Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

K.H. Mustofa Bisri: "NU Seperti Orang Kemaruk"

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

K.H. Mustofa Bisri, 60 tahun, adalah danau yang tenang. Tokoh yang kerap dipanggil Gus Mus ini memiliki pemikiran jernih dan menyegarkan. Gus Mus, yang juga Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, selalu memotret persoalan dengan perspektif yang luas. Soal perpecahan Nahdlatul Ulama dalam pemilu presiden, misalnya, ditanggapi dengan kepala dingin.

"NU tidak dalam kapasitas mendukung atau melarang," katanya. Namun Gus Mus tak bisa menyembunyikan kegusarannya. Maklum, empat tokoh NU?Hasyim Muzadi, Salahuddin Wahid, Hamzah Haz, dan Jusuf Kalla?ikut pemilu presiden pada 5 Juli. Akibatnya, ingar-bingar politik nasional telah menyeret NU ke tubir perpecahan. Tiap-tiap kubu tak merasa cukup menonjolkan kelebihannya. Mereka juga menjelek-jelekkan kandidat lain. Seorang kiai di Jawa Timur bahkan "memurtadkan" santri yang berani tak mengikuti aspirasi politiknya.

Untuk mengatasi keadaan, Gus Mus, dan beberapa kiai yang masih netral, bertindak. Pada 30 Juni lalu, hanya lima hari sebelum pencoblosan, Gus Mus menggelar acara "Silaturahim dengan Rais Am PBNU dan Doa NU untuk Bangsa" di Rembang, Jawa Tengah. Dalam acara penting itu, kembali ditegaskan bahwa PBNU bersikap netral.

Bagaimana peta politik NU mutakhir? Mengapa NU terkotak-kotak? Dan apa sikap Gus Mus soal kekuasaan? Wartawan TEMPO Sohirin pekan lalu mewawancarai Gus Mus. Wawancara berlangsung santai di rumahnya yang asri di Kompleks Pesantren Taman Belajar, Rembang. Berikut ini kutipannya.


Beberapa tokoh Nahdlatul Ulama maju ke pertarungan pemilu presiden/wakil presiden. Apa yang terjadi dengan NU?

Ini akibat NU memiliki massa terbesar dan punya nafsu politik. Saat Pak Harto berkuasa, ekonomi dijadikan panglima. Partai-partai politik, termasuk NU, dirampingkan. Tak ada tokoh NU yang diajak memimpin, termasuk memimpin Partai Persatuan Pembangunan, yang notabene juga warga NU. Bahkan Pak Harto memaksakan Abu Hasan, orang luar NU, untuk menjadi Ketua NU sewaktu muktamar Cipasung. Sewaktu Pak Harto lengser, nafsu berpolitik orang NU berkobar lagi. Harap dimaklumi, karena sejak 1955 tidak disapa. Sekarang banyak yang meminang NU. Saat ini NU menjadi tidak keruan seperti orang kemaruk.

Apakah NU memiliki keinginan untuk kembali masuk lingkaran kekuasaan?

NU sebagai lembaga tidak memiliki keinginan ke kekuasaan. Keputusan PBNU soal khitah sudah jelas. Tentu NU menghargai warganya yang terjun ke politik praktis. Namun harus menggunakan etika, di antaranya tidak akan membawa-bawa NU ke politik praktis. Dalam rapat gabungan syuriah dan tanfidziah diputuskan bahwa NU tidak dalam kapasitas mendukung atau melarang.

Abdurrahman Wahid pernah gagal di pemerintahan. Mengapa tokoh NU kembali berebut kekuasaan?

Orang NU itu mudah lupa. Warga NU tidak ingat pesan Nabi, laa yuldaghul mu'minu min juhrin waahidin marrotaini (tidak pantas menjadi seorang mukmin jika disengat kalajengking dua kali dari satu lubang). Jadi, mestinya kesalahan serupa itu tidak berulang kali. Kalau sudah disengat dari satu lubang, ya pindah, jangan mengulang-ulang kesalahan.

Mengapa nafsu berpolitik orang NU masih tinggi?

Pada 1955, dengan persiapan yang relatif singkat, NU masuk empat besar dalam pemilu. Ini membuat orang NU ketagihan. Saya selalu menganalogikan NU seperti rumah keluarga yang memiliki halaman, sawah, tambak, toko, warung, dan pabrik. Pada waktu usaha transportasi sedang ramai, NU juga membuka usaha itu. Kebetulan memang ada yang menyopir dan mengelola transportasi. Ternyata usaha transportasi sukses. Karena sukses, semua orang terlibat. Akhirnya, sawah, ladang, pabrik, toko, dan warung milik keluarga itu jadi terbengkalai.

Benarkah NU sudah diobral murah?

Itu bodohnya orang NU yang tidak mengerti ilmu dagang. Kalau paham ilmu dagang, di saat banyak permintaan, harganya dinaikkan, bukan malah diobral.

Bagaimana komposisi suara NU dalam pemilu presiden 5 Juli?

Warga NU yang berjumlah minimal 40 juta itu susah untuk diperkirakan. Orang NU masih paternalistik. Kita tinggal menghitung panutan-panutan itu. Yang paling gampang, 40 juta dibagi empat. Tiap orang mendapat sepuluh jutaan. Ha-ha-ha?. Tapi, jangan lupa, semua punya pasangan. Jadi, sangat banyak variabelnya.

Siapa calon presiden yang Anda pilih?

Saya memilih sambil berdoa, "Ya, Tuhan, mudah-mudahan pilihanku adalah pilihan-Mu." Saya selalu berdoa agar Indonesia diberi pemimpin yang takut kepada Tuhan dan mencintai rakyat.

Banyak kiai yang mendukung calon presiden. Bagaimana dengan perpecahan NU?

Kiai itu punya pengaruh sendiri-sendiri. Seperti saat pemilu legislatif yang lalu. Itu sudah biasa. Para kiai punya pertimbangan sendiri-sendiri. Nah, pilihan itu akan diikuti santrinya tanpa menanyakan apa alasan pilihan kiai.

Apakah sudah terjadi perpecahan di akar rumput NU?

Kalau berlebih-lebihan, ya, bisa jadi. Inilah yang terjadi di Jawa Timur. Tim sukses tidak cukup membeberkan kelebihan calonnya, tapi juga menjelek-jelekkan pesaingnya. Kalau hal ini diterima oleh awam yang tingkat kedewasaannya terbatas, akan timbul fanatisme buta.

Salahuddin Wahid dan Hasyim Muzadi sowan ke Anda. Apa yang mereka minta?

Gus Sholah dan Hasyim sudah biasa ke kiai. Mereka sudah tahu kalau saya tidak suka ngomong politik. Jadi, mereka hanya minta doa restu.

Ada fatwa sejumlah kiai NU soal perempuan yang haram jadi pemimpin. Apa dampaknya?

Saat pertama kali Mbak Mega mau menjadi presiden, sudah ada wacana perempuan haram menjadi pemimpin. Tapi, dari hasil-hasil muktamar dan bahtsul masa'il (bedah masalah), NU sangat liberal. Soal kepemimpinan perempuan ada dua pendapat, soal bunga bank ada tiga pendapat. Jadi, bergantung pada kepentingan saja.

Di mana dasar "liberalisme" itu?

Dalam anggaran dasar dan khitah ditegaskan bahwa NU boleh mengikuti salah satu dari empat mazhab. Jadi, perbedaan itu sudah menjadi tradisi dan dianggap sebagai rahmat. Masalahnya, yang di bawah itu bisa enggak mengartikan bahwa perbedaan itu rahmat.

Apa pendapat Anda soal fatwa tersebut? Anda setuju?

Saya tidak kaget dengan fatwa itu. Ambil saja kitab Kifayatul Akhyar yang sederhana. Dalam kitab itu ada sebuah masalah yang disebut ulama berhukum wajib, ada ulama yang menyebut tidak wajib, ada yang mengatakan makruh, ada yang mengatakan haram. Perbedaan tadi ada karena setiap orang punya ma'khod (referensi) dan pertimbangan tertentu. Jadi, perbedaan di NU sudah biasa (termasuk soal fatwa perempuan haram jadi pemimpin). Wartawan saja yang bikin geger.

Apa sikap Rais Am PBNU K.H. Sahal Mahfudz?

Beliau itu sebagai payung. Tidak akan ke sana-sini. Soalnya, kalau payungnya ke sana, yang di sini akan kehujanan. Begitu juga sebaliknya. Maka semua akan didukung.

Wiranto memiliki catatan buruk soal hak asasi manusia. Apa pengaruhnya bagi Partai Kebangkitan Bangsa?

Paling tidak akan mengurangi semangat. Apalagi Pak Wiranto itu bukan asli Golkar. Sholah juga bukan asli PKB. Dia malah pernah menjadi Ketua Partai Kebangkitan Ummat. Jadi, dua-duanya tidak dianggap mewakili partai politik masing-masing. Kalau sekarang Golkar dan PKB agak malas mendukung keduanya, itu wajar. Apalagi Gus Dur pernah membubarkan Golkar dengan dekritnya. Dalam politik, pagi kedelai sore tempe itu sudah biasa.

Mengapa Abdurrahman Wahid, Ketua Dewan Syuro PKB, tidak merestui Hasyim Muzadi?

Gus Dur punya pertimbangan-pertimbangan yang sangat subyektif. Mungkin karena masalah Megawati. Bisa jadi karena akumulasi persoalan yang lain. Tapi, sejak dulu, Hasyim tidak perlu restu dari Gus Dur. Memang soal restu Gus Dur menjadi penting karena Gus Dur punya pendukung yang cukup signifikan. Itu saja masalahnya. Makanya Akbar Tandjung mendesak agar restu Gus Dur terhadap Wiranto-Sholah lebih konkret.

Apa penyebab retaknya hubungan Gus Dur dan Hasyim Muzadi?

Kurang komunikasi saja. Penyebab krisis multidimensi Indonesia adalah krisis silaturahmi. Tapi memang ada sesuatu di luar kemampuan mereka untuk melakukan komunikasi secara intens. Keduanya sangat sibuk. Padahal, jika masing-masing hanya mendengar berita dari koran tapi tidak segera melakukan tabayyun (klarifikasi), akan timbullah masalah. Misalnya, ada anggapan dari Gus Dur, Hasyim (NU) kok tidak membantu PKB, yang notabene partainya orang NU. Itu akibat Hasyim mengatakan bahwa khitah NU itu netral. Selain itu, yang memperburuk adalah orang-orang dekat di antara keduanya.

Anda pernah mencoba melakukan mediasi?

Tak terhitung. Mereka itu kan sudah gede-gede (dewasa?Red.). Tidak mungkin dong saya memperlakukan mereka seperti santri. Kami sama-sama sudah tua. Al 'aqil yaquulu bi al isyaroh (berbicara dengan orang dewasa itu tidak perlu macam-macam, cukup dengan isyarat).

Bagaimana pengaruh Gus Dur di NU?

Banyak faktor yang menyebabkan pengaruh Gus Dur menjadi kuat. Dia pernah menjadi Ketua Umum PBNU tiga periode. Dia cucu pendiri-pendiri NU. Dia pernah menjadi presiden. Sekarang menjadi Ketua Dewan Syuro PKB. Jadi, pengaruhnya di NU kuat.

Mengapa persoalan "darah biru" menjadi pertimbangan tersendiri?

Di NU ada kiai-kiai yang selalu mengingat orang tua dan kakek seseorang karena pernah menjadi gurunya. Di pesantren, tradisi tersebut masih kuat. Memang persoalan darah biru itu hanya penunjang. Meski darah biru, kalau pribadinya tidak mendukung, ya, tidak dihormati. Nah, Gus Dur itu punya kelebihan. Jika dia tidak punya kelebihan, pengaruhnya juga tidak seperti sekarang ini. Buktinya, ada orang yang baru saja mengenal Gus Sholah, Gus Umar Wahid, juga Gus I'im, meski ia adalah saudara kandung Gus Dur.

Sejauh mana kedekatan Anda dengan Gus Dur?

Saya tak punya hubungan darah dengan Gus Dur. Tapi, sesuai dengan hadis Nabi, al arwah junuudun mujannadah (sesungguhnya manusia itu sudah berkenalan saat di alam roh?Red.). Hubungan saya dengan Gus Dur dimulai ketika saya kuliah di Mesir dan Gus Dur sudah berada di sana. Selama 2-3 tahun kami tinggal satu asrama. Selain kuliah bersama, dia sering mengajak saya nonton bioskop dan sepak bola. Tak bisa dijelaskan mengapa kami jadi akrab. Sekarang Gus Dur sering menelepon hanya memberitahukan joke barunya. Suatu saat Gus Dur bertemu dengan Amir Shoba, pemimpin Kuwait. Kepada Shoba, Gus Dur mengatakan bahwa dirinya adalah orang Jawa. Sebagai bentuk penghormatan orang Jawa, dia akan lebih banyak mendengarkan. "Silakan yang mulia berbicara, saya akan mendengarkan," kata Gus Dur. Mendengar ucapan Gus Dur, Amir Shoba berkata, "Ya, kebetulan, saya agak kurang pendengaran." Ha-ha-ha?.

Apa pengalaman pribadi dengan Gus Dur yang mengesankan?

Satu hal yang saya dapatkan dari Gus Dur adalah soal membaca. Ke mana pun pergi, Gus Dur selalu membawa buku. Kalau ada waktu senggang sedikit saja, dia langsung membaca. Saya ngomong, tidak digubris. Setelah dia selesai membaca, baru saya diajak ngobrol. Akhirnya, kalau pergi, saya juga membawa buku. Bedanya, buku Gus Dur berbahasa Inggris, sedangkan buku saya berbahasa Arab.

Benarkah para kiai khos mendukung Gus Dur untuk menjadi presiden lagi?

Dari 1999, tidak ada yang mendukung Gus Dur menjadi presiden. Bukan karena meragukan kemampuan Gus Dur, melainkan karena sayangnya kepada Gus Dur. Ada yang mengatakan Gus Dur terlalu kecil kalau menjadi presiden, ada yang mengatakan kasihan kalau Gus Dur jadi presiden karena dia akan menemui kesulitan-kesulitan.

Mengapa Gus Dur mengaku para kiai khos menyuruhnya menjadi presiden?

Kalau ditanya hati kecilnya, para kiai tidak setuju. Orang mengungkapkan rasa sayang itu ada dua cara. Saya sayang kepada sampean, maka saya melarang sampean memanjat pohon. Saya khawatir akan jatuh. Tapi ada yang sayang maka tidak akan melarang apa yang sampean kerjakan. Dalam konteks Gus Dur, ada kiai yang melarang Gus Dur maju menjadi presiden pada Pemilu 2004 karena sayang. Lebih baik Gus Dur menjadi guru atau kiai bangsa saja seperti Jimmy Carter di Amerika. Umumnya berpendapat begitu. Namun, karena rasa sayang pula, ada kiai yang merasa tidak enak kalau melarang Gus Dur menjadi presiden.

Anda pernah melarang Gus Dur menjadi presiden?

Saya bilang kepada Gus Dur, "Gus, wong keadaan kayak begini (krisis multidimensional), kok, mau jadi presiden?" Tapi dia itu punya semangat keturunan untuk berkorban bukan untuk dirinya sendiri, seperti K.H. Hasyim Asy'ari. Dia beranggapan, kalau memang bisa berbuat sesuatu untuk Indonesia, kenapa tidak dilakukan. Tapi, karena Gus Dur tidak bisa melihat, dia kehilangan beberapa hal yang penting, seperti ilmu firasat. Soalnya, firasat harus melihat ekspresi orang.

Saat Gus Dur menjadi presiden, apa keuntungan yang diperoleh NU?

Harus dibedakan antara NU dan orang NU yang kebetulan mendapatkan percikan berkah. Menurut saya, ukurannya adalah NU, bukan orang NU. Kalau NU jelas, dalam AD-ART dan khitah-nya disebutkan, NU bersama dengan kekuatan bangsa lain membangun kemakmuran bangsa. Tapi NU tidak mendapat apa-apa. Orang menilai, memberikan peran kepada NU identik dengan memberikan jabatan menteri. Jadi sangat pragmatis. Padahal, kalau pemerintah mau membantu NU, bantulah orang kecil dengan memberantas korupsi.

Bukankah banyak pesantren yang mendapat bantuan selama era Presiden Abdurrahman Wahid?

Pesantren itu bermacam-macam. Ada 1.000 kiai, maka ada 1.000 macam pesantren. Ada yang sangat mementingkan bangunan fisik yang membutuhkan duit banyak. Tapi ada pesantren yang seperti di sini (Pesantren Taman Belajar, asuhan Gus Mus). Saya berpendapat bahwa membangun fisik itu tidak wajib. Kalau santri tidak kerasan dengan keadaan seperti ini, mereka bisa pindah ke pesantren yang lebih bagus. Berkah itu tidak bisa hanya dilihat dari materi. Sangat berkah kalau saya mendapat kawan, jauh melebihi berkah uang miliaran rupiah. Seorang kawan tidak bisa dinilai harganya.

K.H. Hasyim Muzadi ternyata memiliki kekayaan Rp 7 miliar. Apa komentar Anda?

Tidak ada kiai yang menanyakan kekayaan orang lain. Itu pekerjaan jaksa atau Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam Quran disebutkan wa laa tajassasuu, yang artinya jangan berpikir untuk menyelidiki. Kalau mengusut kekayaan orang lain itu sangat saru.

Adakah calon presiden yang datang ke tempat Anda menawarkan uang?

Tidak ada. Mereka sudah tahu (saya tidak mau). Pak Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, datang ke sini meminta saya memberikan kata sambutan dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Taman Kehidupan. Pak SBY bilang, "Karena menghormati Gus Mus, buku itu belum diluncurkan. Dalam situasi seperti sekarang, tidak etis membawa Gus Mus ke arena politik praktis." Jadi, semua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang datang tahu hal itu. Apa lagi Gus Sholah. Dia kemari cuma minta restu dan minta ditegur kalau ada kesalahan.

Anda aktif mengajar di pesantren. Apa saja rutinitas Anda?

Saya hanya membantu. Pengasuh pesantren ini adalah Kiai Cholil Bisri. Malam hari, saya rutin mengajar santri yang senior. Saya mengajarkan masalah fikih, tasawuf, kadang masalah ketabiban. Jadi, santri juga harus paham soal medis. Ada kitab bernama Tibbun al-Nabawi (cara menjaga kesehatan menurut Nabi). Saya juga pernah mengajarkan bahasa Indonesia. Ini untuk menunjukkan bahwa bahasa Arab dan bahasa Indonesia hampir sama, baik secara gramatikal maupun sastra. Istilahnya saja yang berbeda.

Dari mana Anda memperoleh ilham dalam proses kreatif sastra?

Dari mana-mana. Saya punya kebiasaan membawa pulpen dan kertas. Pada saat saya bertafakur atau di mobil, bila ada yang tersirat, langsung saya tulis. Sampai di rumah saya kembangkan. Ada yang bisa dikembangkan menjadi lukisan, puisi, cerpen, atau artikel. Kadang ada pula yang ternyata tidak bisa dikembangkan. Seperti suatu saat saya melihat fenomena ada warna kuning di mana-mana (saat ada gerakan "kuningisasi" oleh Golkar?Red.), lalu saya menulis "negeriku telah menguning." Sesampai di rumah, kok, otak saya macet. Maka jadilah kalimat tadi sajak satu baris, "Negeriku telah menguning."

Apakah Anda suka berpuasa?

Saya tidak begitu kuat puasa. Riadloh (kegiatan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan?Red.) saya dengan bertemu dengan manusia. Puasa itu gampang, tidak makan dan tidur. Tapi menghadapi manusia dengan bermacam-macam coraknya itu sulit. Tamu yang datang ke sini macam-macam. Ada yang mengaku nabi, ada yang datangnya malam-malam, ada pemabuk, pengamen, sampai jenderal.

Menantu Anda, Ulil Abshar-Abdalla, adalah tokoh Jaringan Islam Liberal yang sering menelurkan wacana kontroversial. Bagaimana?

Saya tidak repot dan tidak bangga. Saya menghargai kemerdekaan berpikir. Al-Quran menganjurkan olah pikir. Yang penting, dia menghormati saya sebagai orang tuanya dan saya menghormatinya sebagai seorang anak. Bahwa pikirannya berbeda dengan orang tuanya, itu risiko. Lebih berisiko lagi kalau anak tidak berani berpikir karena takut kepada orang tuanya.


K.H. Mustofa Bisri

Tempat dan Tanggal Lahir:

  • Rembang, 10 Agustus 1944

Pendidikan:

  • Sekolah Rakyat di Rembang
  • Pesantren Lirboyo, Kediri
  • Pesantren Krapyak, Yogyakarta
  • Pesantren Taman Belajar, Rembang
  • Al-Qism al 'Alie lid Diraasaati Islamiyah wal 'Arabiyah, Universitas Al-Azhar, Mesir

Pekerjaan:

  • Pengasuh Pesantren Taman Belajar, Rembang, Jawa Tengah
  • Rais Syuriah PB Nahdlatul Ulama
  • Penyair

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus