Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Selebritas Fedi Nuril aktif menyuarakan kritik terhadap pemerintahan Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Fedi menyebutkan Prabowo belum mempertanggungjawabkan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Dia juga menyoroti para selebritas yang terkooptasi kekuasaan dan menjadi pemengaruh di pemerintahan.
KONDANG di layar perak sebagai aktor yang bermain peran sebagai suami berpoligami, selebritas Fedi Nuril kini populer di media sosial sebagai komentator sosial-politik. Dia vokal memprotes pembajakan demokrasi di ujung masa pemerintahan Joko Widodo dan intervensi kekuasaan dalam pemilihan presiden 2024. Sementara dalam proyek film Fedi mesti menghadapi aktor lain sebagai lawan main, ia sekarang acap meladeni para pendengung di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cuitan Fedi di media sosial X, terutama soal rekam jejak Prabowo Subianto serta pelanggaran hukum dan etika pemerintahan Jokowi, ramai diperbincangkan. Warganet, seperti komentar simplistis untuk banyak hal, mengecap Fedi sebagai pembenci Prabowo. Di sekitar hari pemilihan presiden, Fedi mengkritik Prabowo dengan menyatakan tak ingin pelaku penculikan aktivis 1998 menjadi presiden. “Tidak ada empati terhadap keluarga korban peristiwa 1998,” ujar aktor yang bernama lengkap Fedrian Nuril itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fedi merujuk pada fakta sejarah Reformasi 1998. Dewan Kehormatan Perwira memberhentikan Prabowo dari dinas militer karena menilainya bersalah dalam penculikan dan penghilangan paksa aktivis prodemokrasi. Jabatan terakhirnya waktu itu adalah Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat dengan pangkat letnan jenderal. Kepada mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik Budiman Sudjatmiko, Prabowo tak menyangkal bahwa ia menculik para aktivis.
Kehidupan Fedi sebenarnya tak jauh dari dunia militer—latar belakang Prabowo yang kerap diprotesnya hari-hari ini. Ayah Fedi, Nuril Rachman, yang wafat pada 1993, adalah tentara berpangkat kolonel. Dulu dia mendorong anaknya masuk Akademi Militer. Fedi tak lolos saringan karena matanya minus. Dari ayahnya, Fedi mewarisi banyak buku bacaan yang memberinya gagasan dalam mengkritik pemerintahan belakangan ini.
Tak mudah meminta Fedi berbicara soal aktivitasnya dalam isu politik. Jurnalis Tempo beberapa kali mengundangnya untuk hadir dalam program siniar Bocor Alus Politik pada hari pencoblosan 14 Februari 2024 dan demonstrasi “Peringatan Darurat” yang memprotes pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pada 22 Agustus 2024. “Setiap mereka meminta, saya sedang tidak bisa,” kata pemeran Fahri dalam film Ayat-Ayat Cinta itu, lalu terbahak.
Fedi baru menyanggupi permintaan wawancara ketika Tempo menyiapkan laporan khusus soal gerakan masyarakat sipil yang melawan kesewenang-wenangan rezim Jokowi yang diteruskan Prabowo dengan dalih keberlanjutan. Fedi dengan tangkas menjawab pertanyaan wartawan Tempo, Sunudyantoro, Friski Riana, dan Yosea Arga Pramudita, di Ruma Coffeatery di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Senin, 16 Desember 2024.
Apa yang menggerakkan Anda bersuara kritis?
Sebenarnya saya tertarik pada isu pemerintahan sejak kuliah. Saya mulai aktif bersuara akhir-akhir ini ketika Prabowo Subianto memutuskan mengikuti pemilihan presiden lagi. Saya memutuskan ikut mengetik.
Anda tak takut bersuara kritis?
Ada rasa takut. Itu manusiawi. Namun rasa amarah lebih besar daripada ketakutan itu.
Tidakkah Anda cemas sewaktu-waktu dikriminalisasi dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik?
Makanya, kalau harus bersuara atau berdebat, saya juga memastikan memahami betul apa yang saya bicarakan. Dengan demikian, kalau saya sampai dikriminalisasi, warganet akan melihat kejadian yang menimpa saya sebagai peristiwa yang kacau. Saya melihat waktu sekarang sebagai sebuah kesempatan untuk bersuara karena penguasa sedang berhati-hati. Jika melakukan tindakan yang menjurus ke otoritarianisme, habislah mereka.
Apakah pernah risau karya Anda diboikot karena sikap ini?
Saya melihat teman-teman di dunia kreatif pernah bersinggungan dengan kasus hukum dan mereka dibui. Mereka bisa kembali bekerja dan diterima masyarakat setelah bebas dari penjara. Jika sampai sikap ini membuat karier saya turun dan produser tak mau merekrut saya lagi, itu konyol. Kalau sampai itu terjadi, saya makin khawatir terhadap keadaan negara ini.
Dari mana Anda mengumpulkan keberanian?
Sewaktu mendekati pemilihan presiden 2024, penguasa sedang membutuhkan suara sebanyak-banyaknya. Prabowo sekarang sudah menjadi presiden dan mereka sangat berhati-hati dalam bertindak. Satu orang saja hilang, pasti semua langsung curiga. Dunia internasional pasti memperhatikan Indonesia. Itu salah satu sumber kekuatan saya.
Apakah Anda pernah diancam gara-gara aktif mengkritik kekuasaan?
Ada semacam ancaman. Ada yang bilang, “Hati-hati saja ke depan kalau jempolnya kayak begini.” Saya langsung bertanya kepada pengirim pesan, “Ini ancaman?” Baper (terbawa perasaan) sekali kalau sedikit-sedikit mengancam. Saya juga pernah mendapat pesan dari seseorang yang berharap Orde Baru hidup lagi sehingga orang seperti saya bisa di-petrus-kan.
(Petrus merupakan akronim penembakan misterius, sebuah operasi rahasia pada era Soeharto yang menyasar preman dan pelaku kriminal.)
Bagaimana Anda mengantisipasi ancaman itu?
Saya mengambil screenshot bukti percakapan itu, lalu menyebarkannya di media sosial. Saya enggak tahu pesan itu ancaman atau bukan. Tapi hal tersebut tidak berpengaruh kepada saya kalau saja itu benar-benar ancaman.
Apa saja respons yang Anda terima ketika melepaskan cuitan “Asal Bukan 02”?
Kubu 02 atau pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang paling berisik. Saya kaget terhadap responsnya sekaligus merasa berhasil “mencolek” mereka.
Apa motif Anda waktu itu? Memobilisasi warganet agar tak mencoblos Prabowo?
Saya enggak bilang memilih siapa. Saya cuma mengatakan tidak memilih 02. Sudah, itu saja. Ternyata ada pihak yang khawatir tulisan saya itu berpengaruh, meski akhirnya enggak berpengaruh. Namanya juga ikhtiar. Politikus dari koalisi pendukung Prabowo nyamperin saya.
Siapa mereka?
Saya berbicara dengan orang yang memakai identitas asli. Mereka dari Partai Demokrat, Partai Solidaritas Indonesia, dan Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran. Di situ jelas mereka mendukung siapa.
Bagaimana dengan upaya peretasan?
Ada kawan yang ahli teknologi mengingatkan soal potensi itu. Dia menyarankan saya memitigasi ancaman digital jika tetap ingin bersuara kritis. Saya mengikuti sarannya. Jika ada percobaan peretasan, ada e-mail notifikasi. Saran teman saya itu berhasil memitigasi ancaman tersebut.
Fedrian Nuril
Tempat dan tanggal lahir:
- Jakarta, 1 Juli 1982
Pendidikan:
- Diploma III akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat
Film populer:
- Mengejar Matahari (2004)
- Ayat-Ayat Cinta (2008)
- Perempuan Berkalung Sorban (2009)
- 5 cm (2012)
Penghargaan:
- Pemeran Utama Pria Terpuji Festival Film Bandung dalam film Ayat-Ayat Cinta (2008)
Menurut Anda, apa yang salah pada Prabowo?
Prabowo belum mempertanggungjawabkan pelanggaran hak asasi manusia. Dia sudah tiga kali ikut pemilu dan kalah terus. Prabowo semestinya sadar mayoritas masyarakat Indonesia tak mau ia menjadi presiden.
Mengapa Anda khawatir terhadap Prabowo?
Ada satu wawancara dengan Prabowo di YouTube. Di sana dia mengatakan aset dan pabriknya mandek karena tidak berkuasa. Dari situ saya melihat motivasinya menjadi presiden. Apakah supaya asetnya tidak macet lagi? Jika itu yang dia kejar, berarti ada konflik kepentingan atau potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Prabowo memperoleh posisinya sekarang karena bantuan Joko Widodo. Anda sependapat?
Saya makin khawatir ketika Jokowi dan Prabowo bersatu. Saya kecewa terhadap Jokowi yang mengajak Prabowo bergabung ke pemerintahan. Jokowi merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada era Jokowi pula, ada putusan Mahkamah Konstitusi soal batas umur calon presiden dan wakil presiden yang membuat Gibran Rakabuming Raka bisa maju dalam Pemilihan Umum 2024. Para mantan anggota Tim Mawar yang terlibat penculikan aktivis 1998 pun diberi jabatan di pemerintahan.
Anda juga peduli terhadap isu penculikan aktivis?
Bagi saya, dalam pemberian jabatan kepada anggota Tim Mawar tak ada empati terhadap keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1998. Jokowi tak punya empati terhadap keluarga korban.
Anda pernah mendukung Jokowi dalam pemilihan presiden sebelumnya?
Mula-mula ada optimisme kepada Jokowi karena dia tak terikat beban masa lalu atau Orde Baru. Istilahnya, Jokowi itu figur yang fresh. Saya melihat optimisme itu dulu dan menjadi pilihan logis waktu itu karena saya enggak mau Prabowo. Dua periode saya memilih Jokowi. Tak ada yang menyangka apa yang terjadi pada akhir masa kekuasaannya.
Maksud Anda, Jokowi yang berubah?
Siapa pun orangnya. Tadinya kita berpikir baik sehingga ada sebuah harapan. Namun kekuasaan bisa mengubah persona.
Rekan-rekan Anda merapat ke pemerintahan setelah mendukung Jokowi dengan menjadi pemengaruh. Anda juga pernah ditawari?
Saya menolak. Prinsip saya, walau calon ini yang saya dukung, saya akan menjadi oposisi begitu sudah terpilih. Saya adalah pendukung gagasan. Pokoknya, ketika ada yang salah di mata saya, saya akan langsung mengkritik. Saya menghindari tawaran semacam itu karena Istana bikin silau.
Anda tak dijauhi kolega karena bukan bagian dari gerbong selebritas pendukung kekuasaan?
Menjauh, sih, tidak. Ada yang takut dengan berkata, “Lu vokal banget. Apa enggak takut?” Jawaban saya sama. Ada rasa takut, cuma rasa amarah lebih besar. Ada juga yang khawatir dan berkata, “Hati-hati, film mau rilis, nih.”
Bagaimana semestinya pekerja seni menjalin hubungan dengan kekuasaan?
Semua lapisan masyarakat, bukan hanya pekerja seni, mesti menjadi oposisi pemerintah. Kita yang menggaji mereka dan hakikatnya mereka bekerja untuk kita. Pemerintah mesti diawasi supaya tidak kebablasan karena sejarah membuktikan bahwa power tends to corrupt. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Sejak zaman dulu, pekerja seni seperti grup Warkop menjadi oposisi pemerintah. Idealnya seperti itu.
Faktanya, pekerja seni menjadi apolitis setelah dikooptasi penguasa….
Mereka termasuk orang yang tak merasa perlu mendalami dan mempelajari hak sipil. Mereka terlihat dekat dengan penguasa karena mungkin dibayar. Saya berfokus pada diri saya dulu, apakah keberanian saya ini cukup membuat penguasa tak nyaman. Banyak aktivis dan politikus yang dulu berseberangan dengan Prabowo, tapi sekarang merapat.
Anda kecewa terhadap para aktivis yang balik kanan mendukung Prabowo?
Kecewa karena mereka tak berempati kepada keluarga korban. Apakah mereka capek kontra terus-menerus? Itu idealisme yang digadaikan. Saya bilang kepada mereka apakah kalian sudah meminta maaf? Sebagai aktor, saya mempelajari perilaku manusia. Mereka bohong kalau nuraninya tenang dan damai. Saya bosan dengan alibi mengubah dari dalam. Menurut saya, mereka bermain kotor dulu agar bisa masuk ke pemerintahan.
Bagaimana Anda membayangkan kebebasan berekspresi pada era Prabowo?
Semua orang berhak berpendapat, sebodoh apa pun pendapat itu. Mengemukakan ide dan pendapat perlu dilatih. Memiliki keberanian berpendapat itu satu hal. Namun bisa mengartikulasikan pendapat adalah hal berbeda dan diperlukan keterampilan. Anda perlu bertanggung jawab ketika terlibat dalam debat agar tidak disangka menyebarkan hoaks atau disinformasi.
Soal kanal bersuara, kenapa Anda nyaman di X?
Di media sosial X lebih enak menulis pendapat, mencantumkan tautan, serta menautkan foto dan video dalam satu unggahan. Itu bisa langsung diklik semua. Di Instagram dan TikTok, debatnya dengan buzzer rezim. Jika mau menyodorkan bukti dengan memberi link, mesti disalin dulu. Pokoknya ribet. X lebih dinamis untuk berdebat.
Di tengah perdebatan, Anda sering menyisipkan gurauan. Anda memikirkan narasi dengan serius?
Saya sebenarnya ingin sekali memaki kasar karena saking marahnya terhadap situasi hari ini. Namun saya paham bahwa poin ide saya bisa tidak terbaca kalau memaki dengan kasar. Itu nanti yang di-highlight dari perdebatan. Saya mencari cara agar orang bisa tetap berfokus, tapi keinginan memaki masih tersampaikan.
Apa yang Anda akses untuk mendapat informasi terbaru?
Saya membaca berita dan menonton podcast. Bocor Alus Politik menjadi salah satu sumber informasi bagi saya. Seru banget jika teman-teman bisa masuk ke area-area itu dan sejauh ini informasi mereka benar.
Kapan Anda membaca dan menonton di tengah jadwal yang padat?
Setiap hari minimal 30 menit. Jika membaca berita soal makroekonomi, saya membutuhkan waktu lebih panjang untuk memahaminya.
Buku apa yang sedang Anda baca?
Saya terakhir membaca buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat versi ejaan lama. Buku itu milik ayah saya. Dia tentara dan punya banyak buku. Ayah saya lahir pada 1928 dan pernah ikut perang kemerdekaan. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo