Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tommy Dikejar, Tutut Menangis

Pelarian Tommy Soeharto membuahkan penderitaan orang-orang dekatnya. Tutut sangat terpukul.

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruang keluarga di rumah Jalan Yusuf Adiwinata 14, Jakarta, itu sontak senyap tatkala sebuah berita secara tiba-tiba menyela acara TV yang tengah berlangsung. Perhatian semua penghuninya segera tumpah pada layar home theater yang mewartakan berita tersebut. Hari masih rembang petang menjelang pukul tujuh malam. Tetapi bagi Tutut, Mamiek, dan Titiek—tiga sekandung putri Soeharto, pemilik rumah tersebut—gelap seakan menutup pandangan mereka. Berita yang dikategorikan breaking news tersebut mengabarkan, polisi berhasil menyita sejumlah besar senjata api, granat tangan, bahan peledak, dan telepon genggam dari sebuah rumah di kawasan Pondokindah, Jakarta Selatan. Tak ketinggalan pula, sejumlah dokumen yang mengarah pada keterlibatan Tommy Soeharto. Rumah di Jalan Alam Segar III No. 23 itu, menurut polisi, disewa oleh Hutomo Mandala Putra alias Tommy, adik mereka yang kini buron. "Cobaan apa lagi ini?" Tutut kaget, nyaris berteriak. Ia kemudian menoleh kepada kedua adiknya, seolah meminta pendapat. Setelah itu, tubuhnya yang limbung segera dipapah Titiek, sang adik, yang mendudukkannya di kursi. Tiga wanita sekandung itu kemudian lebih banyak terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Layar televisi telah dimatikan. Hanya suara sebuah stasiun radio yang menyiarkan secara langsung peristiwa penggerebekan itu yang masih terdengar. Itu pun kecil saja. Entah didengarkan atau hanya sekadar meningkahi benak mereka yang berkecamuk. Bambang Trihatmodjo dan Sigit, saudara lelaki Tommy, malam itu tengah berada di luar rumah. Tututlah yang kemudian berdiri menuju pesawat telepon, memijit angka-angka dan mengabarkan kejadian itu kepada Bambang. Bambang baru datang sekitar tengah malam. Ia luput menyaksikan betapa saudara-saudaranya didera panik sepanjang waktu. Kala televisi menyiarkan secara langsung konferensi pers Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Sofjan Jacoeb, kalimat "masya Allah" pertanda tak percaya berkali-kali terucap dari mulut Tutut dan saudara-saudaranya. "Saya tak percaya," kata Titiek kepada TEMPO. Titiek menampik tuduhan polisi bahwa Tommylah dalang pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. Titiek mengatakan, baginya tak masuk akal Tommy berbuat sekeji itu dengan alasan yang tidak jelas. "Apa motif Tommy melakukan itu?" kata Titiek. Menurut Titiek, keluarga besar Soeharto bahkan menganggap Syafiuddin telah memberikan keadilan pada keluarga mereka dalam kasus tuduhan korupsi terhadap sang ayah, mantan presiden Soeharto. Februari lalu, putusan kasasi Mahkamah Agung yang diketuai Syafiuddin memang menguntungkan Soeharto. Selain menolak tuntutan jaksa atas tuduhan mengorupsi dana sebesar Rp 1,3 triliun dan US$ 419 ribu dari tujuh yayasan yang pernah dipimpinnya, majelis hakim agung juga mencabut status tahanan kota Soeharto. Benarkah keyakinan sang kakak bahwa Tommy tak terlibat? Pengadilanlah nanti—jika Tommy memang mau menyerahkan diri—yang akan menjawabnya. Yang jelas, drama seperti itu terulang kembali pada malam deadline ultimatum polisi, Kamis pekan lalu. Malam itu, mata Tutut masih saja sembap meski telah lewat dua hari sejak kabar itu membuatnya shocked. Tampak sekali ia menanggung kepedihan. Saat wawancara langsung dengan Radio Elshinta malam itu, Tutut bahkan mengakhiri wawancara pendeknya dengan tangisan. "Sudah, ya, saya tak bisa lagi ngomong," tuturnya patah-patah sebelum wawancara berakhir. Setelah itu, tak banyak yang ia lakukan malam itu. Tutut lebih banyak terdiam, duduk sambil sesekali melirik waktu, baik melalui arloji di tangannya ataupun jam dinding yang tergantung di ruang keluarga. Sesekali ia berbicara dengan Paula Soroinsong, salah seorang kepercayaannya. Tapi tampak jelas, perhatiannya tidak terfokus. Hal itu terlihat, misalnya, dengan berkali-kali menyilakan TEMPO makan malam. Tutut tampak lebih tenang setelah Bambang Trihatmodjo bercakap-cakap dengannya dengan suara pelan. Beberapa kali ia mengangguk, seperti mengiyakan kata-kata Bambang. Segera setelah itu ia minta diri untuk beristirahat. "Saya besok harus datang ke Polda Metro, pukul sembilan pagi," katanya sebelum menaiki tangga lantai 2 rumah tersebut. Kala itu waktu sudah beranjak ke pukul dua dini hari. Dan memang Tutut akhirnya diperiksa lebih dari enam jam di Polda Metro Jaya, Jumat pekan lalu. Ia bahkan dipertemukan dengan tersangka pembunuh Hakim Agung Syafiuddin. Tak pelak lagi, ulah Tommy yang buron sejak November lalu itu telah menambah beban berat keluarga, yang sebenarnya sudah banyak digayuti masalah. Memang, sejak turunnya Soeharto, satu demi satu anggota keluarga ini berhadapan dengan tuntutan hukum. Dimulai dari rangkaian pengadilan sang bapak, lalu serentetan pemeriksaan di Kejaksaan Agung yang harus dijalani Tutut, hingga akhirnya vonis 18 tahun penjara yang diterima Tommy atas kasus ruilslag tanah Bulog dengan PT Goro Batara Sakti. Belum lagi semua persoalan itu tuntas, Tommy malah bertindak nekat melarikan diri begitu per-mohonan grasinya ditolak Presiden (saat itu) Abdurrahman Wahid. Entah siapa yang telah "menggosok" Tommy hingga ia melakukan perbuatan bodoh tersebut. Alih-alih menuai untung, Tommy malah menceburkan diri dan keluarga besarnya menghadapi kesulitan. Seolah sebuah bubu penjaring ikan, kekaburan Tommy adalah pembuka pintu masuk yang membuatnya sulit menemukan kembali jalan keluar. Tommy dengan sengaja telah memerangkap dirinya sendiri. Bukan hanya itu. Tommy bahkan merenggut sebagian kemerdekaan keluarga besarnya. Entah berapa kali sudah rumah ayah dan saudara-saudaranya digeledah semenjak pelarian itu. Ketika namanya kembali terangkat akibat temuan polisi pekan lalu, mau tak mau keluarganya harus pasrah ketika rumah-rumah mereka satu demi satu digeledah polisi. Dengan kondisi seperti itu, bayangkan saja betapa susahnya menutup-nutupi persoalan itu dari mata dan telinga sang bapak, Soeharto, yang dikenal sangat menyayangi Tommy. Masih adakah jalan keluar bagi Tommy? Tentu saja. Namun, arah itu mau tak mau mengharuskan Tommy melewati satu pintu: menyerahkan diri. Pengadilanlah yang akan membuka kebenaran atas tuduhan selama ini. Di sanalah nanti terkuak apakah Tommy memang sekeji itu ataukah ada pihak lain yang mengisi posisi buruk tersebut dengan mengumbar cerita bohong kepada publik. Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus