Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Faisal Basri, Sigit Riyanto, dan Hariadi Kartodihardjo berusaha menegakkan integritas akademikus.
Mereka menentang korupsi dan berpihak kepada masyarakat.
Wafatnya tiga tokoh ini adalah kehilangan besar untuk Indonesia.
KABAR duka itu datang hampir bersamaan. Faisal Basri, ekonom senior yang juga pengajar di Universitas Indonesia, tutup usia di Jakarta pada 5 September 2024. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto meninggal pada 21 Agustus 2024. Adapun Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University, wafat di Bogor, Jawa Barat, 2 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketiganya adalah akademikus yang selalu kritis terhadap pemerintah dan menjaga integritas akademikus. Kritik itu berbasis pada pengamatan intens mereka terhadap subyek-subyek yang mereka geluti selama ini. Mereka juga sama-sama menentang korupsi dan punya komitmen yang kuat untuk membela masyarakat yang tertindas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sigit Riyanto, misalnya, dikenal sebagai dosen yang konsisten dalam menegakkan kehormatan akademik dan integritas keilmuan, khususnya bagi ahli hukum di kampusnya di Bulaksumur, Yogyakarta. Lelaki yang lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, 15 Februari 1964, itu berpandangan bahwa syarat penting sebagai seorang ilmuwan adalah punya ilmu yang cukup dan pemihakan yang besar. Ilmuwan yang pernah menjadi penasihat hukum Komite Palang Merah Internasional (ICRC) dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) itu selalu bersedia untuk ikut serta dalam agenda perubahan masyarakat sipil, seperti penegakan hukum dan kampanye antikorupsi. Ia sering turun bersama mahasiswa dalam setiap pernyataan sikap ataupun demonstrasi.
Sigit Riyanto. Dokumentasi Keluarga
Prinsip-prinsipnya diuji terutama ketika ia menjabat Dekan Fakultas Hukum UGM periode 2016-2021. Sigit, misalnya, menolak obral gelar akademik ketika banyak pejabat kampus tergiur memberikan gelar kepada orang-orang yang berasal dari lingkaran kekuasaan dengan berbagai iming-imingnya. Suatu kali ada seorang tokoh yang dekat dengan Istana Negara melobi Sigit untuk mendapatkan gelar profesor kehormatan, tapi Sigit menampiknya. “Yo, enggak pantes, lah. Wong kita ini lembaga akademik, kok malah ngasih ke orang yang bukan orang akademik? Itu merendahkan muruah kampus?” kata Herlambang Perdana Wiratraman, dosen hukum tata negara di Fakultas Hukum UGM, menirukan ucapan Sigit saat itu pada Jumat, 13 Desember 2024.
Sigit juga menunjukkan komitmen yang kuat dalam upaya pemberantasan korupsi. Dialah orang pertama yang mulai menertibkan gejala ilmuwan UGM menjadi saksi ahli dalam sidang kasus korupsi. Peraih master hukum dari University of Nottingham, Inggris, itu mendorong para pengajar untuk bersikap saat memberikan pembelaan, termasuk menolak membela koruptor.
Herlambang menuturkan, Sigit pernah menolak hadir dalam diskusi kelompok terarah bertajuk “Expert Talk: Pengalaman Dosen sebagai Saksi Ahli Kasus Korupsi” yang diselenggarakan Fakultas Hukum UGM pada 15 Maret 2024. Diskusi tersebut tampaknya sebagai upaya melawan kebijakan Sigit yang melarang ahli hukum di fakultasnya membela koruptor. Dalam suratnya kepada panitia, Sigit dengan tegas menolak akademikus yang menerima bayaran dari para koruptor. Menurut dia, kehadiran akademikus sebagai ahli yang mendistraksi proses peradilan akan melemahkan agenda pemberantasan korupsi dan justru mempertontonkan transaksi kepentingan, manipulasi kebenaran, pengkhianatan terhadap integritas, dan bahkan mempertontonkan kemunafikan dalam proses peradilan.
Komitmen Sigit terhadap antikorupsi juga ditunjukkan dengan menolak pemberian hadiah atau gratifikasi. Menurut Srihadi Asmaraningsih, istri Sigit, suaminya pernah menolak uang tunai hingga jam tangan mewah dari koleganya.
Sebaliknya, Sigit justru mendorong para dosen membantu warga sipil yang mengalami kriminalisasi dalam kasus korupsi. Ia memberikan opsi bagi para dosen untuk memberikan bantuan dalam bentuk lain, misalnya melalui amicus curiae atau pendapat hukum untuk pengadilan.
Menurut Herlambang, integritas yang dibangun Sigit tak terbatas di ranah teori, tapi juga dalam praktik. Sigit selalu berusaha berjarak dengan kekuasaan, misalnya dengan menolak tawaran jabatan dari penguasa. “Kalau integritas sekadar tidak melakukan korupsi atau tidak disuap, itu gampang. Tapi, kalau tidak tergoda kekuasaan, itu jarang,” ujar Herlambang.
Faisal Basri di Gedung Tempo Media Jakarta, 4 Maret 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Sigit menunjukkan pemihakan penuh mahasiswanya yang mendapat ancaman ketika hendak menggelar diskusi tentang pemakzulan presiden di tengah masa pandemi Covid-19. Isu ini bermula dari keputusan Presiden Joko Widodo menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan pada 6 Mei 2020 yang dinilai sejumlah ahli hukum menyalahi aturan pembentukan peraturan dan bertentangan dengan konstitusi. Keputusan itu menimbulkan pertanyaan apakah dalam hal ini Presiden bisa dianggap melakukan “perbuatan tercela” sehingga dapat dimakzulkan. Topik itulah yang hendak didiskusikan organisasi mahasiswa Constitutional Law Society (CLS) UGM pada akhir Mei tahun itu.
Diskusi belum sempat digelar, tapi mahasiswa CLS sudah mendapat berbagai ancaman, dari didatangi orang tak dikenal hingga ancaman pembunuhan terhadap keluarga mereka. Akun media sosial CLS juga diretas dan peretas mengeluarkan semua peserta yang telah masuk grup diskusi.
Di tengah situasi kritis itu, Sigit turun tangan. “Dari memfasilitasi rumah aman, menjaga kami dari komunikasi pihak yang mengaku kepolisian, hingga media yang berusaha mengekspos kami secara berlebihan,” ucap Aditya Halimawan, Presiden CLS UGM saat itu, pada Sabtu, 14 Desember 2024.
Sigit juga mengirimkan kepala kantor, sopir, dan petugas keamanan untuk mengantar-jemput mahasiswanya yang terancam itu. Saat teror dan kriminalisasi terhadap CLS terjadi, kata Adit, Sigit justru memilih pasang badan melindungi para mahasiswanya.
Srihadi Asmaraningsih menyebutkan, selama melindungi mahasiswa, suaminya kerap menerima teror melalui sambungan telepon. Bahkan kediaman Sigit di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dipantau orang tak dikenal. Namun, menurut Srihadi, Sigit hanya menganggap teror itu seperti angin lalu.
Universitas, bagi Sigit, adalah benteng akal sehat dan keberadaban. “Jika otoritas perguruan tinggi berpihak pada kepentingan pragmatis dan keuntungan individu atau kelompok, benteng itu telah keropos, akal sehat dan kebenaran tergadaikan,” tulisnya dalam kolomnya yang diterbitkan Kompas pada 16 Januari 2024.
Menurut Srihadi, Sigit selalu memperhatikan mahasiswanya. Bahkan ketika sakit dan dirawat di rumah pun dia tetap menguji skripsi mahasiswa bimbingannya secara daring. “Kasihan anak ini kalau harus menunda wisuda. Kasihan dia kalau membayar uang kuliah tunggal lagi,” tutur Srihadi menirukan ucapan Sigit saat menolak mengatur ulang jadwal ujian skripsi.
Seusai ujian skripsi itu, Sigit langsung dilarikan ke Rumah Sakit Akademik UGM. Beberapa jam kemudian, ia mengembuskan napas terakhir.
•••
FAISAL Basri juga berada di barisan intelektual yang berusaha mempertahankan akal sehat dan keadaban di ranah akademik. Dia tak lelah memberikan pandangan yang kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah sejak zaman Orde Baru hingga era Presiden Joko Widodo. Ekonom yang lahir di Bandung, 6 November 1959, itu turut mendirikan Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, lembaga riset ekonomi yang masih berpengaruh hingga kini.
Di masa kekuasaan Presiden Soeharto, yang dilumuri korupsi, kolusi, dan nepotisme, tak banyak orang yang berani mengkritik Soeharto secara terbuka. Faisal adalah yang sedikit itu. Dalam berbagai diskusi di kampus, dia dengan lugas menyampaikan kritiknya.
Sikap kritis dan keberanian Faisal Basri, menurut Ramdan Malik, adik Faisal, terbentuk dari latar belakang keluarga. Kakeknya, Arief Siddiq Nasution, adalah tokoh Partai Indonesia atau Partindo di Pekalongan, Jawa Tengah, yang merupakan guru politik pertama Adam Malik, yang nantinya menjadi wakil presiden.
Faisal Basri berorasi saat aksi menuntut pengungkapan kasus Munir di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa, 21 Juni 2005. Dok. Tempo/Arie Basuki
Kepedulian Faisal terhadap orang kecil mungkin muncul karena dia dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Ayahnya, Hasan Basri Batubara, hanya pegawai swasta kecil yang tidak meninggalkan uang pensiun sesudah ia meninggal. Hanya ada petromaks di rumahnya karena sang ayah tak mampu membayar iuran Perusahaan Listrik Negara. Setelah ayahnya wafat pada 1981, Faisal, yang baru berusia 22 tahun, selaku anak sulung mengambil peran sentral di keluarganya. “Saya lebih memandang dia bukan sebagai abang, melainkan pengganti ayah,” kata Ramdan pada Jumat, 13 Desember 2024.
Meski bukan dari keluarga berada, orang tua mereka ingin anak-anaknya mendapat pendidikan yang baik. Faisal memilih Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, meskipun dia juga lolos ujian seleksi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Padahal, menurut Ramdan, ibunya menghendaki Faisal masuk STAN saja karena ada ikatan dinas dari Departemen Keuangan.
Ramdan menuturkan, pendekatan ekonomi politik yang ditawarkan Universitas Indonesia saat itu rupanya lebih memikat Faisal. Dua dosen kampus itu, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan Iwan Jaya Azis, disebut Faisal sebagai orang yang banyak mempengaruhinya dalam memahami kompleksitas perekonomian Indonesia. Tamat dari kampus itu, Faisal melanjutkan pendidikan di Vanderbilt University, Amerika Serikat. Ia akhirnya berkarier menjadi dosen di almamaternya selepas meraih gelar master.
Faisal juga terjun ke dunia politik dengan turut mendirikan Majelis Amanah Rakyat, cikal bakal Partai Amanat Nasional, pada 1998. Dia bahkan pernah menjadi Sekretaris Jenderal PAN hingga mundur pada 2001 karena PAN berubah, dari partai plural menjadi berasaskan iman dan takwa. Apalagi PAN, dalam koalisi Poros Tengah, termasuk yang menggadang-gadang Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai calon presiden, tapi kemudian malah turut menjatuhkannya.
Dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012, Faisal maju menjadi calon gubernur jalur independen dengan menggandeng Biem Benyamin, putra seniman Betawi serba bisa Benyamin Sueb, sebagai calon wakil gubernur. Mereka kalah oleh pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama.
Ketika Faisal menjadi Ketua Komite Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi pada 2014, timnya membongkar praktik mafia di bisnis minyak yang melibatkan PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral), anak usaha Pertamina. Petral diduga mempermainkan harga hingga merugikan negara sekitar Rp 250 triliun. Pemerintah akhirnya membubarkan Petral pada 2015.
Godaan selalu ada. Faisal pernah ditawari aneka jabatan untuk menjinakannya. Ramdan Malik mengatakan siapa pun presidennya selalu ingin menggaet Bang Ical—sapaannya kepada Faisal—masuk pemerintahan. “Tapi Bang Ical tidak pernah mau, bahkan menjadi komisaris sekalipun,” ujarnya pada Jumat, 13 Desember 2024.
Faisal, misalnya, pernah menolak tawaran jabatan di sebuah badan usaha milik negara. Penolakan itu terjadi, kata Ramdan, karena Faisal ingin merdeka dalam bersikap. “Kalau gua sampai jadi komisaris di sebuah perusahaan, entah itu BUMN, entah itu swasta, gua enggak bisa memprotes, mengkritik,” tutur Ramdan menirukan ucapan abangnya.
Kepedulian Faisal terhadap masalah masyarakat juga mendorongnya datang ke Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, pada 28 Agustus 2024. Dia memenuhi undangan masyarakat di sana yang akan menggelar pertemuan dengan para petani yang menolak tambang seng PT Dairi Prima Mineral karena membuka kawasan hutan lindung dan mencemari lingkungan sehingga mengancam keselamatan penduduk. Dia datang untuk mendukung perjuangan petani itu. Sepulang dari Dairi, kesehatan Faisal merosot dan beberapa hari kemudian sang ekonom menjemput ajalnya.
•••
DI ranah kehutanan, ada Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University. Lelaki yang lahir di Jombang, Jawa Timur, 24 April 1958, ini satu dari sedikit ilmuwan yang kritis terhadap kebijakan kehutanan. Dia, misalnya, mengkritik keras para pebisnis yang menguasai sektor kehutanan. Dia menggunakan istilah “komunitas kebijakan” untuk menggambarkan lingkaran oligarki itu.
Hariadi juga mengkritik lingkaran korupsi di sektor kehutanan dan lingkungan hidup. Dia menggunakan istilah “state capture corruption”, kekuatan dalam pengambilan kebijakan yang mengkooptasi kebijakan tersebut untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Menurut dia, kekuatan itu telah menyandera negara dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Jenis korupsi ini, tulisnya, adalah korupsi yang paling berbahaya karena membentuk struktur yang kuat dan sulit diatasi.
Hariadi menempuh kuliah tingkat sarjana hingga doktoral di Institut Pertanian Bogor. Di kalangan aktivis lingkungan, Hariadi dijuluki “Bapak Tata Kelola” karena pandangannya yang menggariskan bahwa semua masalah lingkungan terjadi akibat tata kelola kehutanan dan sumber daya alam yang buruk, yang pada akhirnya memicu berbagai masalah lain.
Hariadi Kartodihardjo. Dokumentasi Keluarga
Eko Cahyono, peneliti Sajogyo Institute dan mahasiswa doktoral IPB University yang dulu dibimbing Hariadi, menyebut Hariadi sebagai seorang akademikus sekaligus aktivis. Hariadi, kata dia, selalu mengingatkan bahwa dunia kampus tak boleh melupakan masalah nyata di masyarakat dengan terlibat langsung memberikan solusi bagi masyarakat.
Hariadi membuktikan itu antara lain saat mengkaji ekosistem Taman Nasional Tesso Nilo di Provinsi Riau. Selama 2017-2019, dia bolak-balik ke Riau untuk menemui para pihak yang berkonflik. Konflik dipicu oleh masyarakat setempat dan pemodal yang menanam sawit di kawasan hutan dan lahan bekas perusahaan perkebunan. Menurut Eko, masalah di Riau makin rumit karena di antara organisasi masyarakat sipil (CSO) yang terlibat pun berbeda pandangan mengenai penyelesaiannya. “Masalahnya apa dulu. Jangan ego, ideologi, dan lain-lain,” ujar Eko menirukan komentar Hariadi.
Setelah berdialog dengan masyarakat, Hariadi memahami bahwa mereka sebenarnya hanya meminta akses terhadap lahan, bukan reforma agraria. Dia, kata Eko, kemudian bekerja sama dengan CSO untuk membentuk hub yang mempertemukan pemerintah, masyarakat, dengan CSO. Upaya ini berjalan karena adanya kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikan akumulasi puluhan tahun masalah di sana. “Penyelesaian konflik itu, menurut Pak Hariadi, benar-benar harus dari bawah,” tutur Eko pada Rabu, 25 Desember 2024. Siapa pun yang terlibat harus mendengarkan dulu keinginan masyarakat sebelum bertindak.
Hariadi juga peduli pada masalah korupsi. Dia, menurut Eko, orang pertama yang memperkenalkan isu korupsi kehutanan di IPB pada 2020. Kampus lalu membentuk tim khusus korupsi pertanian, yang kegiatannya antara lain melakukan kajian dan menggelar festival.
Menurut Eko, semangat antikorupsi Hariadi juga tampak saat dia membela seorang dosen Universitas Tadulako, Palu, yang di-nonjob-kan karena mengkritik dugaan korupsi rektornya. Hariadi mengangkat kasus ini melalui tulisan di media massa dan diskusi. “Itu caranya membela kebebasan berekspresi di kampus,” ucap Eko. Belakangan, rektor itu terbukti melakukan korupsi dan kemudian dipenjara.
Sebelum tutup usia, Hariadi menyulap teras rumahnya di Kompleks Cifor, Bogor, menjadi kedai kopi sejak masa pandemi Covid-19. Ia bermimpi kedai itu akan menjadi wadah anak muda berkumpul dan berdiskusi. Kedai bernama Hopes Kopi itu kini telah menjadi tempat anak muda, terutama mahasiswa IPB, bertukar pikiran. Banyak hal yang dibahas dalam acara-acara diskusi rutin di sana, dari masalah politik hingga lingkungan. “Bapak berharap, di Hopes Kopi, seseorang atau teman-teman yang ingin sekali mengobrol soal sumber daya alam bisa datang bertemu dengan siapa pun,” kata Reza Widyananto, putra sulung Hariadi, pada Selasa, 17 Desember 2024.
Hariadi Kartodihardjo, Sigit Riyanto, dan Faisal Basri adalah tiga dari sedikit akademikus yang memilih jalan tak mudah. Upaya mereka menegakkan integritas akademikus, dengan tetap kritis, menentang korupsi, dan berpihak kepada masyarakat, seakan-akan melawan arus ketika banyak akademikus dan pejabat universitas justru menghalalkan plagiarisme dan jurnal predator serta mengobral gelar akademik untuk pejabat. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo