Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

K.H. Hasyim Muzadi

1 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM lagi azan lohor berkumandang, seorang lelaki bertubuh tegap keluar dari ruangan yang berperabot cukup mewah dan berpenyejuk udara. Bersarung kotak merah-biru dan berkaus singlet putih, langkahnya tak canggung sekalipun hari itu banyak tamu yang menunggunya. Sigap dan ramah menyapa, ia lalu masuk ke kamar mandi. "Saya mau wudu dulu," ujarnya.

Siapa sangka lelaki berkaus singlet itu ternyata K.H. Hasyim Muzadi, Ketua Tanfidziyah PB Nahdlatul Ulama, figur yang dalam pekan-pekan ini terus diburu beritanya oleh media massa sebagai kandidat calon presiden.

Sejak pekan lalu, namanya memang makin menjadi incaran nyamuk pers, terutama setelah para kiai dan ulama NU menggelar silaturahmi dengan Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Hotel Sahid Jakarta. Maklum, di tengah suasana Musyawarah Kerja Nasional PKB, para kiai dan ulama NU malah "mendesakkan" nama Hasyim Muzadi untuk dicalonkan sebagai kandidat presiden dari PKB, partai anak kandung Nahdlatul Ulama.

"Saya manut apa kata NU saja. Saya tidak mungkin lari-lari sendirian, apalagi meninggalkan NU," ujar pendiri Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, itu.

Bagi Hasyim Muzadi, tugas utamanya kini adalah menyelamatkan NU setelah lengsernya K.H. Abdurrahman Wahid dari kursi presiden. Ini sebuah kenyataan yang diakuinya hampir saja menyeret organisasi jamiyah itu ke arah konfrontasi politik lantaran perlawanan dari nahdliyin untuk mempertahankan Abdurrahman.

"Setelah Gus Dur lengser, kewajiban saya mengembalikan NU right on the track. Jangan sampai NU menjadi musuh bangsa. Kini NU dalam posisi baik dengan semua orang. Makanya, ketika ada wacana presiden, NU dibawa-bawa," katanya sembari tersenyum.

Mengapa ia seperti kurang serius menanggapi pencalonan dirinya? Apakah restu dari kiai khos tetap diperlukan dalam sistem pemilihan presiden langsung 2004 bagi dirinya? Mungkinkah ia maju sebagai "calon presiden kembar" bersama Abdurrahman Wahid? Mengapa ia tak pernah bersuara keras terhadap pemerintah Megawati?

Di tengah dering telepon selulernya yang datang berulang dan hilir-mudik tamunya, Rabu pekan lalu, pria kelahiran Tuban, 8 Agustus 1944, ini menerima wartawan TEMPO Adi Prasetya untuk sebuah wawancara khusus. Hasyim mengenakan sarung dan baju koko merah marun. Saat wawancara berlangsung di ruang kerjanya di lantai tiga Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, sejumlah pengurus mendengarkan dengan takzim. Petikannya:


Nama Anda banyak disebut media sebagai kandidat calon presiden. Tanggapan Anda?

Saya kira, nama calon presiden yang muncul baru tokoh-tokoh yang ingin dan mau dicalonkan. Jadi, belum ada tokoh yang siap melakukan recovery, perbaikan Indonesia. Kenapa? Pertama, gejalanya, setiap partai ingin ketuanya menjadi presiden, tidak peduli partainya itu besar atau kecil. Ini memang konsekuensi sistem multipartai. Kedua, pengajuan kesiapan itu tidak didahului konsep yang teruji. Teruji di sini bukan hanya secara akademis, tapi juga langsung di tengah (dan dipahami) rakyat. Ketiga, indikasinya, orang-orang yang ingin menjadi presiden itu lebih senang menaikkan citra dirinya sembari menurunkan citra orang lain ketimbang menawarkan konsep nyata. Mestinya jangan begitu, dong. Kalau mau maju, harus ada tim kepresidenan yang mampu mendesain bagaimana memperbaiki negara. Kalau orang ingin jadi persiden, mesti secara bertanggung jawab.

Bagaimana kesiapan Anda sendiri?

Sampai hari ini, belum ada satu pun ucapan saya yang menyatakan kesanggupan saya menjadi presiden. Yang beredar di luar itu kan baru wacana, belum dirembuk dengan saya. Silakan Anda catat. Menurut saya, sesuatu yang belum final tak perlu ditanggapi.

Tapi bersediakah Anda?

Ndak bisa begitu. Kesiapan itu hanya mungkin kalau partai secara serius dan final mengajukan saya sebagai calon. Nah, setelah itu, baru dibicarakan di rapat PBNU, karena status saya kan Ketua PBNU. Di PBNU-lah semuanya harus diputuskan, boleh atau tidak. Kalau NU bilang jangan, ya, saya manut.

Indikasinya ke arah mana?

Saya ke sini kan untuk memimpin NU, bukan menjadi pejabat negara. Nanti orang bertanya, bagaimana itu Pak Kiai, katanya mau memimpin NU, kok tahu-tahu jadi pejabat. Bagaimana itu? Kan, itu sama saja orang disuruh mengaji tapi malah melihat bioskop. Enggak bisa dong seenaknya begitu. Jadi, tidak ada yang bisa saya komentari karena memang belum ada yang saya laporkan ke PBNU. Semuanya masih wacana.

Anda kan pernah dilamar para pemimpin Golkar di Jawa Timur. Kabarnya, Anda bersedia?

Pokoknya, semuanya saja, entah itu (dari) Golkar, PDIP, PAN, PPP, ataupun berita-berita di PKB sendiri, tidak satu pun atas permintaan saya dan tidak satu pun bisa saya tanggapi. Biarlah NU yang memutuskan. Saya ingin menegakkan etika leadership.

Bukankah para kiai khos dan alim ulama sudah berkali-kali bermusyawarah dan merestui Anda?

La iya, itu baru proses, kan? Belum final. Finalnya harus dalam keputusan partai, (lalu) baru NU yang nanti memutuskan. Kok, ada partai yang mencalonkan orang NU, bagaimana ini?

Melihat pengalaman, naiknya Abdurrahman Wahid kan justru diawali restu kiai sepuh?

Memang, kalau mau maju, sebaiknya dengan restu para kiai sepuh. Tapi restu kiai sepuh kan belum selesai. Dan lagi, di zaman Gus Dur kan enggak ada calon-calonan dari partai. Dulu Gus Dur jadi presiden kan karena hasil perundingan orang-orang MPR, lalu mayoritas setuju dan jadilah presiden. Sekarang kan mekanismenya berubah. Presiden dipilih langsung dan koridornya harus diusulkan oleh partai. Restu kiai sepuh penting, tapi (pencalonan) partai juga penting.

Kalau banyak partai mencalonkan Anda, partai mana yang menurut Anda paling srek?

Itu nanti yang menilainya biar NU saja. Biar tanggung jawabnya dipikul bersama karena sudah dipikirkan oleh satu gerbong besar bernama NU. Kalau saya yang menilai, kan, subyektif.

Melihat psikologisnya, Anda akan memilih PKB?

Ya, yang lebih dekat itu. Tapi apakah ada keputusan dari PKB ke arah itu, kan, tidak bisa dikatakan hari ini. Jadi, apa yang beredar baru usulan orang, belum usulan partai.

Bagaimana dengan pernyataan para kiai bahwa kalau Anda maju mesti lewat pintu PKB dan meninggalkan NU?

Saya kira itu undang-undangnya PKB saja. Ha-ha-ha…. Jadi, bukan undang-undang Indonesia. Enggak ada ketentuan, kalau orang NU mau jadi presiden, harus melalui PKB. Ya, tingkatnya itu sebatas harapan. Maunya, dengan cara begitu kan dihitung lebih bermanfaat, lebih gampang mengkonsolidasikannya karena NU dan PKB memang dekat. Tapi aturan formal begitu kan enggak ada.

Anda merasa dikunci dengan pernyataan itu?

Enggak juga. Wong, kuncinya banyak. Ha-ha-ha….

Utusan PDIP katanya sudah menemui Kiai Abdullah Faqih dari Langitan untuk meminta izin mempersandingkan Anda dengan Megawati pada Pemilu 2004?

Ha-ha-ha…. Ya, karena datangnya enggak ke saya, ya sampean tanya saja ke Kiai Abdullah. Ha-ha-ha….

Kebenaran kabar itu bagaimana?

Saya belum diberi tahu apa-apa oleh Pak Kiai Abdullah.

Bukankah karena itu Forum Kiai Langitan bermusyawarah?

Setahu saya, para kiai itu belum membicarakan nama secara eksplisit, tapi baru menyebut kriteria yang sudah dimuat media. Pembicaraannya pun tampaknya belum final. Saya ikut dalam pertemuan itu sekali. Dan para kiai belum eksplisit menyebut nama saya, sekalipun implisit mungkin ada.

Pemilu 2004 Anda sebut sangat strategis. Bagaimana sebaiknya umat Islam, khususnya warga NU, menyikapinya?

NU mendorong agar Pemilu 2004 selamat. Sebab, kalau tidak, kita terpaksa menempuh alternatif lebih buruk, misalnya pergantian kekuasaan di luar pemilu. Itu kan preseden buruk. Karena itu, NU melihat, Pemilu 2004 harus selamat dan didorong agar prosesnya melahirkan orang yang strong dan clean. Yang lain-lain bisa menyusul. Sebab, kalau tidak, akan berat bebannya.

Secara historis, NU lekat dengan PKB dan kesan politiknya kental. Bagaimana sebenarnya positioning NU?

NU kan gerakan dakwah multidimensional, pendidikan, sosial, dan amar ma'ruf nahi munkar. Jadi, bukan gerakan kekuasaan. Kadang-kadang, karena NU representasi dari sekian umat, suka dicomotin orang satu per satu. Tapi, institusional, NU itu gerakan dakwah dalam arti komprehensif…, dalam arti pengembangan Islam menuju civil society, bukan menuju nation state. NU tidak memfokuskan dirinya menuju presiden, melainkan bergerak bagaimana Pemilu 2004 bisa menampilkan presiden yang menyelamatkan Indonesia.

Justru sifat jamiyah itulah yang mengundang banyak partai menjadikan NU sebagai pendulang suara.

Itu sangat disadari karena, sekalipun tidak berpolitik, NU akan menjadi sasaran politik. Jadi, sekalipun tidak jadi fail politik, dia akan jadi masul politik. Karena jumlah umatnya demikian besar, jadi incaran. Tak mudah menjaganya.

Dengan puluhan juta anggota, kenapa NU tidak menjadi partai saja?

NU tak boleh jadi partai. Kalau NU jadi partai, wilayahnya akan menyempit karena hanya mengurusi bidang kekuasaan. Pendidikan, budaya, agama, dan keilmuan menjadi mati. Paradigma politik dan jamiyah itu berbeda. Satu-satunya urusannya kekuasaan, dan berurusan dengan power-power lain. Kalau ketimpa tiga sifat itu, NU menjadi eksklusif. Nanti enggak akan ada orang PDIP yang mau mendengar ngaji-nya NU. NU jadi tersekat-sekat. Karena itu, harus ada pemisahan.

Sekalipun tidak menjadi partai, NU terkesan seperti lembaga politik, apalagi membidani lahirnya PKB.

Tanpa PKB pun, kesan itu tak bisa dihindarkan, karena Golkar, PAN, dan PPP akan masuk. Anda pun kalau bikin partai akan datang ke NU duluan. Orang NU ada di mana-mana. PBNU berusaha supaya alienasi tetap jalan supaya penyaluran tidak tumpang-tindih.

Bagaimana Anda bisa berseberangan dengan Abdurrahman Wahid pasca-pelengserannya?

Enggak begitu persisnya. Yang terjadi, baru empat bulan saya memimpin NU, masyarakat di bawah guncang karena Gus Dur diserang. Situasi menjadi sulit karena masyarakat di bawah menganggap kita kurang keras, apalagi waktu itu sampai ada pasukan berani mati sekalipun enggak mati-mati. Ha-ha-ha…. Kalau ditekan sama sekali, mereka melawan, jadi mesti diakomodasi. Tapi kita harus punya batas. Kalau sudah anarki, tentu tidak boleh dibiarkan, karena akan menyangkut nama NU sepanjang sejarah. Mungkin dengan situasi begitu, saya dianggap kurang all-out menyokong Gus Dur. Tapi itu tidak benar. Problem beliau itu tidak pada rakyat, tapi pada elite politik yang tidak cukup di-back-up dengan demo. Kini, setelah Gus Dur lengser, kewajiban saya mengembalikan NU on the right track. NU harus diselamatkan dan tidak boleh menjadi musuh bersama bangsa. Ketika ada wacana presiden nyangking-nyangking NU kan wajar.

Sebenarnya seburuk apa hubungan Anda dengan Abdurrahman Wahid?

Kalau buruk sebetulnya enggak. Posisi kita saja yang berbeda. Gus Dur kan orang partai, yang harus bergerak pada paradigma partai. Isinya manuver, sementara NU enggak boleh begitu. Kita ini organisasi jamiyah yang harus konsisten menegakkan akhlakul karimah. Penampilan beda ini yang tidak bisa dicerna banyak orang, lalu ditafsirkan (kami) berseberangan.

Dalam pencalonan presiden, misalnya, ada kesan persaingan kembar sesama orang NU?

Saya kira ndak usah dibilang kembar. Itu kan bahasa Anda, wartawan, supaya kelihatan gawat. Saya kira dibilang serep saja. Ha-ha-ha….

Yang serep yang mana?

Ya, kayak matahari dan bulan saja. Artinya, orang-orang NU ingin PKB dipegang Gus Dur atau orang lain, komitmennya kepada NU tetap jalan. Karena itulah NU kan tidak dalam kapasitas mengajukan calon.

Menurut Anda, seberapa besar kans Abdurrahman Wahid "naik" kembali?

Namanya orang, kalau habis dijatuhkan, kebenciannya kan tinggi, terutama kepada yang menjatuhkan. Dan yang menjatuhkan kan semua partai, sehingga mendorong eksklusivisme dengan kemampuan overconfident-nya untuk melawan. NU tidak boleh mengikuti arus seperti itu.

Menurut Anda, sebaiknya Abdurrahman Wahid tak usah maju?

Lo, boleh saja. Itu haknya, tak ada keberatan apa pun dari NU. Apalagi beliau pemimpin partai. Kan, lagi musimnya setiap ketua partai dicalonkan.

Agak melebar, bagaimana Anda melihat Indonesia setelah lima tahun reformasi?

Reformasi tak terelakkan di Indonesia. Kalaupun tak terjadi pada 1998, pasti akan terjadi tahun-tahun berikutnya. Tidak mungkin sistem monoloyalistik seperti ditampilkan Orde Baru dipertahankan selamanya untuk Indonesia yang plural. Ada waktu bertahan dan ada batas akhirnya. Sayangnya, pergeseran dari trio pemegang power, yakni TNI, birokrasi, dan Golkar, ke masyarakat sipil multipartai ternyata disertai ketidaksiapan para tokoh dan sistemnya untuk menerima estafet itu.

Apa indikasinya?

Pertama, baru beberapa bulan, kepemimpinan reformasi sudah pecah dan bertengkar. Gus Dur, Amien Rais, Akbar Tandjung, Megawati, dan juga para reformis lain di luar partai saling sikut. Kedua, tak ada sistem dan visi yang disepakati bersama, sementara kita sudah telanjur memilih sistem multipartai yang dulu sudah terbukti gagal. Akhirnya, banyak agenda reformasi tidak tertata. Yang terjadi bukan reformasi, melainkan deformasi.
Contoh paling mudah adalah pergeseran kekuasan dari eksekutif ke legislatif yang tidak disertai kapabilitas. Kini legislatif setingkat lebih tinggi dari eksekutif, tapi kualitas dan profesionalismenya tidak. Semua diukur oleh DPR, dari Panglima TNI, duta besar, Gubernur Bank Indonesia. La, kan repot.
Lalu orang boleh bangga dengan desentralisasi, otonomi daerah. Sayangnya, setelah desentralisasi, ternyata KKN (korupsi, kolusi, nepotisme)-nya juga ikut terdesentralisasi, bukannya hilang. Ini kan menunjukkan perubahan sistem dengan mentalitas yang tidak siap, tidak banyak berarti.

Jadi, menurut Anda, reformasi ini gagal?

Reformasi baru merupakan reaksi atas sistem yang dibangun begitu kukuh oleh Orde Baru dan belum merupakan konsepsi by design yang lebih baik. Bahwa masa lalu ada kelemahan, itu sudah pasti. Tapi, bagaimana menutupnya dengan kekuatan, itu yang belum terlihat jelas. Akhirnya bangsa ini seperti kehilangan kemudi akibat tidak seimbangnya demokratisasi dengan sistem dan situasi yang terjadi.

Kalau kita pakai skala, berapa persentase reformasi dikatakan gagal?

Kalau wacana, bisa kita katakan ada kebebasan di Indonesia yang lebih dari Orde Baru. Kita akui itu bagus. Ini hasil yang nyata kita nikmati. Setiap orang bisa berbicara. Tapi, kalau kita berbicara soal produktivitas dari kebebasan itu, ini yang perlu dipertanyakan. Padahal sebuah bangsa kan perlu kebebasan tapi sekaligus juga produktivitas. Sekarang ini, kita baru masuk kebebasan, tapi tak ada produksi dari kebebasan itu. Akhirnya orang lebih mendewakan proses daripada output.

Menurut Anda, apa yang mendesak dilakukan?

Bangsa ini harus segera menemukan sintesis dari Orde Baru. Hari ini kita masih pada situasi antitesis Orde Baru. Sintesis ini yang harus segera ditemukan. Masa lalu yang baik harus kita adopsi. Tak usah secara diametral dijauhi. Ini penyakit bangsa kita. Kalau terjadi suatu pergantian kekuasaan, semuanya seolah harus berganti. Akhirnya ya kayak Ken Arok.

Pandangan Anda tentang amendemen UUD 1945 sebagai suatu hasil reformasi?

Dari satu segi, amendemen positif, tapi dari segi lainnya justru menunjukkan ketidakterkendaliannya. Buktinya supremasi legislatif tadi. Karena para duta besar harus disetujui DPR, sedangkan mereka membawa calon sendiri-sendiri, banyak calon duta besar enggak diangkat-angkat. Saya tahu ada 32 negara strategis tanpa duta besar. Amendemen jangan hanya dipikir by process, tapi juga by result. Baru semangat perubahan saja, belum semangat produktivitas.

Menurut Anda, ini kelemahan. Bukankah ini yang didambakan semasa Orde Baru?

Menurut saya, ini kelemahan, karena di negara demokrasi tetap diperlukan eksekutif yang unit (satu, utuh) agar bisa membawa dan mengisi demokrasi dengan produktivitas. Tapi, kalau demokrasi jalannya liberal, sementara eksekutifnya tidak unit, terjadilah keterbengkalaian masalah bangsa, karena eksekutif tidak bisa dengan cepat melaksanakan kebijakan. Apalagi kalau ditambah dengan faktor leadership yang buruk. Siapa pun (yang menjadi) presiden sekarang dengan menteri yang pelangi, (ia) tidak mudah bekerja. Ada juga beban masa lalu yang begitu berat. Kalau ada menteri hari ini bilang ingin jadi presiden, mungkinkah dia menyukseskan presiden sekarang? Kalau saya jadi presiden dan ada menteri yang bilang begitu, saya berhentikan dia ketika itu juga. Sebab, secara psikopolitis, dia pasti tidak akan menyukseskan presidennya. Dia ingin sukses sendiri di bawah presiden itu. Konsekuensinya, banyak kebijakan yang menurut istilah saya nguler kambang dan dibuat untuk promosi orang per orang. Ini yang harus dibereskan setelah Pemilu 2004.

Sejauh mana Anda menilai strategisnya Pemilu 2004?

Pemilu 2004 melahirkan peluang memproses antitesis menjadi sintesis. Pada Pemilu 2004, presiden kan dipilih langsung. Artinya, presiden sudah tidak bisa lagi dijatuhkan selama periode lima tahun, baik oleh DPR maupun DPD. Artinya, dia bisa punya satu paket kerja yang tidak mudah diutak-atik, sehingga memungkinkan terciptanya kabinet presidensial yang unit dengan lini komando yang tegas dan kuat.

Berarti kita kembali ke sistem monoloyalistik lagi?

Yang saya maksud bukan kuat lalu tidak dikontrol oleh nilai-nilai demokrasi. Tapi kuat dalam arti akseptabel dan rasional.

Menurut Anda, pemerintahan sekarang gagal?

Ya. Salah satu faktornya karena beban itu tadi. Di luar itu mungkin karena faktor leadership yang harusnya disertai akseptabilitas, kapabilitas, dan kemampuan merumuskan dan mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Tapi, kalaupun itu ada, dengan sistem seperti ini, tetap Mega sulit.

Makanya Anda tak pernah mengkritik keras Megawati?

Saya termasuk yang tidak setuju Mega diogrok-ogrok. Faktornya ya karena itu tadi, bukan karena saya mencintai Mega atau apa. Sistem ini tidak bisa beres hanya dengan membenahi kepalanya.

Dulu Rasulullah kan perlu puluhan tahun mereformasi jahiliah?

Saya kira asal Pemilu 2004 tepat sasaran, sudah bisa dimulai recovery. Bahwa perlu waktu lama, itu bergantung pada faktor persatuan bangsa, maksudnya kebersamaan, kejujuran, dan kekuatan menjaga kedaulatan ekonomi, politik, ataupun kepribadian. Harus ada nasionalisme supaya kita tidak terombang-ambing oleh kepentingan global.

Dari mana harus dimulainya?

Pada masa transisi kan banyak segi yang runtuh: ekonomi, politik, budaya, pendidikan, bahkan mungkin agama. Menurut saya, mulainya dengan memberikan kesadaran kepada rakyat bahwa dengan gerakan rakyat yang produktiflah Indonesia bisa diselamatkan. Dan untuk itu perlu pemimpin yang omongannya didengar rakyat.

K.H. Hasyim Muzadi

Tempat dan Tanggal Lahir:

  • Tuban, 8 Agustus 1944

Pendidikan:

  • Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo (1963)
  • IAIN Sunan Ampel, Malang (1967)

Karier:

  • Anggota DPRD Jawa Timur (1983-1987)
  • Ketua PWNU Jawa Timur (1992-1999)
  • Ketua PBNU (1999-2004)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus