Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WARGA Aceh maklum betul, setiap usai aksi siram-menyiram peluru, pertikaian TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pasti berlanjut di media. Kalau tidak saling mengecam, pastilah mereka bantah-berbantah lewat koran dan radio. Tapi, sudah dua pekan ini, suara GAM mendadak lenyap di media lokal.
Tentu, bukan karena GAM sedang mogok bicara. Sejak darurat militer dipancangkan, suara mereka sulit terdengar. Apalagi Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen TNI Endang Suwarya, sudah melempar peringatan keras kepada pers setempat. Kata Endang, pers tak perlu mengutip lagi ucapan GAM. Soalnya, kelompok pemberontak itu sering meniupkan berita bohong.
Kebijakan itu meremas jantung para wartawan di Aceh. Betapapun, prinsip jurnalisme mewajibkan wartawan meliput peristiwa secara berimbang. Istilahnya balance atau cover both sides. Pemberitaan tak seimbang pasti membangkitkan kemarahan salah satu pihak. Tapi coba simak jawaban Endang: ”Dampak balance itu apa?” Dia menilai keberimbangan justru membuat masyarakat bingung.
Menteri Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif segendang sepenarian. Prinsip keberimbangan, katanya, mesti dibingkai oleh semangat nasionalisme. Dia mencontohkan pers di Amerika Serikat. Media mereka turut membela bangsanya saat teroris menyerang gedung WTC di New York, atau saat pemerintahnya menyerang Irak. ”Kita harus menghidupkan jurnalisme patriotik,” ujar Syamsul.
Persoalannya sedikit berbeda karena perang di Aceh melawan anak bangsa sendiri. Tapi ada kaitan dengan patriotisme atau tidak, yang jelas kini kebebasan pers di Aceh bergantung pada penguasa darurat militer. Tentara menggenggam kekuasaan besar, seperti tersurat dalam Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Pasal 26 undang-undang ini jelas memberikan hak, antara lain, ”mengadakan tindakan membatasi pertunjukan, pencetakan, penerbitan”.
Selain itu, penguasa darurat militer juga berhak menguasai perlengkapan pos dan alat telekomunikasi, termasuk pemancar radio dan televisi. Meski begitu, baru berupa peringatan yang disodorkan. Kata Mayjen Endang, ”Aturan mainnya akan segera kita keluarkan.”
Hanya, peringatan awal itu sudah berpengaruh. Sejak pekan lalu, sejumlah pembaca harian Serambi Indonesia merasakan perubahan gaya pemberitaan koran bertiras 25 ribu eksemplar ini. ”Suara dari GAM makin sedikit,” ujar Islahuddin, seorang pembaca.
Padahal, sebelumnya, koran itu kerap mengutip pernyataan panglima GAM dari berbagai wilayah di Aceh. Erwiyan Syafri, Redaktur Pelaksana Serambi, tak bersedia menjelaskan perubahan ini. ”No comment,” katanya singkat.
Begitu juga Radio FM Nikoya. Mengudara di gelombang FM 106,15, radio ini bahkan memilih tidak lagi menyiarkan berita. Gara-garanya, dua pekan silam, ada ancaman lewat telepon dari pria yang mengaku suruhan Panglima GAM Wilayah Aceh Besar. Si pengancam rupanya serius. ”Kami akan diberi sanksi jika hanya menyiarkan berita dari TNI,” ujar Jauhari, Wakil Direktur Radio Nikoya.
Radio itu termasuk favorit bagi warga Banda Aceh. Daya pancarnya melintasi sejumlah kabupaten bergolak, seperti Aceh Besar, Aceh Jaya, Pidie, dan sebagian Bireuen. Karena tak menyiarkan berita lagi, hasil peliputan beritanya, kata Jauhari, dikirim ke jaringan radio di luar Aceh.
Berbeda dengan Nikoya, Radio Prima FM tampaknya melawan arus. Mengudara pada gelombang FM 99,9, radio itu tetap menyiarkan berita.
Prinsip keberimbangan juga masih dijaga kendati mendatangkan ancaman. Uzair, salah satu pengelolanya, mengaku mendapat telepon dari orang yang tak senang. Sejauh ini, reaksi baru sebatas telepon. ”Belum ada teror fisik,” ujarnya. Namun Uzair mulai pasang kuda-kuda. Kalau nanti mendapat teguran resmi, kata dia, manajemen radionya sepakat memilih berhenti siaran.
Situasi darurat militer di Aceh memang menyulitkan media. Sebab, kata pakar hukum media Hinca P. Panjaitan, kondisi pers di Aceh turut menjadi darurat. Apalagi, ”UU Darurat Militer bisa menyisihkan perundangan yang setara dengannya, termasuk UU Pokok Pers,” ujarnya. Tapi seharusnya keadaan ini tidak mempengaruhi pers di luar Aceh.
Nezar Patria, Yuswardi A. Suud (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo