkan dengan penampilannya saat perayaan ulang tahun Soeharto, 8 Juni lalu. Dan Titieklah yang akhirnya bersedia menerima wartawan TEMPO Darmawan Sepriyossa untuk diwawancarai. Walau kelihatan letih, wanita berusia 42 tahun itu mau menjawab pertanyaan TEMPO seputar nasib Tommy, adiknya, dan keadaan keluarga Soeharto. Petikannya: Bagaimana keadaan Anda dan keluarga Soeharto saat ini? (Tersenyum) Bagaimana, ya…. Cobalah Anda menempatkan diri sebagai saya saat ini. Pikirkan apa saja yang saya dan keluarga kami lalui dalam tiga tahun terakhir. Apa yang bisa Anda rasakan, maka itulah kira-kira perasaan kami. Kapan pertama kali Anda mendengar kabar bahwa Tommy berada di balik peristiwa pengeboman dan pembunuhan hakim agung seperti yang dituduhkan polisi? Ya pada waktu muncul pengumuman dari kepolisian itu, Senin malam (pekan) lalu. Saya mendengarnya sekitar pukul 22.00. Saya syok, tentu saja. Apalagi kemudian dikatakan ada bukti-bukti segala. Saya merasa apa yang dinyatakan polisi saat itu—menuduh adik kami berada di belakang pengeboman, lalu mengaitkannya dengan pembunuhan hakim agung—sama sekali mengabaikan asas praduga tak bersalah. Paling tidak, sebagai keluarga, saya merasakan hal itu. Saat itu Anda berada di mana? Di sini (di rumah Mbak Tutut). Saudara-saudara saya sudah pada tak mau lagi membaca koran dan melihat berita televisi. Mungkin hanya saya sendiri yang selalu menyempatkan diri sarapan koran tiap pagi, karena ingin tahu apa yang sedang terjadi. Waktu itu kebetulan kami sedang berkumpul. Ada Mamiek, ada Mbak Tutut. Mas Bambang baru datang sekitar pukul 24.00 WIB, setelah kami telepon. Mas Sigit kebetulan tidak hadir. Hanya kami yang perempuan yang melihat berita itu. Ya, tentu saja, kami gugup sekali. Panik. Anda percaya Tommy berada di balik pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita? Tidak. Keluarga bahkan melihat putusan Pak Syafiuddin untuk kasus Bapak (Soeharto) sangat adil. Tak ada alasan timbul niat seperti itu. Pernahkah Anda atau salah seorang anggota keluarga ditelepon Tommy se-belum 7 Agustus lalu? Tidak, kecuali Mbak Tutut pada 7 Agustus lalu. Itu pun saya kira karena Tommy mendengar berita di televisi. Sebagai seorang adik, ia tentu ingin meyakinkan kakak-kakaknya bahwa ia tidak melakukan seperti apa yang dituduhkan. Tommy sepertinya sangat tidak bisa menerima tuduhan tersebut dan, karena itu, ia menelepon Mbak Tutut. Jadi, Tommy menghubungi kami hanya untuk meyakinkan saudara-saudaranya bahwa tuduhan itu sama sekali tidak betul. Apakah Pak Harto tahu hal ini? Kami tentu saja berusaha sebisa mungkin agar Bapak tidak pernah tahu, tak pernah mendengar semua yang terjadi dengan Tommy. Tapi, saya yakin, Bapak bisa merasakan bahwa ada something wrong dengan putra bungsunya. Setidaknya saya melihat dari tidak pernahnya Bapak bertanya lagi tentang Tommy akhir-akhir ini. Memang, beliau sempat beberapa kali bertanya mengenai ketidakhadiran Tommy. Tapi, karena jawaban yang beliau dapatkan dari kami mungkin dirasanya begitu-begitu saja, setelah itu, beliau tak pernah bertanya lagi. Hanya, saya yakin, beliau punya naluri seorang ayah. Bapak pasti merasakan ada sesuatu yang lain di rumah ini sekarang. Benarkah keluarga Soeharto sempat membicarakan soal Tommy ini dengan Presiden Megawati? (Titiek lama terdiam. Tampak ada sesuatu yang sulit ia katakan sebelum akhirnya ia hanya menjawab pelan.) Begini saja, hubungan keluarga kami dengan Mbak Mega sangat baik. (Sumber TEMPO di keluarga Soeharto menyatakan, sebenarnya Titiek sempat menemui Megawati di saat-saat terakhir Mega menjadi wakil presiden. Katanya, Megawati sempat menyayangkan mengapa Tommy tidak menempuh jalur hukum saja daripada membiarkan persoalan ini berlarut tak menentu. Jadi, Mega menganjurkan agar Tommy menyerah. Saran itu sempat dibicarakan oleh keluarga Soeharto, dan akhirnya disepakati: Tommy lebih baik menyerahkan diri. Dari Tata, istri Tommy, mereka juga sudah mendengar bahwa Tommy tidak berkeberatan menyerahkan diri. Nah, saat menunggu kontak dari Tommy, muncullah pengumuman polisi bahwa Tommy diduga terkait dengan pembunuhan Syafiuddin.) Apa yang akan Anda lakukan untuk membantu Tommy? Kami mohon doa dari masyarakat Indonesia. (Mata Titiek berkaca-kaca.) Doakan agar keluarga kami, yang sedang tak putus-putusnya ditimpa musibah ini, bisa tabah, mampu melalui cobaan ini dengan baik. Kami percaya pepatah Jawa: becik ketitik, olo ketoro. Yang salah akan ketahuan, yang benar akan kelihatan juga. Itu saja yang kami yakini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus