Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gugatan dari Kamp Suriah

Pengadilan Inggris menolak gugatan Shamima Begum, bekas anggota ISIS yang dicabut kewarganegaraannya. Dianggap membahayakan keamanan nasional.

15 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengadilan Inggris menolak gugatan Shamima Begum, bekas anggota ISIS yang dicabut kewarganegaraannya.

  • Inggris sudah mencabut kewarganegaraan sekitar 150 orang yang bergabung ke ISIS.

  • Pemerintah menggunakan argumen keamanan nasional dalam pencabutan itu.

PUTUSAN pengadilan Komisi Banding Khusus Imigrasi Inggris, 7 Februari lalu, mengganjal Shamima Begum untuk kembali ke negaranya. Tapi itu bukan putusan final. Perempuan kelahiran Inggris yang bergabung dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pada 2014 itu masih punya peluang untuk banding soal pencabutan kewarganegaraannya oleh Menteri Dalam Negeri Inggris Sajid Javid.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Daniel Furner, pengacara Begum, menyatakan kliennya akan meminta banding atas putusan ini karena “ada urgensi luar biasa”. Ia risau terhadap nasib kliennya, yang kini masih berada di kamp pengungsian Al-Roj, Suriah utara. Ini salah satu lokasi pengungsian, selain Al-Khawl, yang menampung keluarga ISIS setelah kelompok teroris itu kehilangan daerah terakhirnya di Baghuz, Suriah timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam putusannya, hakim Komisi Banding menilai langkah Menteri Javid yang mencabut kewarganegaraan Begum tidak melanggar “kebijakan hak asasi manusia”. Hakim Elisabeth Laing juga menilai putusan itu tidak membuat Begum tak berkewarganegaraan karena ia masih bisa mendapatkannya dari Bangladesh. Begum lahir di Inggris dari orang tua berkewarganegaraan Bangladesh.

Pencabutan kewarganegaraan adalah salah satu cara yang dipakai Inggris untuk menangani warganya yang bergabung ke ISIS. Menurut Menteri Javid, Begum adalah satu dari sekitar 150 orang yang dicabut kewarganegaraannya sejak 2010. “Pencabutan ini sangat penting dalam membantu mencegah kembalinya warga negara Inggris dengan kewarganegaraan ganda yang terlibat terorisme di Suriah atau Irak,” kata Sajid.

Selain Begum, yang dicabut kewarganegaraannya adalah Jack Letts, mualaf dari Oxford, yang dikenal sebagai “Jihadi Jack”, setelah ia pergi ke Suriah pada 2014. Dia ditangkap ketika mencoba lari ke Turki pada Mei 2017. Otoritas Kurdi menuding Jack sebagai anggota ISIS. Ibunya, Sally Lane, orang Inggris dan ayahnya orang Kanada. Jack lahir dan besar di Inggris, tapi negeri itu menolak memulangkannya.


 

Menurut data pemerintah, lebih dari 900 orang pergi dari Inggris untuk bergabung dengan ISIS dan kelompok jihad lain di negara-negara tersebut sejak 2014.

 


 

Jumlah milisi Inggris yang tersisa di Suriah atau Irak tidak diketahui. Menurut data pemerintah, lebih dari 900 orang pergi dari Inggris untuk bergabung dengan ISIS dan kelompok jihad lain di negara-negara tersebut sejak 2014. Setidaknya 20 persen dari mereka terbunuh di sana dan sekitar 40 persen telah kembali.

Pencabutan kewarganegaraan Begum bermula dari peristiwa pada pertengahan Februari 2014. Saat itu, Begum, yang masih 15 tahun, bersama dua kawan sebayanya dari Bethnal Green Academy, Kadiza Sultana, 16 tahun, dan Amira Abase, 15 tahun, terbang dari Bandar Udara Gatwick, Inggris, ke Turki.

Dari foto-foto saat melalui pemeriksaan keamanan di Gatwick, mereka tampak seperti remaja ceria yang hendak berlibur. Rupanya, ketiganya mengikuti jejak teman sekolah mereka, Sharmeena Begum, yang berangkat ke Suriah tahun sebelumnya.

Mengetahui anak-anaknya menghilang, para orang tua secara terbuka meminta mereka pulang. Seruan itu tak diindahkan. Sekitar sepekan kemudian, Kepolisian Metropolitan London mengatakan para pejabat Inggris yakin tiga remaja tersebut telah masuk ke Suriah, negara yang sebagian wilayahnya sudah dikuasai ISIS kala itu.

Menurut Shamima Begum, dia kemudian menikah dengan Yago Riedijk, orang Belanda yang masuk Islam. Dua temannya juga dikabarkan menikah dengan milisi ISIS.

Dalam sebuah wawancara dengan Sky News, Februari 2019, Begum mengaku “tidak pernah melakukan sesuatu yang berbahaya” dan “hanya seorang ibu rumah tangga selama empat tahun”. Dalam wawancara dengan Daily Mail, September 2019, ia mengaku lebih banyak berada di rumah. Bersama Riedijk, Begum memiliki tiga anak.

Namun sumber-sumber keamanan Inggris punya informasi berbeda. Begum disebut sebagai anggota Al-Hisbah, lembaga yang dijuluki sebagai “polisi moral” ISIS. Selama di sana, ia membawa senapan serbu AK-47 dan diduga ikut menjahit rompi untuk pelaku bom bunuh diri.

Saat dimintai konfirmasi bahwa dia anggota Al-Hisbah, Begum marah dan menyebutnya sebagai tuduhan omong kosong. “Selama delapan bulan pertama (di ISIS) saya menunggu di rumah untuk suami saya yang berada di penjara yang dicurigai sebagai mata-mata,” ujar Begum.

Pada saat Begum masuk ke Raqqa, ISIS sedang berada di puncak kejayaannya. Dalam waktu kurang dari setahun, mereka merebut sejumlah kota besar di Irak dan Suriah. Pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi, mengumumkan pembentukan kekhalifahan dari mimbar Masjid Agung Nouri di Mosul, 29 Juni 2014, dan mengubah nama kelompok itu menjadi Negara Islam.

Kemenangan itu tak berlangsung lama. Pada 2017, satu per satu wilayah yang dikuasai ISIS lepas setelah digempur pasukan koalisi Kurdi dan Amerika Serikat serta pasukan pemerintah Suriah yang didukung Rusia. Di awal 2019, ISIS menyisakan Baghuz sebagai pertahanan terakhirnya, sebelum kota tersebut lepas pada Februari tahun itu.

Ketika ISIS menghadapi pertempuran penghabisan di Kota Baghuz, Begum bersama ribuan keluarga mengungsi ke kamp penampungan di Al-Khawl, Suriah timur. Mereka melintasi gurun untuk menghindari pertempuran. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya 29 anak meninggal dalam perjalanan itu.

Mereka yang selamat dari pertempuran ditemukan di kamp-kamp pengungsi. Makanan, obat, dan kadang air bersih langka di sana. Saat itu, Begum sedang mengandung sembilan bulan, sementara suaminya ditangkap pasukan Kurdi dan ditahan di kamp lain.

Pada Februari 2019, Shamima Begum menyampaikan kabar buruk tentang teman-temannya kepada wartawan. Menurut dia, Kadiza Sultana tewas dalam serangan udara Rusia pada 2016. Ia juga kehilangan kontak dengan Sharmeena Begum dan Amira Abase. Ia menyatakan keinginannya pulang agar bisa merawat anak ketiganya, Jarrah, yang lahir di kamp Al-Khawl.

Berbagai jenis penyakit mewabah di kamp itu, yang menyebabkan banyak orang meninggal hingga kamp itu dijuluki “kamp kematian”. Jarrah tertular radang paru-paru dan meninggal 10 hari setelah dilahirkan. Ada sekitar 3.000 perempuan dan 7.000 anak-anak dari luar Irak dan Suriah yang berada di kamp tersebut.

Dalam wawancara dengan The Times pada Februari 2019, Shamima Begum mengaku tidak menyesal datang ke Suriah, tapi, “Sekarang keinginan saya adalah pulang ke Inggris.” Keinginan itu dijawab pemerintah Inggris dengan mencabut kewarganegaraannya. Inggris beralasan ia memiliki hak untuk mengambil kewarganegaraan Bangladesh.

Menteri Javid menulis surat kepada keluarga Begum bahwa ia percaya orang tua Begum adalah orang Bangladesh sehingga Begum memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan kewarganegaraan di negara tersebut. Tapi Bangladesh menyatakan tak ada peluang untuk menerima Begum.

Begum menggugat pencabutan kewarganegaraan Inggrisnya pada Maret 2019. Tasnime Akunjee, pengacara keluarga Begum, menyebutkan pencabutan itu melanggar konvensi Eropa tentang hak asasi manusia. “Putusan itu salah karena membuat Shamima Begum tidak memiliki kewarganegaraan, menempatkan hidupnya dalam risiko, membuatnya mendapat perlakuan yang tidak manusiawi,” kata Akunjee kepada Guardian.

Pemerintah Inggris bergeming. “Kita tidak bisa membiarkan orang yang membahayakan kita memasuki negara kita, termasuk wanita ini,” ujar Priti Patel, Menteri Dalam Negeri Inggris pengganti Javid.

Dalam sidang banding kasus ini pada Oktober 2019, pemerintah menggunakan argumen keamanan nasional dalam pencabutan itu. Begum dinilai telah bersekutu dengan kelompok ISIS. Ia tidak hanya melakukan perjalanan ke Suriah, tapi bahkan tetap bersama mereka sampai menjelang hari terakhir kekuasaan kelompok itu. Ini menunjukkan komitmennya kepada kelompok teroris tersebut.

ABDUL MANAN (GUARDIAN, INDEPENDENT, DAILY MAIL, THE SUN, NEW YORK TIMES)

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus