KAMIS siang pekan lalu, panas Jakarta masih menyengat. Di ruang besuk Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur, Teungku Ismuhadi, terpidana seumur hidup kasus peledakan bom Bursa Efek Jakarta (BEJ), tampak sedang bercengkerama dengan istrinya, Asnani. Ditemani tempe goreng dan sebotol air mineral, pembicaraan mengalir santai, tak terusik oleh kehadiran sipir di ujung ruangan.
Nama Ismuhadi, 33 tahun, mencuat setelah bengkel miliknya, Krueng Baru, di Jalan Warung Sila, Ciganjur, Jakarta Selatan, dituding polisi sebagai tempat perakitan bom yang diledakkan di pelataran parkir BEJ, 13 September 2000. Bom itu menewaskan 15 orang dan mencederai puluhan lainnya. Kini ayah dua anak itu merasa lebih mujur tinggal di hotel prodeo ketimbang saudara-saudaranya di Tanah Rencong. "Saya dihukum lewat proses pengadilan. Bandingkan dengan mereka yang di Aceh," katanya.
Tapi "mereka yang di Aceh" ternyata tak bisa main sendiri. Untuk menghadapi gempuran TNI, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mendapat pasokan senjata dan amunisi, antara lain, dari Jawa. Lebih ironis, senjata dan amunisi yang menyalak dan menelan korban prajurit TNI dan Kepolisian RI itu berasal dari rekan mereka sendiri yang "nakal". Beberapa kasus telah terungkap, tapi yang sempat terlupakan dari kasus peledakan BEJ adalah pengakuan rekan Ismuhadi, Ibrahim A.M.D. bin Abdul Wahab, yang memasok ribuan amunisi lewat jalur darat dari Bandung dan Jakarta ke Aceh.
"Saya memang melihat pengakuan Ibrahim dalam berita acara, soal pembelian senjata," kata Ismuhadi. Di saat perang seperti sekarang, boleh jadi jalur pengiriman darat terhenti oleh operasi aparat di jalan-jalan. Karena itulah Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, yang kesal dengan aksi penyelundupan senjata oleh GAM beberapa waktu sebelum operasi terpadu digelar di Aceh, lebih memelototi jalur pasokan dari laut, terutama selundupan lewat nelayan Thailand. "Kami akan meningkatkan patroli laut di sekitar perairan Aceh," kata Endriartono.
Bagaimana sebenarnya GAM memperoleh senjata di dalam negeri? Inilah kisah yang terlewatkan itu. Dalam pengakuannya, Ibrahim A.M.D., yang kini masih jadi buron setelah melarikan diri dari LP Cipinang, mengaku mendapatkan berbagai jenis senjata dari rekan-rekannya sesama orang Aceh yang berdinas di militer. Muncullah antara lain nama Ibrahim Hasan, anggota Divisi I Kostrad Cilodong, Irfan alias Irwan, desertir Kopassus, Ijil Azhar, mantan anggota Marinir, dan Ismail, dari Batalion Artileri Medan, Cimahi, Bandung.
Seorang perwira polisi yang pernah menyidik kasus BEJ pun mengutip pernyataan Ibrahim, "Selama TNI dan polisi masih ada, kami tidak akan pernah kehabisan pasokan." Selain menjalin hubungan dengan tentara asal Aceh, khusus untuk mendapatkan berpeti-peti amunisi untuk senapan serbu AK-47, M-16, dan pistol, Ibrahim berkawan dengan Dinan Sabardinan, aktivis lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pertanahan di Bandung, Jawa Barat. Dinan sekarang mendekam di Penjara Sukamiskin, Bandung, setelah diganjar 15 tahun penjara.
Dalam pengakuannya, Ibrahim menyebutkan, untuk operasi pembelian senjata dan peledakan bom BEJ, ia disokong oleh bosnya, Armia, yang memiliki kedudukan Menteri Keuangan dan Bendahara GAM. Armia inilah yang mentransfer uang Rp 1,5 miliar untuk keperluan Ibrahim dan kawan-kawan, selama bolak-balik Jakarta-Bandung, sejak Februari 2000. Ada sekitar delapan peti amunisi yang dibeli Ibrahim dari Dinan Sabardinan. Dinan juga menjual dua senapan serbu M-16 dan senjata laras panjang Steyr—yang biasa digunakan kesatuan Gegana Brimob Polri dan Kopassus.
Menurut pengakuan Dinan, seperti tercantum dalam berita acara, ia mendapatkan senjata dari seseorang bernama Engkos, yang tinggal di Cipacing, tempat yang dikenal sebagai pusat kerajinan senapan angin, di sebelah timur Kota Bandung. Soal keberadaan kawan-kawan Dinan yang berasal dari Aceh memang diakui kerabat Dinan, Wawan Akil, yang kini menjabat Ketua Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Pedesaan. Menurut Wawan, sejak tahun 2000, Ibrahim A.M.D. dan Rusli kerap menginap di kantornya di Jalan Dr. Curie, Bandung. "Rusli mengaku korban konflik di Aceh, sedangkan Ibrahim kala itu mengaku bernama Bram," ujarnya.
Dalam penangkapan dan penggeledahan yang dilakukan oleh Kepala Kepolisian Kota Besar Bandung, yang waktu itu dijabat Komisaris Besar Alex Bambang, menurut Wawan, polisi menemukan senjata laras panjang dan granat. Wawan membantah keras jika dikatakan bahwa keponakannya itu bertransaksi senjata dan amunisi. "Harusnya kami tahu. Kan, besar, ada larasnya yang panjang," katanya.
Setelah penangkapan, selama 14 hari Dinan tak boleh dijenguk. "Ketika diizinkan membesuk, kami kaget, kondisi Dinan betul-betul bonyok," tutur Wawan. Karena itulah Wawan curiga, jangan-jangan Dinan hanya korban. "Siapa sih yang memonopoli senjata? Kan, hanya polisi dan tentara?" katanya, "Jika ada kebocoran, mereka pasti terlibat."
Dari rekan-rekannya yang berbaju loreng, Ibrahim, pemilik dua truk angkutan barang Jakarta-Aceh, mendapatkan dua pistol Beretta dari Kopral Dua Ibrahim Hasan dan dua pucuk lainnya dari Teungku Matang, yang sampai saat ini belum jelas keberadaannya. Sedangkan granat nanas diperoleh dari Ismail, yang dibeli seharga Rp 300 ribu. Masih menurut pengakuannya, Ibrahim, yang pernah bekerja di perusahaan kontraktor asal Jepang, mengaku paling banyak mendapatkan senapan serbu dari Ijil Azhar, yang berdinas di Marinir Cilandak.
Pasokan Ijil Azhar meliputi enam pucuk M-16, senapan otomatis SP, dan senjata RPD 3. Juga 12 peti peluru, sehingga total transaksi mencapai Rp 350 juta. Soal keterlibatan anggotanya ini, Kepala Dinas Penerangan Korps Marinir, Letkol Saut Tamba Tua, mengatakan Ijil Azhar sudah tiga tahun lebih mangkir dari kesatuannya. "Menurut informasi terakhir dari televisi, dia sudah bergabung dan menjadi salah satu panglima GAM," ujar Saut.
Senjata-senjata inilah yang oleh Ibrahim diangkut dengan truk dari Jakarta menuju Aceh. Di sana, bosnya, Armia, sudah menunggu. Untuk mengelabui aparat keamanan, senjata dan amunisi itu dimasukkan ke dalam drum yang diisi penuh dengan solar. Masih menurut Ibrahim, tempat mengelas tutup drum itu, antara lain, adalah bengkel milik Teungku Ismuhadi. Namun Ismuhadi menolak keras tudingan ini. "Menurut logika hukum, jika itu dilakukan di bengkel saya, pasti ada anak buah saya yang ditahan," katanya.
Edy Budiyarso, Bobby Gunawan
Kasus-Kasus Penyelundupan Senjata
GAM
Kelompok Rohmat, Maret 2000
Tersangka
Muhammad bin Yusuf alias Rohmat, dkk.
Pengungkapan
Tangkapan Polres Jakarta Selatan
Barang Bukti
Jakarta:
2.200 peluru AK-47 dan M-16, enam senapan laras panjang.
Medan:
2 granat, 3 karung berisi topi, dan sepatu merek ABRI.
Kelompok BEJ, 13 September 2000
Tersangka
Ibrahim A.M.D., Kopral Ibrahim Hasan, Irwan, Ismail, Latih, Sayed Mustapa, Ijil Azhar, Armia.
Pengungkapan
Polda Metro Jaya
Barang Bukti
12 peti amunisi AK-47, M-16, pistol. 3 Steyr, 4 Beretta, 5 FN, 1 SP, 1 RPD 3 (sebagian besar sudah dikirim ke Aceh)
Kelompok Bom Mal Cijantung, Juli 2001
Tersangka
Ramli, Iryasdi, Fahrial, Jalal, Husaini, Kapten Maryanto, Letnan Satu Feisal, Endang.
Pengungkapan
Polda Metro Jaya dan Pomdam Jaya
Barang Bukti
Tapos Cimanggis:
20.000 peluru AK-47 dan M-16, 167 magasin, pelontar granat, 2 bom rakitan, 4 granat nanas, 2 pistol Colt, 2 detonator, sepatu lars, ganja.
Di rumah Ramli, Cikarang:
50.000 peluru, anak panah beracun, 1 pistol.