Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Demokrasi Indonesia mati dalam sistem demokratis pemilihan langsung.
Demokrasi mati karena penguasa memakai hukum dan instrumen negara cawe-cawe dalam politik.
Gerakan masyarakat sipil perlu menyadarkan publik bahwa demokrasi di ambang kematian jika supremasi hukum buyar.
TAHUN 2024 layak dikenang sebagai tahun kematian demokrasi. Demokrasi mati justru di tangan presiden yang terpilih melalui instrumen demokrasi. Kematian demokrasi dimulai dengan kepemimpinan presiden otoriter populis. Ia mempertahankan demokrasi tak lebih sebagai jubah—the veneer of democracy—bagi keberlangsungan populisme otoritarian yang destruktif. Ia melegitimasi gaya pemerintahannya yang populis sambil berperilaku otoriter untuk membunuh norma demokrasi yang tak tertulis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demokrasi mati pada 2024 karena ia tidak diperkuat oleh tradisi kepatuhan pada dua norma yang tak tertulis: saling menoleransi dan kesabaran institusional—mutual toleration and institutional forbearance—sesuai dengan tesis dua profesor University of Harvard, Amerika Serikat, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dalam How Democracies Die (2018).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Norma toleransi dalam kompetisi politik yang setara dirusak sedemikian parah melalui perilaku presiden populis otoriter yang menebar diskriminasi, intimidasi, bahkan teror di ruang-ruang gelap kekuasaan untuk melumpuhkan kekuatan politik pesaingnya. Norma kesabaran institusional—sebagai keharusan menahan diri dari berbagai godaan intervensi kelembagaan—ditelikung melalui politik cawe-cawe presiden pada aparatur negara dan pelbagai institusi resmi untuk kepentingan politik partisan.
Ketidakpatuhan pada norma toleransi dan kesabaran institusional itu mengakibatkan kematian demokrasi. Ia hanya dipakai sebagai tampilan prosedural bagi banalitas populisme otoritarian.
Ketidakpatuhan terhadap hukum juga berkontribusi pada kematian demokrasi pada 2024. Ketidakpatuhan dimulai dari atas dan diorkestrasi secara terpimpin ke banyak aparatur negara yang tidak netral dalam pelaksanaan Pemilihan Umum 2024 dan berlanjut pada pemilihan kepala daerah 2024. Namun ketidakpatuhan itu tidak mengakibatkan risiko apa pun karena sanksi pidana bagi setiap pejabat negara, pejabat daerah, aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia-Kepolisian RI, dan kepala desa yang melanggar hukum tidak ditegakkan dengan seadil-adilnya.
Bank Dunia dalam laporannya pada 2006 menyebutkan bahwa kepatuhan pada hukum menjadi aset tak terwujud (intangible) yang 44 persen menentukan kualitas kemakmuran suatu bangsa. Indonesia terpuruk akibat kematian demokrasi yang antara lain disebabkan oleh ketidakpatuhan pada aturan dan hukum. Hukum dieksploitasi sebagai senjata politik untuk melawan para pesaing dalam arena politik.
Apa yang ditekankan Gideon Rachman dalam The Age of the Strongman (2022) terbukti pada tragedi hukum kita. “Bagi seorang pemimpin yang kuat, hukum bukanlah sesuatu yang harus dipatuhi: hukum adalah senjata politik yang digunakan untuk melawan para pesaingnya. Lavrenti Beria, kepala polisi rahasia Joseph Stalin, mengatakannya dengan tepat: ‘Tunjukkan kepadaku orangnya dan aku akan menemukan kejahatannya.’ Memenjarakan lawan politik adalah praktik umum dalam negara otoriter.”
Tahun 2024 adalah tahun pembunuhan demokrasi melalui eksploitasi hukum sebagai senjata politik. “The law is weaponized,” ujar Levitsky dan Ziblatt dalam Tyranny of the Minority (2023). Mereka menekankan penggunaan hukum sebagai senjata politik yang efektif menekan para pesaing.
Thomas Power (2020) mencermati tren persenjataan penegakan hukum oleh eksekutif—the executive weaponisation of law enforcement—telah mencapai tingkat seburuk otoritarianisme Orde Baru. Penegakan hukum pun dilakukan secara selektif dan tebang pilih (selective enforcement), dipilih dan dipilah antara kawan dan lawan politik. “For my friends, everything. For my enemies, the law,” tutur diktator Peru, Óscar Benavides (1933-1939), hampir seratus tahun lalu. Perkataannya makin relevan dalam konteks penegakan hukum secara selektif pada 2024.
“Sejarah memang tidak berulang,” kata Timothy Snyder dalam On Tyranny (2017), “Tapi memberi pelajaran.” Peristiwa 1930-an di Eropa memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa demokrasi bisa mati di tangan presiden yang terpilih secara demokratis dan akhirnya menyerah pada fasisme, nazisme, atau komunisme. Hampir tak terbayang dalam imajinasi bangsa Indonesia bahwa demokrasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata rakyat akhirnya mati di tangan presiden yang terpilih secara populer atas nama rakyat, lalu berkuasa sebagai tiran populis. Demokrasi pun menyerah pada keberlangsungan populisme otoritarian yang banal.
Bersembunyi di balik jubah demokrasi, kembalinya otoritarianisme mungkin terjadi melalui aliansi politik yang kotor (unholy alliance) antara presiden otoriter populis dan berbagai mitra yang diperlukan bagi kematian demokrasi. Dalam Tyranny of the Minority, Levitsky dan Ziblatt mengajukan tesis banalitas otoritarianisme yang tecermin pada “banyak politikus yang memimpin kematian demokrasi dengan mengejar karier ambisius agar tetap menjabat atau mungkin memenangkan jabatan yang lebih tinggi. Para politikus ini sering mengatakan bahwa mereka hanya melakukan hal yang diperlukan untuk maju. Namun pada akhirnya mereka menjadi mitra yang diperlukan dalam kematian demokrasi.”
Demokrasi mati pada 2024 di tangan presiden otoriter populis yang beraliansi secara terbuka, dan diam-diam, dengan berbagai mitra politik dan oligarkinya. Sikap dan perilaku elite politik yang otoriter sejalan dengan toleransi masyarakat luas terhadap banalitas otoritarianisme. Dalam artikel “Jokowi Widodo’s Willing Allies: Elites, Masses, and Indonesia’s Democratic Regression” (2024), Saiful Mujani dan R. William Liddle menguraikan penjelasan mengenai pemilu sebagai mekanisme elektoral yang membuka ruang terjadinya dukungan publik pada banalitas otoritarianisme. “This support for an authoritarian regime correlates very significantly with voting for Prabowo. In sum: voting for Prabowo was conditioned by worsening democratic backsliding due to a combination of undemocratic elite behavior and public tolerance of authoritarianism.”
Akhirnya, kita menutup 2024 dengan tragedi kematian demokrasi. Demokrasi dan berbagai institusinya tetap dipertahankan sebagai jubah untuk merawat persepsi umum bahwa kita masih hidup di alam demokrasi pasca-Reformasi 1998. Padahal sesungguhnya kita telah kembali ke fase otoritarianisme yang banal. Kita berada di persimpangan jalan: Indonesia akan kembali menjadi demokrasi atau sebaliknya. Apa pun yang terjadi ke depan, kita harus mempersiapkan diri menapaki tahun-tahun kehidupan yang membahayakan bagi keselamatan negara dan kesejahteraan rakyat. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo