Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komposisi panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang ditunjuk Presiden Joko Widodo pada pertengahan Mei lalu mendapat kritik dari pegiat antikorupsi. Mereka menilai panitia seleksi diisi oleh orang-orang yang kelewat dekat dengan polisi. Aktivis antikorupsi pun meminta Presiden Jokowi merevisi panitia seleksi tersebut.
Panitia seleksi itu terdiri atas Yenti Garnasih (pengajar hukum pidana Universitas Trisakti), Indriyanto Seno Adji (mantan komisioner KPK dan guru besar Universitas Krisnadwipayana), Harkristuti Harkrisnowo (guru besar hukum pidana Universitas Indonesia), Mualimin Abdi (Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia), Marcus Priyo Gunarto (guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada), Hamdi Moeloek (guru besar psikologi Universitas Indonesia), Hendardi (pendiri Setara Institute, penasihat bidang hak asasi manusia Kepala Kepolisian RI), Diani Sadia Wati (anggota staf ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional), dan Al Araf (Direktur Imparsial, pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian).
Menanggapi kritik tersebut, ketua panitia seleksi Yenti Garnasih mengatakan panitia memilih ngebut bekerja untuk memenuhi tenggat menyerahkan sepuluh nama kandidat kepada Presiden Jokowi pada 2 September mendatang. Presiden lalu akan menyerahkan daftar nama itu ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan hingga terpilih lima pemimpin KPK periode 2019-2023. “Tanggung jawab kami ke Presiden,” kata Yenti kepada Tempo.
Di sela kesibukan uji kompetensi, Yenti, 60 tahun, menerima wartawan Tempo, Reza Maulana dan Rosseno Aji Nugroho, di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Sekretariat Negara, Cilandak, Jakarta Selatan, Kamis, 18 Juli lalu. Pakar hukum pidana pencucian uang itu menjawab berbagai tudingan yang menyasar panitia seleksi, termasuk alasan panitia seleksi mendatangi kepolisian dan kejaksaan serta soal kedekatannya dengan kepolisian. “Bukan berarti saya mengikuti semua kemauan mereka,” tutur Yenti, yang juga anggota panitia seleksi calon komisioner KPK 2015-2019. Sepanjang wawancara, sejumlah rekan menghampiri Yenti untuk berkonsultasi. Marcus P. Gunarto dan Hamdi Moeloek ikut menjawab pertanyaan Tempo.
Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi 2019-2023 Yenti Garnasih (keempat dari kiri) bersama para anggota panitia.
Mengapa panitia seleksi menjemput bola ke kepolisian dan kejaksaan agar mereka mengirim kandidat?
Kami memang mendatangi kepolisian dan kejaksaan, tapi maksud utama bukan jemput bola. Kami mau minta bantuan tracking kandidat. Misalnya penelusuran surat keterangan catatan kepolisian. Kami tidak mau kecolongan ternyata ada komisioner yang punya catatan negatif. Kami punya pengalaman empat tahun lalu ketika seorang kandidat yang sudah sampai tahap wawancara tiba-tiba jadi tersangka kasus korupsi oleh Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI.
Permohonan pelacakan seperti ini juga disampaikan empat tahun lalu?
Ada juga. Sekarang, selain ke kepolisian dan kejaksaan, kami ke Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Badan Narkotika Nasional.
Saat bertemu dengan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian dan Jaksa Agung M. Prasetyo, Juni lalu, panitia juga mengundang pejabat instansi itu agar mendaftar?
Kami memang melakukan kunjungan ke lembaga-lembaga itu sambil mengajak karena mereka berhak juga. Kami sebatas mengatakan, “Silakan, Pak, kalau mau mendaftar.” Basa-basi begitu saja.
Bukankah itu sama dengan menjemput bola?
Ajakan ini berbeda dengan upaya jemput bola yang saya lakukan di Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia. Di lingkungan akademikus itu, saya memang aktif mengundang orang-orang yang menurut saya bagus. Maka wajar pada akhirnya dosen menjadi kategori yang paling tinggi, 67 orang dari 376 pelamar. Tapi saya tidak menjanjikan apa-apa. Kami hanya ingin memiliki pilihan yang kaya saat seleksi. Jangan sampai seleksi ini lebih banyak dimanfaatkan job seeker. Saya beberapa kali terlibat di panitia seleksi kerap mendapati para pencari kerja yang sama. Lu lagi, lu lagi.
Apa yang Kapolri sampaikan saat bertemu dengan panitia seleksi?
Beliau ingin ada wakil polisi di KPK. Kami tanya alasannya. Dia bilang, kalau ada polisi di KPK, bagus untuk sinergi dan mempermudah koordinasi. Dia menceritakan pengalaman petugas KPK digebuki karena masyarakat tidak tahu identitas mereka dan tidak ada koordinasi dengan polisi. Menurut kami, itu masuk akal.
Anda sependapat instansi penegak hukum seperti KPK semestinya diisi oleh polisi dan jaksa?
Kami bersandar pada Undang-Undang KPK, yang menyebutkan komisioner terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Penegak hukum termasuk unsur pemerintah. Menurut saya, kalau seorang penegak hukum memenuhi kriteria dan bisa masuk sebagai pemimpin KPK, tentu lebih bagus.
Alasannya?
Ini lembaga penegak hukum yang lawannya koruptor dengan sederet pengacara hebat. Proses mencari bukti, menangkap, menyita, dan lainnya butuh skill khusus.
Marcus Priyo Gunanto: Pasal 21 ayat 5 Undang-Undang KPK menyatakan pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum. Mereka menjalankan fungsi teknis yuridis sebagai penyidik dan penuntut umum. Bagaimana jadinya kalau pimpinan yang terpilih tidak punya pengetahuan teknis yuridis di kedua bidang itu?
Jadi, menurut panitia, pemimpin KPK sebaiknya dari polisi atau jaksa?
Kami tidak pernah mengatakan harus dari kepolisian dan kejaksaan, lho. Jangan keliru. Kalau bicara harus ada dari kepolisian, kejaksaan, dan lainnya, melanggar undang-undang. Tapi calon pimpinan harus mempunyai pengetahuan dan kemampuan di bidang penyidikan dan penuntutan. Sebab, dia akan menjalankan fungsi itu. Yang punya kemampuan di bidang itu siapa, ya dia saja.
Belakangan, aktivis antikorupsi mengimbau jangan ada polisi dan jaksa di jajaran komisioner KPK. Tanggapan Anda?
Lalu unsur pemerintahnya mana? Artinya ketentuan bahwa komisioner terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat tidak terpenuhi. Begitu juga kalau komisioner dari polisi atau jaksa semua. Kita harus berjalan sesuai dengan koridor undang-undang. Jangan sampai kita emosional. Hanya karena apriori jadi membenci semua polisi dan jaksa, bahkan lembaganya. Masa kepengurusan pertama, 2003-2007, di bawah Pak Taufiequrachman Ruki dan Tumpak Hatorangan Panggabean, KPK bagus sekali. Pak Ruki polisi dan Pak Tumpak jaksa. Ketua berikutnya, Pak Antasari Azhar, juga jaksa. Banyak yang berpendapat KPK paling bagus pada masa kepengurusan pertama dan kedua. Cobalah lihat ke belakang. Jangan sepenggal-penggal. Menurut saya, kalau mengikuti keinginan jangan ada polisi dan jaksa di KPK, koruptor malah senang.
Hamdi Moeloek: Meski raison d’etre pembentukan KPK seperti itu, kami tetap harus memenuhi amanat undang-undang bahwa pimpinan KPK terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Panitia seleksi bekerja secara obyektif, netral, dan independen sesuai dengan ketentuan. Kalau mengikuti seruan seperti itu, kami salah. Polisi dan jaksa memiliki hak yang sama dengan warga lain untuk mendaftarkan diri.
Seberapa besar kemungkinan kandidat tercoret akibat kesalahan pada masa lalu?
Empat tahun lalu ada yang seperti itu. Kami tanyakan soal sesuatu, dia tidak menjawab. Ya, sudah, kami coret. Ada juga yang kami tanyai soal rekening. Dia tidak dapat mengkonfirmasi. Ya, gagal. Bagian paling sulit adalah memvalidasi informasi. Kami menjaring informasi dari tiga-empat sumber, termasuk Badan Intelijen Negara dan lembaga swadaya masyarakat. Di tahap akhir itu, kami juga menurunkan tim tracking untuk menelusuri keseharian kandidat, relasi sosial, hubungan dengan senior, dan lainnya.
Termasuk penelusuran terhadap paham keagamaan?
Ya. Mohon maaf, kami tracking sampai pasangannya, anaknya, orang tuanya. Kalau terindikasi ikut paham radikal, nanti enggak fokus kerjanya. Ini semua untuk menjaga KPK.
Apakah pemantauan ini terkait dengan mencuatnya isu kelompok yang dijuluki “Taliban” di KPK?
Tidak ada hubungannya. Tanpa isu itu pun kami telusuri. Kami berkeliling ke banyak kementerian. Hampir semua menteri sepakat paham radikalisme telah masuk sampai ke petinggi. Ini fenomena umum yang hendak kami cegah.
Menurut aktivis antikorupsi, panitia seharusnya mencoret perwira polisi yang tidak melampirkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Pembelaan Anda?
Soal LHKPN ada dalam salah satu berkas yang menyatakan bahwa, jika terpilih, kandidat bersedia menyerahkan LHKPN. Itu bukan syarat administratif awal. Baru diperlukan di tahap akhir, saat terpilih lima orang hasil uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Bahkan LHKPN belum dibutuhkan saat kami menyerahkan sepuluh nama kandidat ke Presiden.
Bukankah Pasal 29 Undang-Undang KPK mewajibkan kandidat mengumumkan kekayaannya?
Ya. Syarat itu berlaku kalau sudah terpilih. Saat itu sudah bukan urusan kami lagi.
Kenyataannya, beberapa calon melaporkan kekayaannya….
Yang sudah kena wajib lapor biasanya melampirkan, meskipun banyak juga yang masa laporannya sudah lewat lama, ha-ha-ha….
Anda disebut dekat dengan kepolisian sehingga berpotensi memberikan keistimewaan kepada kandidat dari kepolisian. Benarkah?
Saya dekat karena mengajar di pendidikan dan pelatihan di kepolisian. Tapi bukan berarti saya selalu mengikuti kemauan mereka. Saya orang yang menentang keras keinginan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian mewajibkan gelar sarjana untuk masuk Akademi Kepolisian pada 2005-2007. Itu penghinaan bagi dunia pendidikan. Sarjana masuk akademi itu turun derajat. Saya juga beberapa kali menolak permintaan menjadi penasihat Kapolri. Kalau masuk sistem, saya tidak bisa bebas mengkritik polisi.
Bagaimana dengan fakta Anda sering menjadi saksi ahli polisi sejak 20 tahun lalu?
Saya sebatas memberikan keterangan sebagai ahli secara profesional, dapat honor, sudah. Lagi pula, saya tidak sendirian di panitia. Kami bersembilan.
Justru di antara sembilan orang itu banyak yang kerap bekerja sama dengan polisi....
Itu kan Presiden yang memilih. Mana tahu saya, ha-ha-ha…. Sebagian anggota panitia, seperti Pak Al Araf, baru saya temui di sini.
Panitia akan dikritik jika hasil seleksi memunculkan komisioner dengan mayoritas unsur pemerintah....
Sepanjang sudah melakukan proses seleksi dengan benar, kami enggak peduli. Tanggung jawab kami ke Presiden.
Hamdi: Sepuluh orang itu terbaik dari yang ada. Mungkin bukan orang terbaik di republik ini. Tapi yang terbaik itu tidak mendaftar, kita bisa apa? Kami paham ekspektasi publik yang sangat geram terhadap korupsi sehingga publik berharap kami menemukan semacam Avengers yang bisa membunuh korupsi yang sedemikian besar seperti Thanos, ha-ha-ha….
Apa tanggapan Anda terhadap tudingan bahwa seleksi kali ini bagian dari upaya pelemahan KPK?
Tidak ada hal seperti itu. Bagaimana kami bisa melemahkan KPK? Kerja saja belum selesai. Jangan berharap terlalu tinggi. Kami bukan mencari manusia setengah dewa. Kami mencari manusia yang ingin menguatkan KPK, sesuai dengan marwahnya saat didirikan.
Apakah panitia mengevaluasi komisioner periode 2015-2019?
Pasti. Itu hal yang kami bahas dalam rapat pertama. Kami melihat kinerja, problem, kelemahan, lalu mencari solusinya. Kami juga menemui para komisioner dan Wadah Pegawai KPK.
Pembenahan apa yang perlu menjadi prioritas?
Ada sejumlah hal. Bagi saya, perampasan hasil korupsi lemah sekali. Ini fatal. KPK selalu mengatakan korupsi yang tersangka lakukan bukan yang pertama kali. Artinya ada pencucian uang, tapi tidak dikembangkan ke sana. KPK mengatakan tidak semua korupsi adalah pencucian uang. Itu paradigma yang tidak tepat. Semua kasus korupsi adalah pencucian uang, kecuali pelaku baru sekali melakukan korupsi dan langsung tertangkap.
Seberapa penting penggunaan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus korupsi?
Untuk melacak uang hasil korupsi dan mengembalikannya ke negara, sekaligus menjerat siapa pun yang ikut menyembunyikannya. Dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, uang pengganti bisa diganti dengan penjara, maksimal hanya dua tahun. Jadi koruptor yang nilep Rp 20 miliar, misalnya, akan memilih tambahan kurungan itu ketimbang mengembalikan uang negara. Dalam money laundering, tidak ada bargaining seperti itu.
Apakah semangat anti-pencucian uang ini yang menjadi alasan Presiden menunjuk Anda sebagai ketua panitia seleksi?
Presiden tidak menyebutkan secara spesifik. Tapi, saat saya pertama kali masuk panitia seleksi, dia mengatakan, “Bu Yenti terpilih karena kita perlu TPPU.” Mungkin sekarang semangatnya sama.
Apa masalah lain di KPK?
Ada masalah internal di KPK. Kita butuh orang yang bisa memperbaiki itu. Bagaimana bisa Wadah Pegawai menggugat komisioner di Pengadilan Tata Usaha Negara? (Pada 19 September 2018, Wadah Pegawai KPK menggugat lima komisioner KPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta terkait dengan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 1426 Tahun 2018 tentang Tata Cara Mutasi di Lingkungan KPK.)
Saat Anda menjadi anggota panitia empat tahun lalu ada masalah seperti ini?
Tidak ada. Makanya kami heran. Kok, bisa seperti ini? Bagi saya, kalau ada masalah dalam lembaga, berarti pemimpinnya yang bermasalah. Artinya ini soal leadership. Jadi kami mencari pimpinan yang bisa merangkul semua.
Bisakah disimpulkan bahwa KPK periode 2015-2019 lemah?
Bukan lemah, tapi sempat ada problem. (Tersenyum.)
Anda ikut berperan dalam problem itu karena meloloskan komisioner dalam seleksi empat tahun lalu….
Betul. Itu tidak lepas dari sumber daya yang mendaftar. Saat itu kami mengatakan para kandidat kurang bagus. Tapi yang bagus tidak mendaftar. Dari 600 orang berkurang jadi 194 setelah proses administrasi dan 40 orang setelah uji kompetensi. Di tahap selanjutnya, profile assessment, kami sempat takut semua peserta akan gugur.
Penilaian itu juga berlaku pada komisioner Laode Muhammad Syarif, Alexander Marwata, dan Basaria Panjaitan, yang kembali mencalonkan diri?
Ada yang bilang tiga komisioner itu dimasukkan kembali. Ada yang bilang jangan. Kalau memang mereka memenuhi semua persyaratan, ya masuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yenti Garnasih
Tempat dan tanggal lahir: Sukabumi, 11 Januari 1959 | Pendidikan: SMA 1 Purworejo, lulus 1978; Sastra Jerman IKIP Yogyakarta (masuk 1979, tidak lulus), Sarjana Hukum Universitas Pakuan (1987-1991), Master Hukum Universitas Indonesia (1991-1993), Doktor Tindak Pidana Pencucian Uang Universitas Indonesia (1998-2003) | Pekerjaan: Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti (1992-sekarang), Panitia Seleksi Komisi Kepolisian Nasional 2015, Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK 2015 dan 2019 | Organisasi: Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (2018-2022)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo