Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Semangat Feminisme dari Harley Quinn

DC Extended Universe membuka tahun ini dengan film tentang Harley Quinn dan geng perempuan jagoan, Birds of Prey. Mengambil latar setelah Suicide Squad, Quinn dikisahkan move on dari Joker.

15 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBRUTAL-brutalnya Harley Quinn, dia seperti kebanyakan dari kita saat putus cinta. Dia melompat dari bar ke bar, pesta ke pesta, dan dari satu kekacauan ke yang lainnya. Ia hanya ingin melupakan mantan pacarnya yang bak racun, Joker. Namun Quinn (diperankan aktris asal Australia, Margot Robbie) jeri juga mengaku jomlo. Sebab, statusnya sebagai pasangan bandit paling keji di Kota Gotham selama ini menjadi impunitas yang membuat Quinn berani melawan siapa saja, termasuk polisi. Nah, kalau dunia sampai tahu hubungan asmara mereka putus, bakal gawat hidupnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terbukti, setelah membuat pernyataan putus cinta dengan cara meledakkan pabrik bahan kimia, Harley Quinn seketika jadi buron. Nyawanya dibidik para musuh dan korban kejahatannya bersama Joker. Termasuk Roman Sionis alias Black Mask, mafia narsistik yang sedang menggelar sayembara memburu Cassandra Cain. Gadis itu dikejar gara-gara membawa kabur berlian incaran Sionis. Pilihan Quinn hanya satu: mesti membekuk Cain bila ingin Sionis tak menghabisinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Urusan Quinn dengan Sionis menjadi alat sutradara Cathy Yan untuk menyampaikan urusan yang lebih esensial dari film ini, yakni tentang feminisme. Secara eksplisit, hal tersebut ada dalam judul film nan panjang ini: Birds of Prey (and the Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn). Film ini sejak awal memang digagas untuk menggaungkan girl power. Itulah mengapa Margot Robbie sebagai produser ingin filmnya digarap sutradara perempuan. Selain memilih Yan (Dead Pigs), Robbie mendapuk Christina Hodson (Bumblebee) sebagai penulis naskah. Yan sendiri mencetak sejarah karena menjadi perempuan Asia pertama yang mengarahkan film DC Comics.

Ide membubuhkan unsur pemberdayaan perempuan bukan hal baru di jagat superhero. Sebelumnya, representasi perempuan dalam komik serta film DC dan Marvel Cinematic Universe (MCU) diwakili pendekar seperti Wonder Woman, Cat Woman, Poison Ivy, Captain Marvel, Black Widow, dan Scarlet Witch. Bahkan, di semesta MCU, Captain Marvel-lah yang dicitrakan paling perkasa. Karakter fiksi itu tak hanya mengubah stereotipe lawas yang menganggap tokoh perempuan cuma subordinat pahlawan lelaki, tapi juga membangun kesadaran baru soal kekuatan perempuan.

Namun Harley Quinn pada awal kemunculannya dalam film Suicide Squad (2016) belum digambarkan berdaya. Dia memang durjana dan berani menyikat apa saja yang menghalangi langkahnya. Hal itu muncul karena dia berelasi romantis dengan Joker yang superior. Kalau terjadi apa-apa, ada Joker yang melindunginya. Posisi Quinn itu sempat disinggung secuil oleh salah seorang kawan Quinn di film Birds of Prey. Si kawan memprediksi Quinn bakal berpacaran lagi dengan lelaki yang tak kalah kuatnya dari Joker. Belakangan, terkaan itu ditepis Quinn. Ia memilih berkuasa atas hidupnya sendiri.

Margot Robbie dan Ewan McGregor dalam Bird of Prey./Imdb

Hubungan tak sehat--anak zaman sekarang sering menyebutnya toxic relationship--memang menjangkiti Quinn selama berpacaran dengan Joker. Bagaimana dia akhirnya bangkit dari situasi itu pun tak mudah, yang digambarkan sangat rasional oleh Yan dan Hodson. Quinn mesti melewati lika-liku psikologi yang kompleks, dan ini terbantu oleh kemunculan Birds of Prey. Geng pahlawan cewek ini beranggotakan penyanyi Dinah Lance atau Black Canary (Jurnee Smollett-Bell), polisi Renee Montoya (Rosie Perez), dan Huntress alias Helena Bertinelli (Mary Elizabeth Winstead).

Keberadaan mereka seperti memaknai gagasan: perempuan semestinya memberdayakan satu sama lain. Sayangnya, tak semua latar belakang karakter perempuan sangar itu tergali dengan baik. Dari ketiganya, hanya Huntress yang masa lalunya diterangkan jelas. Bisa jadi ini sengaja disimpan DC untuk sekuel Birds of Prey. Sebab, di komik, kelompok ini masih akan menarik anggota lebih banyak, di antaranya Batgirl, Lady Blackhawk, Big Barda, Gypsy, dan Manhunter. Adapun Quinn sejatinya tak masuk skuad bentukan Black Canary dan Barbara Gordon itu.

Karena banyak sekali tokoh baru dijejalkan, Birds of Prey kadang kehilangan fokus dan sempat kedodoran di awal. Terlebih film berdurasi 109 menit ini memakai alur maju-mundur, yang sekaligus menyimbolkan labirin pikiran Quinn yang ruwet, tak lazim, dan tak bisa ditebak. Saat kita sudah larut terbawa ke dalam cerita, mendadak saja dia menyeret kita lagi ke masa lalu. Quinn lalu menata ulang waktu dan kejadian lewat narasi lengkap, tentunya dengan nada centil dan cemprengnya yang khas. Cara bertutur yang sangat ribut itu sekilas mengingatkan pada superhero Marvel, Deadpool (diperankan Ryan Reynolds). Apalagi keduanya sama-sama sinting dan bawel.

Namun di situlah menariknya sosok Harley Quinn. Ia adalah antihero yang eksentrik. Karakter bernama asli Harleen Frances Quinzel ini adalah psikiater yang sempat bekerja di penjara Gotham, Arkahm Asylum. Di sanalah dia kepincut pada Joker, salah satu pasiennya, dan ketularan sinting. Walau sudah berubah menjadi persona baru, Quinn tak lantas lupa pada ilmu kejiwaan. Dalam sejumlah adegan di Birds of Prey, Quinn yang dulu hanya muncul sebagai cameo di film kartun Batman: The Animated Series kadang terlihat waras saat menelaah kondisi psikologis kawan dan lawannya.

Riwayat karier Quinn dan statusnya sebagai mantan kekasih Joker menjadi kredit yang membuat sosok ini menarik. Namun, di balik itu semua, Margot Robbie-lah yang sangat berhasil membuat tokoh Harley Quinn bersinar. Imajinasi akan Quinn dihidupkan salah satunya lewat kostum ala badut pelawak dengan baju warna-warni dan aksesori mencolok. Modal kostum itu dikuatkan dengan gelak tawa dan cengiran khas Quinn yang dieksekusi begitu ikonik oleh Robbie. Bahkan susah rasanya membayangkan bila suatu ketika tokoh Quinn diperankan aktris lain.

Birds of Prey (and The Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn)/imdb

Ewan McGregor, yang memerankan Sionis alias Black Mask, bisa mengimbangi akting Robbie. Dia meniupkan aura “sakit” sekaligus jahat yang bisa tiba-tiba saja menjegal nyawa orang. Keberadaannya sekaligus menjadi benang merah misi emansipasi Quinn dan Birds of Prey. Sebab, bagaimanapun, para perempuan ini butuh momen untuk bangkit dari keterpurukan masing-masing. Ketimpangan relasi gender digambarkan lewat adegan Dinah Lance menyanyikan It’s a Man’s Man’s Man’s World. Senandung pilu Lance merujuk pada bosnya, Sionis, yang superior dan dominan.

Dibandingkan dengan kebanyakan film DC Extended Universe (DCEU) yang lain, rona gambar Birds of Prey bisa dibilang lebih berwarna dan ceria, menyusul Aquaman dan Shazam! yang disuguhkan dalam citra berbeda dengan film DCEU lain yang cenderung gelap. Namun, untuk urusan baku hantam, Birds of Prey tak sebanding dengan Shazam!, yang masih bisa ditonton remaja. Saking banyaknya adegan sadis berseliweran, Birds of Prey sampai dilabeli rating “R” atau “Restricted”. Pertarungan yang kebanyakan tangan kosong itu diselingi dengan humor khas Harley Quinn yang segar. Ini membuat kegilaan si tokoh menancap di kepala hingga film rampung.

ISMA SAVITRI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus