Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Angkat Kaki Dulu, ’Meneer’

Pemerintah melarang LSM asing berada di Aceh. Pertimbangannya semata-mata alasan keamanan.

1 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STIKER itu menempel pada dinding sebuah rumah di Geuceu, kawasan permukiman elite di Kota Banda Aceh. Ukurannya 30 x 30 sentimeter. Bunyinya, ”Berikan Ruang untuk Perdamaian.” Dicetak dengan huruf tebal, tulisan itu seperti memprotes perang saudara yang dua pekan ini merobek Serambi Mekah. Sepintas rumah bernomor 18 itu tak istimewa. Pagarnya memang kukuh. Dindingnya putih mengkilap. Sebuah balai bambu ada di halaman. Di situ para penghuninya kerap bersantai, juga menerima tamu.

Tak banyak yang tahu bahwa rumah besar itu adalah kantor Peace Brigades International (PBI), lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berpusat di London, Inggris. Lembaga ini gencar berkampanye soal hak asasi manusia dan tak henti-hentinya menganjurkan perdamaian di Aceh. ”Juga membantu para aktivis hak asasi manusia di sini,” kata Afridar Darmi, Ketua Dewan Pengurus Koalisi LSM Hak Asasi Manusia di Aceh.

Entah bagaimana nasib stiker itu. Mungkin pula rumah itu sudah sepi. Sejak pekan lalu, pemerintah melarang semua LSM asing menginjakkan kaki di bumi Aceh. Larangan itu dilansir oleh Menteri Koordinator (Menko) Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla kepada wartawan, Senin pekan lalu. Bersama Menko Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono dan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Jusuf Kalla memang ikut mengkoordinasi operasi terpadu di sana.

Menteri Jusuf mengaku sudah mengirim surat ke sejumlah LSM asing untuk tidak ke Aceh dan meminta yang masih berada di kawasan itu angkat kaki. ”Sesegera mungkin mereka keluar dari Aceh,” katanya. Selain PBI, lembaga asing yang masih berkiprah di sana adalah Save the Children, CARDI, dan OCHA.

Alasan pemerintah adalah masalah keamanan. Jika lembaga asing berdiri tegak di tengah peperangan yang kian sengit itu, bukan tak mungkin peristiwa Atambua meletus di situ. Kasus Atambua—daerah di Nusa Tenggara Timur yang berbatasan langsung dengan Timor Loro Sa’e—terjadi pada tahun 2000, ketika ribuan pengungsi dan milisi pro-Indonesia menyerbu kantor United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), organ PBB yang menangani masalah pengungsi. Tiga orang anggota lembaga itu mati ditusuk pisau. ”Siapa bisa menjamin kasus itu tidak terulang di Aceh?” ujar Jusuf Kalla.

Selain itu, pemerintah rupanya cemas jika kehadiran lembaga asing di Aceh menjadi makanan empuk buat GAM untuk memompa semangat kemerdekaan. Dengan gampang GAM akan bilang bahwa para bule itu adalah wakil Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jusuf Kalla bilang, ”Propaganda seperti itu amat berbahaya.”

Betul begitu? GAM tentu saja bilang tidak. Para petinggi gerakan itu menuding Jakarta tengah berupaya mengunci mata dunia dari seluruh pelanggaran hak asasi manusia dalam perang ini. Kekerasan terhadap orang sipil, kata juru bicara GAM, adalah aib Jakarta yang harus disembunyikan serapat mungkin.

Sayang, sejumlah lembaga asing memilih mengunci mulut soal larangan itu. ”Kami tak bisa berkomentar karena ini masalah sensitif,” kata Ahmer Akhtar, Program Technical Advisor World Health Organization (WHO) di Indonesia. Karena larangan itu, lembaga ini lalu mengirim paket bantuan obat-obatan lewat Departemen Kesehatan sebagaimana disarankan pemerintah.

Sejumlah staf PBI yang ditemui TEMPO Kamis pekan lalu di Geuceu juga enggan berkomentar soal pengusiran itu. ”Maaf, no comment,” jawab Stuart Bowman, seorang staf di lembaga itu. Beberapa orang di kantor itu terlihat cemas.

Kecemasan itu rupanya buntut dari kejadian Rabu pekan lalu. Saat mendampingi Koalisi LSM Hak Asasi Manusia yang dibawa ke Kepolisian Resor Kota Banda Aceh, beberapa pengurus PBI itu juga diinterogasi polisi. Pertanyaannya sekitar pekerjaan dan jaringan kerja mereka.

Yang terlihat maklum-maklum saja adalah United Nations Children’s Fund (Unicef), organ PBB yang menangani masalah anak-anak. ”Itu sepenuhnya hak pemerintah Indonesia,” kata Anton Susanto, juru bicara Unicef di Jakarta. Sejumlah peralatan sekolah bantuan lembaga itu dikirim melalui lembaga pemerintah.

Sejauh ini, semuanya lancar-lancar saja. Kepergian para pekerja asing itu dari Aceh mungkin tinggal menunggu waktu.

Tapi protes bukannya tak ada. Dalam situs Internet milik sebuah LSM asing, sejumlah aktivis LSM asing itu bahkan mendesak PBB dan sejumlah negara besar agar menekan Indonesia untuk menerima pekerja kemanusiaan internasional di Aceh. ”Kami membutuhkan dukungan dunia untuk tetap berada di Aceh,” tulis situs itu. Memang, di dunia maya, protes seperti itu berseliweran, sesuatu yang tentu tak bisa diatur oleh Jakarta.

Wenseslaus Manggut, Yuswardi (Banda Aceh), Amal Ihsan, Dewi Retno (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus