Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUPIAH berada dalam tekanan berat. Nilai tukar limbung di kisaran 16.500 per dolar Amerika Serikat. Namun Jahja Setiaatmadja, 68 tahun, tetap optimistis terhadap situasi perekonomian dan perbankan Indonesia. "Likuiditas masih bagus," ujar Presiden Direktur Bank Central Asia ini. Jahja memimpin bank swasta dengan nilai aset terbesar di Indonesia, sekitar Rp 1.444 triliun, tersebut sejak 2011.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Jahja, ada dua pilihan cara mengendalikan dolar: bank sentral menaikkan suku bunga acuan atau mengintervensi pasar. Tapi, kata dia, kebijakan intervensi hanya bersifat sementara. Karena itu, ia menyarankan Bank Indonesia menaikkan suku bunga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bankir yang lahir di Jakarta itu juga memberikan atensi terhadap proyeksi perekonomian setelah transisi pemerintahan. Jahja menyarankan pemerintah berhati-hati dalam menambah pinjaman. Menurut dia, utang untuk kepentingan operasional mesti dibatasi. "Masyarakat bisnis juga menunggu apakah figur yang mengisi pemerintahan ramah terhadap pasar dan kebijakannya mendukung bisnis," tuturnya.
Jahja menerima wartawan Tempo, Raymundus Rikang, Sunudyantoro, Praga Utama, dan Yosea Arga Pramudita, dalam wawancara melalui konferensi video selama sejam. Ia mengaku jadwalnya cukup padat karena harus segera terbang ke Meksiko untuk menghadiri pertemuan rutin para eksekutif perbankan global. "Kami bertukar pengalaman dan saling update tentang industri perbankan," kata lulusan akuntansi Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, itu.
Sebagai bankir, bagaimana Anda menilai situasi perbankan hari ini?
Saya lihat likuiditas perbankan masih bagus. Artinya, dari segi ketersediaan, rupiah masih cukup bagus. Kebutuhan likuiditas belum terlalu tinggi. Memang kredit pinjaman baru-baru ini mencapai double digit, 10-11 persen. Tahun lalu single digit.
Situasi di Bank BCA seperti apa?
Kami bersyukur permintaan kredit di BCA cukup tinggi, sampai Juni sudah double digit. Memang rasio kredit terhadap simpanan meningkat di atas 82 persen, bahkan pernah 84 persen. Namun kami masih cukup senang meski tetap harus melihat-lihat. Kami mendukung kredit usaha mikro serta penghiliran tambang, terutama smelter pertambangan.
Apa menariknya bisnis smelter bagi perbankan?
Penghiliran modalnya besar, triliunan rupiah. Jadi hanya bank seperti BCA, Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia yang sanggup mendanai. Kami juga ada sindikasi dengan Mandiri dan BNI. Kami menganggap penting pendanaan penghiliran untuk mendukung program yang sudah dicanangkan Presiden Joko Widodo guna memberi nilai tambah. Penghiliran membuat nilai tambang jauh lebih tinggi ketimbang dijual dalam bentuk bahan baku.
Pamor nikel dari Indonesia sedang turun.
Sebelum mencuat ke permukaan karena digunakan untuk kendaraan listrik, nikel digunakan untuk campuran aluminium dan stainless steel. Kebutuhannya konsisten. Akibat kendaraan listrik, kebutuhan nikel melejit. Belakangan ditemukan beberapa alternatif untuk membikin baterai. Karena itu, harga nikel yang sempat tinggi terkoreksi. Namun kami melihat nikel tetap dibutuhkan untuk jangka panjang. Nikel enggak akan menjadi negatif meski harganya tidak seperti semula.
Bisnis tambang selalu dikaitkan dengan isu lingkungan. Bagaimana perbankan bersikap sehingga lingkungan tetap lestari?
Kita terkadang harus melihat kriteria "berusaha" yang berkaitan dengan lingkungan. Ada yang memang dibutuhkan meski sedikit menyebabkan kerusakan lingkungan. Kebanyakan smelter memakai tenaga listrik yang bersumber dari batu bara sehingga dianggap kurang hijau. Otoritas Jasa Keuangan sudah merumuskan taksonomi hijau.
Detail taksonomi hijau itu seperti apa?
Smelter, misalnya, jangan dilihat dari prosesnya saja, tapi juga hasil akhirnya. Hasil akhir smelter bisa digunakan untuk kendaraan listrik. Kita mengarah ke energi hijau. Memang ini seperti buah simalakama. Kalau melihat semata-mata mobil listrik, misalnya, ia perlu pengisi daya. Sumber listriknya dari PT Perusahaan Listrik Negara, sebagian besarnya energi batu bara juga. Jadi ada daya rusaknya.
Apa pandangan Anda terhadap penurunan nilai rupiah?
Dolar Amerika Serikat menjadi benchmark semua mata uang di dunia, kecenderungannya tinggi. Sudah naik 5,25 persen. Padahal rupiah, hingga terakhir Gubernur Bank Indonesia menaikkan suku bunga 0,25 persen, baru meningkat 2,5 persen dari sebelumnya. Jadi masih ada gap 3 persen, cukup besar dibanding dulu.
Apa yang membuat nilai dolar melonjak terhadap rupiah?
Ada beberapa hal yang memicu. Kalau kita flashback, pelemahan rupiah dimulai sebelum Lebaran karena permintaan barang dan jasa meningkat. Produsen harus mempersiapkan bahan baku, sebagian besarnya diimpor sehingga membutuhkan tambahan dolar. Memasuki masa Lebaran, banyak orang yang berlibur ke luar negeri sehingga banyak permintaan tiket pesawat dan belanja di luar negeri.
Lebaran sudah lewat dua bulan. Kenapa situasinya belum berubah?
Setelah Lebaran seharusnya membaik. Tapi dolar melebihi Rp 16 ribu. Bank Indonesia akhirnya menaikkan suku bunga. Menurut saya, ini bijaksana. Bank sentral bisa melakukan dua cara untuk mengendalikan dolar, yakni menaikkan suku bunga rupiah atau mengintervensi pasar. Intervensi pasar sifatnya sementara. Tapi kalau fundamental, gap dolar dengan rupiah masih 3 persen, lebih baik menaikkan suku bunga.
Seberapa besar pengaruh pasar obligasi pemerintah?
Kami melihat investor asing berusaha mengurangi portofolio dari government bond. Capital market juga banyak yang keluar. Ini membuat permintaan dolar meningkat. Di sisi lain, kami lihat harga-harga komoditas pertambangan, seperti nikel dan batu bara, menurun. Otomatis, kalau harga komoditas itu menurun, penerimaan dolar dari ekspor juga turun. Ketidakseimbangan itu menyebabkan harga dolar naik. Namun saya kira rupiah masih terkendali.
Kurs juga dipengaruhi oleh situasi geopolitik, perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat. Seberapa besar dampaknya?
Salah satu faktornya memang itu. Perang dagang Cina-Amerika membuat produk-produk yang tadinya bisa disubstitusi berharga murah menjadi mahal. Mereka mencoba mengganti produk dari Eropa atau dari negeri sendiri. Tapi produk Amerika mahal karena biaya tenaga kerja juga tinggi.
Jahja Setiaatmadja
Tempat dan tanggal lahir:
- Jakarta, 14 September 1955
Pendidikan:
- Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat (1982)
Jabatan:
- Wakil Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (2005-2011)
- Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (2011-sekarang)
Pemerintah mengguyur pasar uang dengan obligasi. Dana perbankan yang masuk ke obligasi lebih dari Rp 1.280 triliun. Bagaimana tanggapan Anda?
Bagi pemerintah, suku bunga obligasi yang tinggi seperti buah simalakama. Investor asing harus diberi suku bunga atraktif. Tidak bisa disangkal ada persaingan perbankan dengan surat berharga negara (SBN). Namun nasabah enggak sekadar melihat suku bunga. Artinya, kalau nasabah menaruh uang di bank, pasti selama satu-tiga bulan atau satu tahun. Begitu jatuh tempo lalu dicairkan principal, pasti balik plus bunga. Bunga mungkin lebih kecil. Tapi kalau SBN, bila dibutuhkan likuiditas, setiap saat harus dijual ke market, bisa untung bisa juga rugi.
Bukankah berinvestasi di SBN merupakan investasi jangka panjang?
Ini juga yang menyebabkan suku bunga tinggi. Tapi, dari sisi para deposan, mereka harus melihat juga kebutuhannya. Kalau ada dana menganggur, pasti lebih cocok di situ. Aman karena seratus persen uang ada di negara. Tapi jangan lupa, saat mendadak butuh duit, Anda bisa ketawa atau bisa juga menangis karena harganya bisa naik atau turun. Memang tetap terasa persaingannya. Bunga deposito rata-rata perbankan sudah naik, dulu 2-3 persen dan sekarang 5-6 persen.
Akan ada transisi pemerintahan baru dalam beberapa bulan mendatang. Ada saran untuk memperkuat kondisi fundamental ekonomi?
Kami bisa lihat penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kalau pinjaman dalam APBN meningkat, enggak ada masalah. Pinjaman itu harus dibagi dua, pinjaman untuk kebutuhan operasional dan kebutuhan investasi. Pinjaman untuk kebutuhan investasi menjanjikan masa depan, misalnya pembuatan jalan tol dan pelabuhan. Menurut saya, investasi yang ada return-nya bisa langsung dari proyeknya. Pinjaman uang untuk biaya operasional harus dibatasi. Artinya, sebisa mungkin penerimaan negara mengkompensasinya dan jangan sampai pakai pinjaman.
Apa yang ditunggu kelompok bisnis dalam transisi ini?
Mungkin mereka melihat orang-orang yang menentukan di kabinet. Apakah market friendly, memahami pasar, dan nanti kebijakan-kebijakannya mendukung bisnis. Jadi itu beberapa hal yang ditunggu pasar.
Bagaimana Anda melihat program makan bergizi gratis. Apa prediksi Anda terhadap program ini?
Kami sadar tingkat kecerdasan perlu dijaga dari awal dan itu tidak hanya diberikan dalam bentuk pendidikan. Ilmu kedokteran mengatakan gizi kita penting. Ini adalah salah satu long-term investment. Menurut saya, ini kebijakan yang cukup bagus untuk meningkatkan gizi siswa sehingga mereka bisa menyerap semua pelajaran. Ini memang bukan suatu investasi yang segera menghasilkan, tapi ke depannya penting. Tinggal komposisinya saja, berapa untuk biaya operasional dan berapa buat biaya jangka panjang.
Pemerintahan baru pasti tak bisa agresif menerbitkan obligasi. Bagaimana perbankan merespons ini?
Menerbitkan obligasi artinya pemerintah menambah pinjaman. Sejauh jumlahnya sesuai dengan kebijakan, saya pikir oke. Tapi kalau terlalu eksesif hingga menyulitkan pengembalian di masa depan, itu yang perlu diperhitungkan.
Apakah benar sentimen pasar cenderung negatif menjelang transisi pemerintahan?
Sewaktu bertemu dengan investor, kami enggak ingin terpancing menanyakan kebijakan pemerintah. Kami lebih melihat, sebagai tempat yang dituju investor, kami harus menyediakan apa saja untuk meyakinkan mereka atas performance kami. Pertanyaannya kebanyakan ke arah likuiditas pasar, suku bunga, digital payment, security teknologi informasi kami. Kami juga menolak menanyakan secara khusus persepsi mereka soal pemerintahan.
Ke depan, sektor apa yang dianggap menarik dan bisa menopang perekonomian?
Kami menceritakan kredit pemilikan rumah karena, menurut kami, KPR jangan dilihat sebagai kredit konsumsi. Sebab, konsumsi itu istilahnya menghabiskan uang. Menurut saya, membeli properti bukan menghabiskan uang. Dalam jangka panjang, pembelinya punya rumah sendiri. Kalau sektor perumahan maju akan mendorong akselerasi ke industri lain.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja dalam Konferensi Pers Paparan Kinerja BCA secara daring di Jakarta, Oktober 2021. Antara/Ho-BCA
Akselerasi seperti apa yang Anda bayangkan?
Saya pernah menghitung ada 33 sub-industri yang mendukung sektor perumahan, dari kaca, batu bata, semen, hingga tenaga kerja. Kita butuh tenaga kerja. Kalau ada proyek, biasanya ada bedeng. Dengan bekerja, mereka mendapat gaji. Pagi, siang, dan malam mereka perlu makan. Mereka mencari warung-warung di situ. Jadi mereka menghidupkan masyarakat setempat, lalu mengirim pendapatannya ke kampung. Ini efek akselerasi meski saat ini permintaan KPR bergeser ke rumah lebih murah. Dulu permintaan di atas Rp 2-3 miliar masih banyak. Sekarang sekitar Rp 1 miliar ke bawah. Portofolio KPR saya dulu cuma Rp 18 triliun. Sekarang sudah Rp 210 triliun. Besar sekali peningkatannya.
Ada potensi pelambatan di sektor properti?
Pelambatan sudah ada sejak masa pandemi Covid-19. Sekarang sudah merambat naik lagi, tapi belum kembali seperti sebelum masa pandemi. Kalau dari segi penjualan, kami melihat permintaan rumah per unit bergeser turun. Demikian juga mobil. Saat ini permintaannya relatif cukup besar dan masih menarik untuk terus mengembangkan KPR.
Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) juga banyak dilirik. Tapi apakah itu sehat karena bank sentral berutang kepada masyarakat?
Kalau SRBI tidak memadai, orang enggan memasukkan dana ke sana. Berarti ada likuiditas lebih. Ini akan memicu spekulasi pembelian valuta asing. Kalau itu terjadi, kurs akan tertekan dan dampaknya lebih berbahaya pada ekonomi karena hampir semua bahan baku diimpor. Kalau kurs dolar melonjak cukup tinggi, itu bahaya untuk inflasi kita. Kami percaya BI sudah menghitung dampak positif dan negatifnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pasar Menunggu Penentuan Posisi-posisi Penting di Kabinet"