Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Saya Seperti Tahanan Politik

Ahok sempat tak bisa menerima kenyataan hidup di penjara. Ia menjalani pergulatan di Markas Korps Brigade Mobil. Ia tak henti mengalami tekanan hingga keluar dari penjara. Namun penjara juga mengubahnya.

15 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ahok sempat mengalami stres yang berujung pada sakit di tubuhnya saat di penjara.

  • Penjara juga membawa rezeki untuk Basuki.

  • Megawati berkali-kali mengunjunginya di penjara.

DINYATAKAN bersalah karena menghina agama, mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, menghabiskan 625 hari di sel penjara. Pada 9 Mei 2017, sesaat setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis dua tahun penjara, Basuki langsung dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Satu malam berada di sana, dia dipindahkan ke Markas Korps Brigade Mobil di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, dengan alasan keamanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbeda dari tahanan lain, gerak-gerik Ahok—panggilan Basuki—lebih terbatas. Ia, misalnya, tak diperbolehkan beraktivitas di lapangan untuk menghindari tetamu tahanan lain melihat atau memotretnya. “Nanti bisa dicurigai macam-macam,” katanya dalam wawancara khusus dengan Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penjara membawa derita untuk Ahok, 53 tahun. Ia mengalami stres yang berujung pada sakit di tubuhnya. Ahok pun menerima tekanan agar tidak mengajukan upaya hukum lain yang bisa mengurangi masa hukumannya. Ia diminta tetap menjalani kehidupan di penjara hingga hukuman selesai. Sekeluar dari penjara, Ahok masih harus “mengungsi” ke luar negeri hingga pemilihan presiden berakhir.

Namun penjara juga membawa rezeki untuk Basuki. Ia mendapat cuan berlimpah dari hasil penjualan sejumlah bukunya, seperti Ahok di Mata Mereka. Di penjara pula Ahok merajut kisah cinta dengan Puput Nastiti Devi, setelah perkawinannya dengan Veronica Tan kandas. Belakangan, ia terpilih menjadi Komisaris Utama PT Pertamina (Persero). Ahok pun segera meluncurkan buku keduanya yang berjudul Panggil Saya BTP: Perjalanan Psikologi Ahok Selama di Mako Brimob.

Kepada tim Tempo yang mewawancarainya dalam tiga kesempatan, yaitu 12 Desember 2019 di rumahnya di Jalan Agus Salim, Menteng, Jakarta Pusat; serta Rabu, 12 Februari lalu, dan Jumat, 14 Februari lalu, di ruang kerjanya di Pertamina, dengan gaya berbicara yang meledak-ledak, Ahok menceritakan kehidupannya selama di penjara. Ia juga membagikan kisah pertemuannya dengan mereka yang dulu menjadi lawan politiknya, seperti Ma’ruf Amin dan Gatot Nurmantyo.

Bagaimana ceritanya Anda bisa menulis buku?

Sekitar sepuluh hari saya ditahan, teman saya datang dan kasih tahu, mendingan saya menulis setiap hari. Staf saya membawakan kertas. Terus saya mulai menulis. Habis bangun tidur, mau kesel, mau sinting, pokoknya gue harus nulis. Lalu muncul ide membuat buku. Dari hasil menulis buku itu saya bisa dapat sampai Rp 19 miliar.

Anda jadi lebih kaya di dalam penjara, dong?

Iya. Makanya, ketika keluar dari penjara, saya menolak masuk hotel, cukur rambut, mandi, dan ganti baju sebelum pulang ke rumah. Kan, tradisinya begitu untuk buang sial. Tapi gue gak bawa sial. Gue bawa cuan. Bawa istri, bawa duit, bawa buku. Ha-ha-ha....

Apa yang membedakan buku baru ini dengan buku sebelumnya?

Buku ini sebenarnya merupakan perjalanan psikologis saya selama tinggal di penjara. Buku ini mencatat perubahan saya selama di penjara. Ada berbagai luminasi yang saya alami, yang tidak terulang lagi setelah saya keluar. Penjara membuat saya berubah. Untuk menganalisis perubahan itu, ada sejumlah psikolog yang melihat catatan harian saya.

Dalam buku itu, Anda terlihat marah karena dipenjara.

Saya memang marah. Kenapa negara harus kalah dari tekanan massa? Saya pikir ini seperti dagelan. Tiba-tiba saja saya dimasukkan ke penjara. Mana ada dalam sejarah republik ini ada gubernur aktif dimasukkan ke penjara, kecuali kena operasi tangkap tangan atau jadi maling. Saya tidak terima itu.

Anda marah kepada siapa?

Saya marah kepada semua orang yang sudah mengangkat sumpah jabatan sebagai pejabat publik di republik ini. Saya di penjara juga dimonitor. Tiap kali ada tamu datang, dicatat nama, pelat nomor mobil, direkam semua. Ngeliatin gerak-gerik gue. Kan, gue bisa ngerasain itu. Udah kayak tahanan politik aja gue ini.

Marah juga kepada Presiden?

Gue udah bilang, gue marah ke semua orang. Seharusnya kan ada intervensi ketika orang melanggar konstitusi. Bukan massa yang menang, bukan kuat-kuatan. Anda dikasih senjata, kuasa, wewenang, itu kan untuk menegakkan keadilan, untuk bicara kebenaran.

Kemarahan itu cukup lama?

Sampai hari ke-14, setiap jam 2 pagi saya terbangun. Dada saya sesak. Semua badan terasa panas. Wah, stres nih gue. Saya cari penyebabnya. Baru saya sadar, saya menyimpan kemarahan. Akhirnya saya berdoa, minta supaya saya bisa memaafkan. Ketika bisa mengampuni, aku enggak pernah lagi bangun tengah malam.

Mana yang lebih bikin Anda marah: kalah dalam pemilihan gubernur atau masuk penjara?

Kekalahan itu enggak terlalu aku pikir. Aku masih punya tujuh bulan kerja. Coba lihat mukaku pas kalah, biasa-biasa aja. Ini seperti dipaksakan. Kalau enggak langsung ditahan, saya kan bisa kerja terus, masih tujuh bulan menjadi gubernur.

Salah satu pendorong gelombang unjuk rasa terhadap Anda adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia yang dikeluarkan Ma’ruf Amin. Anda kecewa ketika Ma’ruf menjadi calon wakil presiden?

Aku bukan kecewa karena Ma’ruf Amin-nya. Tapi orang harus dipilih berdasarkan kemampuan kerja, meritokrasi. Bukan karena punya massa. Saya dulu disaranin pilih calon wakil gubernur orang Betawi yang islami. Saya tidak mau. Coba cek, saya tidak pernah datang ke gereja saat kampanye pilgub DKI.

Desember 2019, Anda berjumpa dengan Ma’ruf Amin. Bagaimana suasana pertemuan itu?

Itu pertama kali saya ke Istana. Gue bilang, Jokowi nakal, nih. Dia pasti tahu saya bakal nyalamin Ma’ruf. Saya cium tangan beliau. Mungkin beliau enggak nyangka saya cium tangan. Dia tanya kabar saya. Saya jawab, “Baik, Pak.”

Memang sengaja cium tangan?

Beliau kan orang tua. Jokowi aja cium tangan Bibit Waluyo (mantan Gubernur Jawa Tengah yang menyebut Jokowi sebagai orang bodoh). Tapi itulah, di dalam penjara, saya bisa mengatasi diri sendiri, enggak benci orang lain.

Sudah tidak ada masalah dengan Ma’ruf Amin?

Baik-baik aja. Sekarang saya berteman dengan yang dulu ikut demo saya. Gue berteman sama Gatot Nurmantyo (mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia). Kami mau bisnis ayam dan nanam jagung. Kami lagi siapin kandangnya. Kalau mau masuk ke restoran waralaba kan ada standar ukurannya.

Gatot dulu kan terkesan anti-Ahok.

Wah, lu jangan fitnah temen gue, dong, ha-ha-ha.... Duit tidak mengenal rasisme. Dia punya puluhan ribu ekor ayam.

(Dihubungi melalui telepon, Gatot Nurmantyo membenarkan bertemu dengan Ahok. Dia sepertinya tertarik, ya saya terbuka saja untuk memberi bantuan atau membagikan pengalaman saya. Gatot mengatakan Ahok belum bergabung dengannya.)

Di penjara, Anda tetap memilih mendukung Jokowi.

Dia kan teman saya. Saya baca Kitab Amsal, ada ayat yang sesuai: a friend is always loyal.

Prabowo Subianto bukan teman Anda?

Kita harus bedakan. Yang seperjuangan jalan dengan saya kan Jokowi.

Apa yang berubah dari Anda setelah keluar dari penjara?

Ada polisi tanya, kalau waktu bisa diputar, saya mau jadi gubernur atau ditahan di Mako Brimob. Saya bilang saya pilih ditahan. Lho, kenapa? Kalau jadi gubernur, paling berkuasa lima tahun lagi. Di penjara, saya belajar menguasai diri sendiri. Ada yang enggak percaya saya sudah berubah. Yah, masak enggak percaya. Gini-gini saya lulusan S-3 Mako Brimob, ha-ha-ha....

Anda betah di dalam penjara?

Selama saya di penjara, ada enam dokter terbaik di dunia. Pertama namanya sinar matahari. Saya bisa berjemur. Kedua, olahraga teratur. Sebelum tidur, saya biasa push-up. Dalam sehari saya bisa push-up 200 kali. Saya juga bisa tidur cukup delapan jam sehari. Enak. Di sana jam 10 malam harus tidur. Biasa bangun jam 4 subuh. Terus saya menulis atau baca buku. Lanjut lagi tidur dua jam. Keempat, makan tepat waktu. Kelima, punya waktu cukup. Saya membalas lebih dari 15 ribu surat selama di sana. Menulis dan balasnya gampang, tapi membacanya setengah mati. Keenam, punya banyak teman. Kami punya band, namanya BTP, Band Teman Penjara. Banyak orang pasti nyesel masukin saya ke sana, ha-ha-ha.…

Di antara belasan ribu surat, mana yang paling aneh?

Tanya konsultasi soal perceraian. Gue aja gagal, lu mau tanya gue. Ha-ha-ha.…

Anda tidak pernah mengambil upaya hukum lain setelah divonis.

Saya disarankan tidak mengambil asimilasi, padahal sudah bisa. Lalu saya diminta oleh lembaga pemasyarakatan menulis pernyataan tidak mau asimilasi. Rupanya, saya masih gak dipercaya. Remisi pun orang lain terima lebih banyak dari saya. Belakangan, saya mencoba melihat dari perspektif lain. Kalau asimilasi, saya pulang pergi Jakarta-Depok saja butuh waktu empat jam. Naik kereta enggak mungkin. Siapa yang mau mengawal? Kalau kerja di gedung mana pun pasti dikerubutin orang. Saya masih punya fan banyak. Lagian, kalau ke luar penjara, saya enggak punya waktu untuk membaca dan menulis.

Dalam buku, Anda menyebut ada beberapa politikus datang menyampaikan pendapat soal kasasi.

Intinya itu, enggak usahlah bikin gaduh lagi. Sudah, terima sajalah. Tentu saya susah terima. Tapi akhirnya bisa menerima karena mengubah perspektif.

Itu terkait dengan kalkulasi politik?

Semua itu intinya kalkulasi politik. Ada orang-orang yang merasa kalau Ahok keluar, Presiden bakal kalah pilpres. Maka lebih baik Ahok jangan keluar.

 


 

Tanya konsultasi soal perceraian. Gue aja gagal, lu mau tanya gue. Ha-ha-ha.…

 


 

Kami mendengar Anda diungsikan ke luar negeri setelah keluar dari penjara karena waktu itu menjelang pemilihan presiden.

Teman-teman, keluarga, ibu saya memang menyarankan saya ke luar negeri. Lu di sini mau ngapain? Orang pada kampanye, apa lu mau cari ribut lagi? Lu nolong Jokowi juga enggak guna, nambah suara juga enggak. Paling enggak, saya gak perlu jadi beban buat Jokowi. Saya sempat kesal. Di buku juga saya tulis itu.

Anda sempat ditawari masuk partai, salah satunya oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kenapa menolak?

Waktu itu ada orang-orang PSI datang dan menawarkan bergabung. Orangnya bilang, kalau saya bergabung, mereka bisa lolos parliamentary threshold. Paling tidak pendukung saya ada 6-7 persen. Kalau lolos, next saya bisa jadi calon presiden. Ada juga yang datang mau bikin film, tawarin Rp 5 miliar di muka. Saya bilang, “Kalian ini, saya sudah masuk penjara masih mau memanfaatkan.” Saya juga tidak cocok dengan Sunny Tanuwidjaja (Sekretaris Dewan Pembina PSI). Dia memanfaatkan nama saya.

Dimanfaatkan seperti apa?

Salah satu yang bikin kaget kan laporan Tempo yang menyebutkan ada duit yang mengalir ke Teman Ahok (organisasi pendukung Ahok untuk maju sebagai calon gubernur dari jalur independen). Jangan salah, Teman Ahok itu isinya anak-anak baik yang idealis. Saya panggil mereka yang disebut, dan semua membantah. Saya baru sadar begitu ada rekaman kasus Sanusi (anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, M. Sanusi, yang terjerat kasus suap reklamasi) dan Sunny. Kan, di sidang jelas banget rekamannya. “Gimana koko lu, setuju enggak?” Terus dijawab beres. Telepon itu di dekat ruangan saya dan ada suara saya lagi ngomong. Mati gak lu? Kalau laporan Tempo benar, dia berarti menipu orang. Gue percaya laporan Tempo. Menurut gue, Tempo itu enggak bisa dibayar untuk memfitnah orang.

(Tempo mencoba menghubungi Sunny berkali-kali, tapi dia tak menjawab panggilan telepon dan tak membalas pesan yang dilayangkan Tempo.)

Lalu kenapa memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan?

Sebenarnya saya sudah tidak mau masuk partai. Tapi kalau mau memperbaiki bangsa ini, suka gak suka, mau gak mau, harus lewat partai. Saya masuk PDI Perjuangan karena cuma partai itu yang firm memilih saya. Partai lain kan takut berdekatan dengan Ahok. Memang kita tidak menutup mata bahwa di PDIP pun tidak semua orang baik. Tapi Bu Mega (Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan) tidak menganggap saya sebagai beban yang bisa menggerus suara partai. Malah dia bilang bahwa saya representasi nasionalisme.

Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaya Purnama saat wawancara dengan Tim Tempo di Jakarta, Rabu (12/2). TEMPO/Tony Hartawan

Anda sepertinya cukup dekat dengan Megawati?

Kalau saya tidak masuk penjara, dia mau bawa saya keliling kampanye. Beliau juga empat kali datang ke penjara. Takut aku stres. Kalau kami ketemu, biasanya dia bawa makanan dan kami makan bareng.

Anda punya target untuk 2024?

Enggak mungkin punya target karena enggak punya apa-apa. Secara partai juga. Mahfud Md. (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, kini Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan) saja bilang saya enggak bisa jadi menteri. Meski itu bisa diperdebatkan karena saya tidak dituntut atau divonis lima tahun. Kan, saya dituntut empat tahun dan divonis dua tahun. Pertanyaannya, berani enggak orang angkat saya jadi menteri? Saya juga enggak mau gaji Rp 19 juta doang. Kalau Rp 500 juta, okelah. Ha-ha-ha.…

Masih berminat jadi presiden?

Saya mau jadi presiden kalau bisa. Kalau enggak ada calon yang bagus, saya mau jadi presiden. Kalau ada calon yang bagus, saya tidak mau. Masalahnya, partai berani enggak nyalonin gue jadi presiden? Saya kan liability (beban), sudah punya label sebagai penista agama. Meskipun etos kerja, kemampuan, integritas, bolehlah ditanding. Tapi gini. Saya kan sekarang ada di Merdeka Timur (kantor Pertamina), makin dekat ke Merdeka Utara (Istana Presiden). Kalau Anies Baswedan kan masih di Merdeka Selatan (Balai Kota DKI Jakarta). Lebih jauh dia. Ha-ha-ha....

Anda mengubah nama Ahok jadi BTP di dalam buku.

Sewaktu di penjara, saya ketemu ibu-ibu polisi. Dia bilang, “A” itu artinya enggak dan “hok” itu hoki atau beruntung. “Ahok” berarti enggak beruntung. Sama seperti “asusila” atau “amoral”. Dia sarankan saya pakai nama Basuki. Sebenarnya dulu udah sering pakai BTP, tapi kalah populer dibanding Ahok. Bapak saya kan sudah memberi nama Basuki, yang berarti makmur, berhasil, sejahtera. Dia berharap saya menjadi seperti orang Jawa. Waktu itu kan juga bakal ada talk show di Metro TV. Untuk rebranding, mulailah pakai BTP. Psikolog yang ketemu saya juga bilang ganti nama itu bagus juga untuk mengubur masa lalu. Ya sudahlah, pakai nama Jawa yang sesuai dengan harapan bapak saya.

Di sampul buku, foto Anda mengenakan beskap dan blangkon. Kenapa ingin menonjolkan sisi Jawa?

Saya pernah dikasih buku Pitutur Budaya Jawa oleh teman saya. Orang Jawa itu mau merendahkan diri sampai paling rendah. Seperti air. Kenapa saya tidak memilih berkarakter seperti orang Jawa? Kalau soal foto, waktu itu memang lagi persiapan buat pernikahan. Sekalian aja saya minta fotografer memotret saya sendirian untuk sampul buku.

Perubahan menjadi lebih “njawani” itu terkait dengan kepentingan politik?

Enggaklah. Kalau berpikir seperti itu, saya pindah agama sekalian. Lebih untung begitu. Saya tidak suka politik identitas. Apa adanya sajalah. Yang ngasih nama Basuki itu papa saya, bukan saya. Papa saya bilang, jangan pernah main-main soal agama.

Dalam buku, Anda terang-benderang berbicara soal runtuhnya perkawinan Anda.

Itu sudah disampaikan dalam persidangan. Saya sempat tidak mau cerai. Psikolog yang melihat catatan harian saya juga menilai salah satu titik terendah kehidupan saya terjadi selama proses perceraian. Tapi, melalui pergulatan panjang, akhirnya saya mengambil keputusan.

(Mantan istri Basuki, Veronica Tan, melalui teman dekatnya menyatakan menolak berkomentar soal kehidupan perkawinannya.)

Siapa yang paling berperan besar dalam pernikahan Anda dengan istri baru?

Djarot (mantan Wakil Gubernur DKI, Djarot Saiful Hidayat). Dia membantu mencarikan saya istri dengan berbagai kriteria yang kami tetapkan. Pas dia ke Mako Brimob, ada Puput yang mau pamitan sama saya. Dia bilang, enggak usah cari lagi. Ini aja. Langsung dia tanya, “Kamu mau enggak sama Pak Ahok.” Kalau dilihat dari ketawanya, mau tuh, kata Djarot. Setelah itu, orang tuanya pun merestui.

Dalam buku Anda, ada kekesalan ketika Badan Pemeriksa Keuangan memberikan penilaian wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk laporan keuangan DKI.

Iya, saya kesal. Bukan karena Anies Baswedan yang dapat. Dulu, zaman Gubernur Fauzi Bowo, BPK kasih WTP. Padahal pencatatan asetnya ada banyak kekurangan. Waktu saya gubernur, saya benahi semuanya, pencatatan aset, juga sistem yang lebih transparan. Eh, saya dikasih wajar dengan pengecualian. Kalau standarnya sama, seharusnya enggak begitu.

Anda kecewa melihat kondisi Jakarta sekarang?

Enggak. Saya malah bersyukur. Orang bisa mengerti, Ahok ini kerja dengan benar. Persoalan di Indonesia tidak akan selesai kalau kita memilih pemimpin bukan berdasarkan meritokrasi, tapi primordialisme.

 


 

BASUKI TJAHAJA PURNAMA

Tempat dan tanggal lahir: Manggar, Belitung Timur, 29 Juni 1966 • Pendidikan: S-2 (magister manajemen) Jurusan Manajemen Keuangan Universitas Prasetya Mulya (1993), S-1 (insinyur) Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Trisakti (1989), S-1 (tidak lulus, sampai semester I) Jurusan Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (1984) • Karier: Komisaris Utama Pertamina (sejak November 2019); Gubernur DKI Jakarta (2014-2017); Wakil Gubernur DKI (2012-2014); Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar (2009-2012); Bupati Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung (2005-2007); Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Belitung Timur (2004-2005)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus