Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda, akhirnya mulai menggelar sidang praperadilan kasus kekerasan masif yang menimpa kaum Rohingya asal Myanmar pada Kamis, 25 Juli lalu. Sidang dengan hakim Olga Herrera Carbuccia dari Republik Dominika, Robert Fremr asal Republik Cek, serta Geoffrey Henderson dari Trinidad dan Tobago itu akan menentukan apakah penyelidikan penuh atas kasus ini dapat dilanjutkan atau tidak.
Pada September 2018, hakim Mahkamah menetapkan kasus Rohingya dapat diangkat. Alasannya, meskipun Myanmar tidak meratifikasi Statuta Roma, yang menjadi dasar pendirian Mahkamah, Bangladesh telah meratifikasinya pada 23 Maret 2010 sehingga Mahkamah memiliki yurisdiksi atas kasus ini. Jika hakim praperadilan setuju, ICC menjadi pengadilan pertama yang mengadili kasus ini.
Kasus itu dibawa ke ICC oleh Fatou Bensouda, kepala divisi penuntutan Mahkamah. Ahli hukum asal Gambia itu telah melakukan pemeriksaan awal atas kasus pembunuhan dan penyerangan oleh militer Myanmar terhadap kaum minoritas muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Kekerasan pada 2017 itu memaksa sekitar 700 ribu warga Rohingya mengungsi ke negara tetangga, Bangladesh, dan sejumlah negara lain. Laporan investigasi Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan sejumlah jenderal Myanmar bertanggung jawab atas kasus tersebut.
Sejak terpilih menjadi penuntut utama Mahkamah pada 2012, Bensouda telah mengangkat banyak kasus kejahatan kemanusiaan di berbagai negara. Saat ini, selain menangani kasus Rohingya, dia sedang memeriksa perkara pembunuhan dalam program perang melawan narkotik oleh Presiden Filipina Rodrigo Roa Duterte dan keterlibatan tentara Amerika Serikat dalam kejahatan perang di Afganistan, Polandia, Romania, serta Lituania.
Bensouda telah mengukir prestasi di lingkaran peradilan internasional melalui berbagai pengadilan di ICC, termasuk dalam kasus genosida di Rwanda dan penggunaan tentara anak-anak di Republik Demokratik Kongo. Kasus-kasus itu menyeret banyak tokoh terkenal yang kebanyakan dari Afrika, seperti Presiden Sudan Omar al-Bashir dan pemimpin Libya, Muammar Qadhafi.
Tapi Bensouda tak peduli terhadap status para tersangka. Dia hanya melihatnya sebagai kesempatan bagi korban untuk bersuara. “Saya tak memikirkan para pemimpin yang kami buru,” katanya kepada AFP. “Saya bekerja untuk para korban di Afrika. Mereka orang Afrika seperti saya. Dari sanalah saya mendapat ilham dan kebanggaan saya.”
Fatou Bensouda lahir pada 31 Januari 1961 dari sebuah keluarga muslim di Banjul, ibu kota Gambia. Ibunya ibu rumah tangga. Ayahnya, Omar Gaye Nyang, pegawai negeri dan promotor gulat beristri banyak. Menurut Nairobi Sun, saat masih kecil, Bensouda menyaksikan bagaimana kakaknya disiksa beberapa kali oleh suami sang kakak. Dia lantas membawa kakaknya ke kantor polisi untuk melaporkan kasus tersebut. Tapi polisi menyuruh mereka pulang karena mengaku tak bisa mencampuri urusan keluarga. Itulah yang mengilhami Bensouda mempelajari ilmu hukum.
Bensouda menempuh sekolah menengah pertama dan atas di kampung halamannya. Ia biasa menyelinap masuk ke pengadilan-pengadilan di dekat sekolah untuk menonton sidang sampai diusir petugas. Dia menyaksikan ketidakadilan, khususnya terhadap para perempuan. “Saya merasa mereka tidak mendapat perlindungan hukum. Bagi saya, itu salah satu hal yang mendorong saya mengambil keputusan untuk mengatakan, ‘Inilah yang hendak saya lakukan’,” tuturnya kepada The Guardian.
Ia pergi ke Nigeria pada 1982 untuk kuliah di University of Ife dan meraih gelar sarjana hukum pada 1986. Setahun kemudian, dia mendapat izin beracara dari Nigerian Law School. Dia lalu melanjutkan studi ke sekolah pascasarjana International Maritime Law Institute di Malta dan lulus sebagai ahli hukum maritim internasional Gambia pertama.
Pada 1987, dia pulang ke negaranya dan menjadi jaksa penuntut umum. Dia sempat menjadi manajer di International Bank for Commerce selama dua tahun, tapi kemudian mengundurkan diri. “Itu bukan saya. Saya merindukan pengadilan,” ucapnya.
Tatkala Bensouda menjadi jaksa, Gambia sedang bergolak. Yahya Abdul-Aziz Jammeh, pemimpin polisi militer negeri itu, melancarkan kudeta tak berdarah terhadap Presiden Dawda Jawara pada Juli 1994. Kudeta itu berhasil dan Jawara kabur ke luar negeri. Jammeh kemudian mengangkat dirinya sebagai Ketua Dewan Angkatan Bersenjata Penguasa Sementara (AFPRC)—junta militer negeri itu—dan berkuasa lewat dekrit hingga terpilih menjadi presiden melalui pemilihan umum pada 1996. Saat menyusun kabinet, Jammeh memilih Bensouda sebagai jaksa agung muda dan kemudian Menteri Kehakiman pada 1998-2000.
Jammeh berkuasa selama 22 tahun hingga lengser setelah kalah dalam pemilihan umum 2016. Pada masa kepemimpinannya, pers ditekan, jurnalis serta tokoh oposisi dipenjara, sejumlah politikus diculik, dan kaum homoseksual dilarang. Rezimnya dituduh bertanggung jawab terhadap penembakan 14 mahasiswa dalam sebuah demonstrasi pada 2000. Selain itu, seribu orang diduga diculik agen pemerintah dalam misi pembersihan penyihir.
Atas persetujuan parlemen, Adama Barrow, presiden pengganti Jammeh, membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 2017. Komisi itu kini mulai melakukan penyelidikan terhadap berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia pada era Jammeh. Banyak pihak di Gambia memprotes Bensouda, yang cuma diam ketika berada dalam kabinet Jammeh. Kini mereka menuntut Bensouda berperan dalam Komisi Kebenaran, meski komisi ini tidak masuk kewenangan ICC.
“Kantor saya akan memantau perkembangan di Komisi dengan perhatian besar,” katanya. “ICC siap menjalankan mandat Statuta Roma yang independen dan parsial dengan keyakinan dan dedikasi sama sebagaimana yang kami lakukan di segala tempat yang menjadi yurisdiksi kami.”
Bensouda mengawali kiprahnya di kancah peradilan internasional sebagai jaksa pada Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda di Tanzania. Sejak terpilih menjadi wakil penuntut ICC pada Agustus 2004, dia terlibat dalam sejumlah kasus kakap, termasuk penuntutan terhadap Thomas Lubanga, panglima perang Kongo yang terbukti bersalah telah menculik anak-anak dan memaksa mereka berperang.
Setelah delapan tahun menjadi orang nomor dua di bawah Luis Moreno-Ocampo, ahli hukum Argentina yang lama memimpin divisi penuntutan ICC, Bensouda memegang kursi penting itu pada 2012. Dia menjadi perempuan pertama sekaligus orang Afrika pertama yang memimpin divisi tersebut. Sejak itu, dia menjadi “orang yang paling berkuasa di dunia”, yang menentukan diangkat atau tidaknya suatu kasus, yang banyak menyeret pemimpin negara ke meja hijau.
Promosinya didukung Uni Afrika, organisasi 55 negara di Afrika, yang berharap ICC tak lagi condong ke Barat dan hanya sibuk mengadili orang-orang Afrika. “Kami tidak menentang ICC. Apa yang kami tentang adalah keadilan Ocampo,” ujar Jean Ping, Ketua Komisi Uni Afrika saat itu. “Apa tidak ada negara lain yang lebih buruk, Myanmar, misalnya?”
Bensouda membantah tudingan soal sikap bias anti-Afrika pada lembaga yang dipimpinnya. Sebagian besar konflik yang sedang diselidikinya memang terjadi di benua itu. Namun, dia menjelaskan, kebanyakan penanganan kasus merupakan permintaan dari negara bersangkutan. Adapun kasus Libya dan Darfur di Sudan ditangani atas permintaan Dewan Keamanan PBB. Hanya kasus Kenya yang ditangani langsung oleh ICC.
Bensouda berjaya di ICC, tapi tidak demikian dengan kehidupan rumah tangganya. Ia menikah dengan Philip Bensouda, pengusaha Gambia keturunan Maroko, dan memiliki dua putra serta mengadopsi seorang keponakannya. Namun George Bensouda, putra kandungnya yang tinggal di Saint Paul, Minnesota, Amerika Serikat, diadili karena perkara kepemilikan senjata api, penembakan, dan kokain. George kemudian tewas ditembak seorang pemuda di depan St. Paul Saloon pada 2017 setelah terjadi percekcokan.
IWAN KURNIAWAN (THE POINT, AFP, THE GUARDIAN, NAIROBI SUN, BBC, TWIN CITIES)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo