Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERIAKAN "Surabaya-Jakarta!" sahut-menyahut di tempat pemungutan suara (TPS) di lorong-lorong seputar asrama TNI Angkatan Darat, Cijantung, Senin lalu. Jelas, itu bukan sandi operasi militer. Tapi inilah kode akrab warga setempat?mayoritas dari keluarga tentara?untuk kandidat presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla. Setiap kali kertas suara dibuka dan nama SBY muncul, sontak hadirin melafalkan panggilan itu. Rupanya, meski sudah pensiun, bintang sang Jenderal masih terang sinarnya di sana.
Fenomena melejitnya SBY memang tak terduga. Misalnya, di asrama Cijantung itu, dia menyabet 1.770 suara di 13 TPS. Kandidat lain dibuatnya tertinggal jauh. Pasangan Amien Rais-Siswono Yudho Husodo, misalnya, hanya kebagian 256 suara. Masih di tempat yang sama, bekas Panglima TNI Jenderal (Purn.) Wiranto hanya kebagian 224 suara. Lalu Megawati-Hasyim Muzadi 141 suara, dan Hamzah-Agum Gumelar 30.
Demam SBY bukanlah gejala di satu kawasan belaka. Simak data nasional hasil sementara tabulasi suara Komisi Pemilihan Umum (KPU). Nama SBY pun berkibar-kibar di sana. Pada layar tabulasi milik KPU di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa sore kemarin, SBY menyapu 33,59 persen dari sekitar 28,5 juta suara. Sementara suara untuk Megawati Soekarnoputri 26,69 persen, disusul Wiranto 22,36 persen, dan Amien Rais 14,06 persen. Paling buntut: Hamzah Haz, 3,29 persen.
Memang angka itu bukan hasil akhir, meski menurut peneliti Lembaga Survei Indonesia, Saiful Mujani, "Sudah relatif stabil." Perubahan detail hasil perolehan suara bisa terjadi tiap detik sesuai dengan laporan yang mengalir ke KPU dari sekitar 585 ribu TPS yang tersebar di 5.117 kecamatan seluruh Indonesia. Setidaknya, perhitungan elektronik versi KPU berlangsung sampai 15 Juli nanti. "Secara resmi, penghitungan suara manual berakhir pada 26 Juli," ujar Ketua Umum KPU, Nazaruddin Sjamsuddin.
Jadwal itu belum termasuk menghitung ulang surat suara di sejumlah TPS. Soalnya, kata Nazaruddin, ada laporan mengenai surat suara yang digolongkan rusak akibat pemilih keliru mencoblos. Banyak surat suara yang masih terlipat separuh langsung ditusuk. Selama tidak kena tanda gambar kandidat lain, tak jadi soal. "Surat suara seperti itu telah kita nyatakan sah," ujarnya. Untungnya, kata Nazaruddin, jumlah surat suara "tembus coblos" itu tak begitu banyak.
Terlepas dari penghitungan ulang, dari data sementara sebetulnya tergambar siapa bakal lolos di putaran pertama. Apalagi, selain tabulasi KPU, ada juga program quick count (penghitungan cepat) versi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES). Program itu disokong National Democratic Institute (NDI), lembaga nirlaba asal Amerika Serikat. Malam hari setelah pencoblosan, kedua lembaga itu mengumumkan temuan mereka di Hotel Borobudur, yang kemudian mereka perbaharui keesokan harinya.
Dari data 1.719 TPS di semua provinsi?dari 2.500 TPS yang disurvei?lembaga itu melakukan penghitungan suara secara rinci dan ketat. Hasilnya: peringkat satu tetaplah SBY. Suaranya menclok di angka 33,2 persen. Dua nama lain bersaing ketat di posisi kedua dan ketiga: Megawati 26,0 persen, dan Wiranto 23,3 persen. Sedangkan Amien Rais berada pada angka 14,4 persen, dan Hamzah Haz kebagian 3,1 persen.
Memang, kendati tak mewakili hasil akhir, survei lembaga itu lumayan canggih. Pada pemilu legislatif April silam, misalnya, lembaga itu menaksir Golkar meraup suara terbanyak dengan 22,9 persen, lalu PDI Perjuangan 18,4 persen, dan disusul PKB 10,6 persen. Urutan berikutnya, PPP 8,1 persen, Partai Demokrat 7 persen, dan Partai Keadilan Sejahtera 6,9 persen. "Hasilnya hanya selisih satu persen dari hasil resmi KPU," ujar Muhammad Husain, Kepala Divisi Penelitian LP3ES.
Kalau kelak hasilnya tak meleset, penghitungan versi quick count itu boleh disebut konfirmasi bagi ramalan sejumlah lembaga survei politik. Sebelumnya, International Foundation for Election System (IFES), Lembaga Survei Indonesia, dan lembaga lain mencoba menjajaki popularitas calon presiden. Baik hasil IFES maupun LSI ternyata berkesimpulan sama: SBY berada di peringkat satu (lihat infografik).
Peneliti senior LSI, Saiful Mujani, mengatakan popularitas SBY terdongkrak karena para pemilih menimbang kualitas kepribadian calon presiden. Banyak pemilih melihat SBY cukup berkompeten, lebih tegas dan efektif, serta lebih punya empati dan integritas dibandingkan dengan calon lain. Di samping itu, kata Saiful, SBY adalah calon presiden terkait paling kuat dengan kampanye di televisi.
Meski unggul, dibandingkan dengan hasil poling sebelumnya, perolehan suara SBY versi quick count sebetulnya melorot sekitar 10 persen. "SBY unggul karena faktor pribadi, tapi dia tidak punya mesin politik. Suaranya lalu diambil Wiranto dan Megawati," kata Muhammad Qodari, Direktur Riset LSI.
SBY sendiri tampaknya sudah boleh membusungkan dada.
Dengan percaya diri, dia yakin dirinya bersama Jusuf Kalla bakal lolos ke putaran kedua. "Sepanjang tak ada kejadian luar biasa atau kecurangan," ujarnya saat menunggu hasil penghitungan suara dari rumahnya, di Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Alasan dia sederhana. Saat berkampanye kemarin, SBY melihat dia banyak menuai dukungan spontan dari masyarakat.
Ada kisah menarik dari Rawa Bebek, perkampungan kumuh di bagian utara Jakarta. Di kolong jalan tol itu, warga memang tetap memilih Megawati Soekarnoputri. Tapi, Mega hanya menang tipis dari SBY, 89 berbanding 83. Dulu, inilah basis PDI Perjuangan yang setia. Tapi belakangan SBY pun menyelinap masuk melampaui mesin politik mana pun. "Dia paling pantes jadi presiden, kelihatan berwibawa, gitu," ujar seorang ibu tersipu-sipu.
Tapi, bagi SBY, yang paling penting justru ronde kedua nanti, yang menurut jadwal KPU berlangsung 20 September mendatang. Suasana di ronde kedua, kata dia, bakal berbeda jauh dengan putaran pertama. Soalnya, ada dua kandidat yang bakal berkompetisi head to head. "Akan lebih keras. Sangat rawan provokasi dan agitasi," ujar SBY. Dan kini cukup benderang terlihat lawan politik SBY itu adalah bekas atasannya di kabinet: Megawati Soekarnoputri.
Ada untungnya, memang, selisih suara Megawati dan Wiranto perlahan-lahan membesar. Pada Senin malam, banyak orang ketar-ketir karena suara kedua kandidat hanya berbeda satu persen. Ada kekhawatiran, bentrok akan terjadi antar-pendukung kedua calon. "Pendukung Megawati akan tak puas karena hanya kalah tipis tapi masuk peringkat ketiga," kata tokoh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdurrahman Wahid, yang yakin Wiranto bakal berada di posisi kedua.
Potensi konflik itu, kata Gus Dur, bisa terjadi karena dua hal. Pertama, Megawati akan meningkatkan intensitasnya dalam mengungkap kasus 27 Juli 1996?peristiwa yang diduga melibatkan Susilo. Kedua, ancaman dari mahasiswa yang anti-calon presiden berlatar belakang militer. Menurut si Gus, dari informasi yang diterimanya, bakal ada aksi besar-besaran jika calon presiden yang lolos ke putaran kedua punya sejarah baju loreng. Hal lain: jika Mega tak masuk putaran kedua, pemerintah Mega sampai Oktober nanti akan lesu tak bergairah.
Untunglah, untuk sementara?setidaknya berdasarkan quick count LP3ES?kekhawatiran itu saat ini jadi kehilangan pijakan.
Pertanyaannya: mengapa Mega, meski sedikit, bisa menyalip posisi Wiranto? Menurut Saiful Mujani, dari awal Wiranto memang tidak secara serius disokong Partai Golkar. Menurut Saiful, mereka yang memilih Golkar dalam pemilu legislatif 2004 lalu hanya 41 persen yang mendukung Wiranto-Salahuddin Wahid. Angka itu kalah dengan jumlah pemilih Partai Beringin tapi lebih suka bernaung di bawah panji SBY dan Jusuf Kalla. Lebih kacau lagi, kata Mujani, adalah pemilih PKB, yang juga secara terbuka telah merapat ke Wiranto-Wahid. Hanya 23 persen dari mereka yang menyokong Wiranto-Salahuddin Wahid. Sedangkan sisanya, masya Allah, 57 persen lari ke SBY (lihat infografik).
Yang paling miris mungkin Amien Rais. Tokoh reformasi itu tampaknya terlalu sulit untuk lolos ke putaran kedua. Meski dukungannya naik drastis, mendekati 15 persen, angka itu jauh dari target Siswono, rekan Amien, yang mengatakan setidaknya mereka harus meraup 21 sampai 29 persen suara. Amien sendiri tampak pasrah dengan hasil penghitungan suara itu. "Kalah, ya, sudah. Yang berat kalau menang. Itu amanat," ujar Amien di Yogyakarta.
Ada yang menang, ada yang kalah, meski ini baru babak awal. Pada 20 September nanti, pertarungan sebenarnya baru akan terjadi.
AZ/Nezar Patria, Ecep S. Yasa, Sapto P., Istiqomatul H., Nurhayati (TNR), Deffan P. (Bogor), Syaiful Amin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo