Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kantor PT Asuransi Jiwa Bakrie menyempil di -antara toko penyedia jasa pijat dan penjual suku cadang mobil di blok D lantai 3A, Blok M Square, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Jaraknya hanya belasan meter dari toilet yang lantainya terlihat basah. Pintu-pintu di sekitarnya tertutup rapat.
Tak ada papan nama di dinding kaca dan pintu kantor. Meja-mejanya pun terlihat kosong. Hanya satu pegawai bersandal yang terlihat berada di dalam kantor seluas 4 x 6 meter tersebut. “Pegawai lain belum ada yang datang sejak pagi tadi,” kata Darto, pegawai itu, kepada Tempo, Jumat, 26 Juli lalu.
PT Asuransi Jiwa Bakrie berkantor di lokasi perbelanjaan itu sejak setahun lalu. Per-usahaan asuransi yang kerap disebut Bakrie Life ini pernah tercatat sebagai perusahaan asuransi mentereng dan berkantor di kawasan bisnis Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Produk asuransi premium unggulannya bernama Diamond Investa dengan bunga 13-13,75 persen per tahun. Jumlah nasabahnya sebanyak 384 orang dengan dana pokok mencapai Rp 337 miliar pada 2008.
Bisnis perusahaan Grup Bakrie ini redup sejak 2008. Bakrie Life berstatus gagal bayar sejak Oktober 2008. Mereka tak sanggup membayar bunga dan mengembalikan dana pokok nasabah karena kesulitan likuiditas. “Sejak itu, pembayaran bunga dan pengembalian uang kami di Bakrie Life serba tidak jelas,” ujar Agus Winata, 58 tahun, salah satu nasabah Diamond Investa, Rabu, 16 Juli lalu.
Agus bersama 15 nasabah lain melaporkan PT Asuransi Jiwa Bakrie dan direktur utama perusahaan itu, Timoer Sutanto, ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI pada Selasa, 9 April lalu. Mereka meng-anggap Bakrie Life tidak memiliki iktikad baik untuk membayarkan bunga dan me-ngembalikan uang nasabah. Negosiasi selalu kandas. “Bakrie Life mengingkari janji-janji kepada nasabah,” kata Paulus Jimmy-theja, pengacara para nasabah itu.
Para nasabah itu baru pada April lalu melaporkan Bakrie Life ke polisi karena kesulit-an menerapkan pasal pidana dalam perkara ini. Mereka ingin Bakrie Life dihukum dan mengembalikan uang nasabah. Para nasabah pun sebelumnya terpecah-belah. “Awalnya ini hendak dibawa hanya untuk perkara perdata,” ujar Wahjudi, 76 tahun, salah satu nasabah yang ikut mengadu ke polisi.
Wahjudi memiliki tiga polis Diamond Investa senilai total Rp 3 miliar. Satu polis menggunakan nama istrinya. Mereka membeli polis demi mempersiapkan dan memanfaatkan dana pensiun. Salah satu manfaat Diamond Investa adalah terdapat asuransi kematian. Namun Wahjudi tak mendapat kompensasi apa pun saat istrinya wafat pada 2011.
Bakrie Life pernah mengirimkan uang Rp 478 juta ke rekening Wahjudi. “Uang segitu bahkan tak cukup untuk membayar bunga yang dijanjikan,” kata Wahjudi de-ngan suara serak. Ia menghitung akan menerima Rp 68,6 miliar pada Mei lalu jika Bakrie Life tertib membayarkan kewajib-an.
Alasan ini pula yang membuat Freddy Koes Hariono, 73 tahun, berang. Nasib uang tabungannya berjumlah Rp 3 miliar di asuransi itu masih tak jelas. “Mereka melanggar hak-hak konsumen dengan tidak memberikan sesuai dengan perjanjian asuransi,” ucap Freddy, Rabu, 16 Juli lalu.
Kantor PT Asuransi Jiwa Bakrie di blok D lantai 3A, Blok M Square, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan./istimewa
Menurut Paulus Jimmytheja, kasus gagal bayar Bakrie Life dilaporkan ke Bareskrim karena memenuhi unsur pidana, yakni penipuan asuransi. Dalil pelapor adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindung-an Konsumen. Ancaman hukuman penjara kepada eksekutif Bakrie Life mencapai 5 tahun dan denda Rp 5 miliar. “Bakrie Life tidak memiliki iktikad yang baik kepada nasabah untuk menyelesaikan kewajibannya,” ujar Paulus.
Mereka juga menyertakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Paulus mengatakan nasabah tak ragu membeli produk asuransi Bakrie Life karena nama besar kelompok usaha Bakrie saat itu. Ia mengklaim perjanjian pokok Diamond Investa menyebutkan 90 persen uang nasabah akan ditanam di obligasi dengan rating A, sisanya akan ditanam ke saham dan deposito. “Uang nasabah diduga digunakan untuk investasi lain yang berpotensi terjadi pidana pencucian uang,” katanya.
Laporan Agus dan 15 nasabah itu ditangani Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan penyelidik sudah memeriksa sedikitnya sepuluh saksi. “Masih dalam pendalaman karena perusahaannya sudah dicabut izin usahanya,” ujar Dedi.
Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha PT Asuransi Jiwa Bakrie pada 15 September 2016. Pencabutan itu membuat Bakrie Life harus menurunkan papan nama perusahaan, menyelenggarakan rapat umum pemegang saham, lalu membubarkan sejumlah kantor. Bakrie Life juga wajib membentuk tim likuidasi yang akan mengurus kewajiban pembayaran utang kepada para nasabah.
OJK, kata Paulus, seharusnya mengawasi tim likuidasi setelah pencabutan izin usaha Bakrie Life. OJK pernah mengundang para nasabah dan eksekutif Bakrie Life pada 16 Mei lalu. Namun pertemuan itu tak membuahkan hasil. Padahal, menurut Paulus, OJK bertugas menagih kewajiban Bakrie Life. “OJK terlihat lembek kepada Bakrie Life,” tuturnya.
Juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, mengakui adanya pertemuan pada 16 Mei itu. Ia menyebutkan pertemuan itu bertujuan mendorong dialog antara nasabah dan Bakrie Life untuk menyepakati penyelesaian kewajiban. “OJK selalu mendorong penyelesaian yang tuntas secara lebih cepat,” katanya. Ihwal laporan para nasabah ke polisi, pihaknya mempersilakan perkara itu diproses sesuai dengan hukum.
Direktur Utama PT Asuransi Jiwa Bakrie, Timoer Sutanto, dalam keterangan tertulis menyebutkan investasi perusahaan goyah akibat krisis ekonomi Asia pada 2008. Nilai saham Grup Bakrie turut goyah akibat krisis itu. Namun ia mengklaim nasabah mendapat banyak manfaat sebelum krisis tersebut. “Perusahaan merugi dan berakibat mengalami kendala membayar kewajiban kepada nasabah,” ujar Timoer.
Timoer menolak jika Bakrie Life disebut telah menjanjikan bahwa dana nasabah akan diinvestasikan ke obligasi dan deposito. Ia mengatakan perusahaan berwenang memilih instrumen investasi untuk mengelola dana nasabah. Timoer juga menyebutkan laporan para nasabah ke polisi keliru karena urusan ini seharusnya masih di ranah perdata. “Segala ketidakpuasan nasabah seharusnya diselesaikan lewat mekanisme keperdataan,” katanya. MUSTAFA SILALAHI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo