Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kami Tak Akan Berhenti Menyelesaikan Kasus BLBI

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif

13 Juli 2019 | 00.00 WIB

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif/ TEMPO/Imam Sukamto
Perbesar
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif/ TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kerja panjang ­Komisi Pemberantasan Korup­si terancam buyar. Sya­fruddin Arsyad Temenggung, terdakwa ka­­sus korupsi penerbit­an surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, dilepaskan dari tuntutan berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung pada Selasa, 9 Juli lalu.

KPK mengusut korupsi BLBI sejak 2013. Titik terang baru mereka dapatkan dua tahun lalu sehingga dapat menjerat Syafruddin. Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional itu disebut melakukan korupsi bersama pengusaha Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, sehingga membuat negara merugi Rp 4,58 triliun. KPK menetapkan Sjamsul sebagai tersangka pada Juni lalu. Syafruddin dija­tuhi vonis 13 tahun penjara dan denda Rp 700 miliar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang lalu diperberat menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar setelah banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Januari lalu.

Dalam kasasi di Mahkamah Agung, semuanya berbalik. Tiga hakim agung memberikan tiga penda­pat berbeda. Satu hakim menyatakan Syafruddin bersalah karena korupsi, satu menyebut tindakannya sebagai perbuatan perdata, dan satu lainnya menganggap itu pelanggaran administrasi. “Ini pertama kalinya terjadi dalam sejarah Mahkamah Agung,” kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, 54 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo.

Ia mengatakan banyak kejanggalan dalam putusan Mahkamah Agung tersebut, dari tata bahasa yang berantakan, kemunculannya yang tepat pada hari terakhir masa penahanan, dan, untuk pertama kalinya, terdapat tiga kesimpulan dari tiga hakim agung. “Kami berharap Mahkamah Agung tidak melukai rasa keadilan masyarakat,” ujarnya.

Kamis malam, 11 Juli lalu, Syarif menerima wartawan Tempo, Sapto Yunus, Anton Aprianto, Mustafa Silalahi, Reza Maulana, dan Maya Ayu Puspitasari, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam wawancara yang diselingi beberapa informasi off the record itu, ia juga membahas korupsi kepala daerah, Rancang­an Undang-Undang Penyadapan, dan seleksi calon pemimpin KPK.

Apa tanggapan Anda tentang putusan Mahkamah Agung yang menga­bulkan kasasi Syafruddin Temenggung?

Aneh. Mahkamah Agung menye­butkan bahwa dakwaan kami terbukti, tapi dikatakan bukan pidana, melainkan ranah perdata dan administrasi. Menurut kami, bukan. Itu ranah pidana karena ada kerugian negara dan perbuatan melawan hukum. Sebagai contoh, A berutang Rp 100 ribu kepada B. Untuk melunasinya, A membayar dengan dua buku. Harganya ternyata cuma Rp 30 ribu, tapi dianggap lunas. Itu ada pidananya. Dengan jabatannya, SAT (Sya­fruddin Arsyad Temenggung) me-write off utang itu dan memperkaya pihak lain. Jadi memenuhi syarat pidana korupsi.

Mahkamah Agung menyatakan Syafruddin sekadar menjalankan kebijakan.

Dia tahu jumlah yang dibayarkan itu tidak sesuai dengan nilai utang. Dia tahu jelas hitung-hitungannya. Mengapa dia keluarkan surat lunas? Bahkan aset yang dipakai untuk membayar utang itu pun banyak masalahnya.

Sejak awal KPK tidak memikirkan hal itu?

Sudah. Bahkan pertentangan itu sudah dimasukkan dalam materi praperadilan, dua tahun lalu. Pihak SAT menganggap ini kasus perdata, tapi praperadilan mengatakan ini tindak pidana korupsi. Itu dari segi prosedur. Dari segi materiel, pengadilan tingkat satu mengatakan SAT memenuhi unsur tindak pidana korupsi, bukan perdata, sehingga dihukum 13 tahun penjara. Di tingkat banding, dia kena lagi, bahkan hukumannya ditambah menjadi 15 tahun penjara.

Tiga hakim agung memberikan tiga putusan berbeda. Tanggapan Anda?

Ini berbanding terbalik dengan putusan sebelumnya yang tidak ada dissenting opinion. Bulat di praperadil­an, bulat di pengadilan negeri, bulat di pengadilan tinggi. Ketika di Mahkamah Agung, dari tiga hakim, ketiganya berbeda. Satu sesuai de­ngan putusan sebelumnya, yaitu pidana; hakim kedua mengatakan ini perdata; hakim ketiga mengatakan ini pelanggaran administrasi. Artinya, suara tiap hakim 30 persen. Tidak ada kesamaan pendapat yang solid dari ketiga hakim. Ini pertama kali terjadi dalam sejarah Mahkamah Agung.

Mengapa suara yang menyatakan pidana dikalahkan?

Karena pilihannya antara pidana dan bukan pidana. Mayoritas menyatakan bukan pidana. Tapi yang mayoritas pun berbeda. Ini tidak lazim.

KPK pernah mengantisipasi hasil kasasi tersebut?

Sehari sebelumnya, kami menggelar konferensi pers, mengabarkan masa tahanan SAT habis pada 9 Juli pukul 24.00. Kami tidak mau disalahkan kalau menahan tanpa dasar. Kami berharap Mahkamah Agung segera menetapkan putusan. Ternyata hari itu MA memutuskan. Ini pun tidak wajar. Biasanya putusan keluar beberapa hari sebelum habis masa penahanan. Ini kok tepat sekali pada hari terakhir.

Apa pangkal kecurigaan Anda?

Putusan ini seperti dibuat secara terburu-buru. Dalam petikan putus­an, kalimatnya berantakan. Misalnya, “...melepaskan terdakwa tersebut oleh karena itu dari segala tuntutan hukum.”

KPK mengawasi ketiga hakim agung tersebut?

Kami tidak pernah mengawasi hakim. Kami menghormati pekerjaan hakim.

Apa tindakan pertama yang KPK lakukan setelah Mahkamah Agung menyatakan putusan itu?

Sejam setelah mereka menggelar konferensi pers, kami langsung minta jaksa, direktur penuntutan, kepala biro hukum, pelaksana tugas deputi penindakan, dan biro humas menghadap. Saat itu Pak Agus (Rahardjo) dan Pak Alex (Marwata) sedang tidak ada. Kami minta update dan penjelasan soal putusan itu.

Wakil Ketua Komisi Pembe­rantasan Ko­­rupsi Laode Muhammad Syarif (tengah) dalam gelar barang bukti uang hasil OTT./ TEMPO/Imam Sukamto

Rapat itu membahas langkah hukum?

Saat itu kami sudah membicarakan opsi-opsi. Tapi belum bisa saya sampaikan karena harus membaca putusan lengkap. Sekarang kami baru mendapat petikan putusan, setelah saya minta ke Mahkamah Agung. Jadi pertimbangan hukumnya kami belum tahu.

Sejumlah opsi tersebut termasuk peninjauan kembali?

Sekali lagi, kami menunggu putusan lengkap dari Mahkamah Agung. Insya Allah, kami akan menentukan sikap satu-dua pekan ke depan. Anda akan mendapatkan kabarnya.

Mungkinkah KPK menggugat secara perdata demi mengembalikan uang negara?

Kami tidak boleh menuntut secara perdata. Hak itu ada di kejaksaan.

Apakah putusan Mahkamah Agung ini berdampak pada penuntutan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia?

Ya. Kasus ini banyak sekali hambat­annya. SJN (Sjamsul Nursalim) melarikan diri ke luar negeri. Kalau dia tak bersalah atau menganggap kasus ini perdata dan sebagainya, dia tidak perlu melarikan diri. Kedua, SJN menggugat perdata temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan. Saat ini sidang berlangsung di Pengadilan Negeri Tangerang. Ini kasus besar. Makin besar pohon, makin besar pula angin yang menerpanya.

Penyidikan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim bisa diteruskan meski Syafruddin lepas dari tuntutan?

Ini kan bukan kasus suap, yang ada pemberi, ada penerima. Ini terkait dengan Pasal 2 (perbuatan memperkaya diri dan orang lain) dan Pasal 3 (menyalahgunakan kewenangan yang merugikan keuangan negara) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Keberadaan Sjamsul Nursalim di luar negeri menyulitkan penyelidikan?

Penetapan tersangka mereka in absentia (tanpa kehadiran). Kami menyerahkan surat panggilan ke kediaman mereka, baik di Indonesia maupun Singapura, tapi orang di rumahnya tidak mau menerimanya. Perlawanan hukum yang mereka lakukan nyata sekali. Kami bekerja sama dengan lembaga antikorupsi negara sahabat. Mudah-mudahan mereka bisa membantu.

Bagaimana strategi KPK menjerat Sjamsul Nursalim?

Tidak semua strategi bisa kami ungkap. Yang perlu publik tahu, ini adalah kejahatan yang merugikan negara Rp 4,58 triliun. KPK bersungguh-sungguh membongkarnya. Kami tidak akan berhenti menyelesaikan kasus ini karena ini adalah utang dari beberapa komisioner sebelumnya. Ini telah menjadi utang lembaga ini.

Mengingat usia Sjamsul yang 77 tahun, mengapa KPK tidak berfokus pada pengembalian uang negara?

Memang begitu semangat kami. Bahwa mereka melakukan kejahatan, ya. Tapi hukuman badan bukan satu-satunya penyelesaian kasus korupsi. Masyarakat harus paham bahwa tujuan kasus ini sebenarnya bukan untuk menghukum orang, tapi mengembalikan uang yang besar itu.

Seberapa jauh lagi jalan untuk membawanya ke pengadilan?

Kita tunggu saja secara wajar. Kami berharap kearifan Mahkamah Agung. Ini merupakan kasus terbesar yang pernah KPK tangani. Kerugiannya Rp 4,58 triliun. Belum pernah ada korupsi sebesar itu. Dua kali lipat kasus e-KTP yang Rp 2,3 triliun. Masyarakat selalu menuntut agar kasus ini terselesaikan. Kami berharap Mahkamah Agung tidak melukai rasa keadilan masyarakat.

Apa pandangan Anda soal Ran­cangan Undang-Undang Penyadapan yang mewajibkan penyadapan harus lewat kejaksaan dan pengadilan?

Pengaturan penyadapan ini bukan hanya untuk KPK, tapi juga aparat penegak hukum lain. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Badan Narkotika Nasional, misalnya, harus cepat melakukan penyadapan. Kalau harus dikoordinasikan lewat kejaksaan dan menda­patkan persetujuan pengadilan, lost of opportunity-nya tinggi sekali. Yang lebih parah, penyadapan hakim harus mendapat persetujuan Mahkamah Agung. Untuk kondisi Indonesia, sulit.

Ada pengecualian bagi KPK di draf ­terbaru....

Akan kami kawal soal itu.

Apakah pengecualian tersebut mem­buat KPK tetap leluasa menya­dap?

Di draf itu ditulis penyadapan dilakukan di tahap penyidikan. Di KPK, penyelidikan berlangsung sebelum penetapan status tersangka, berbeda dengan penyidikan. Kami melakukan penyadapan di tahap penyelidikan. Kalau sudah penyidik­an, buat apa lagi?

Apa sikap KPK?

Kami baru membentuk tim untuk membahas itu hari ini. Memang agak telat. Kami akan membaca lagi secara lebih rinci dan akan memasukkan usul resmi.

Apa gambaran masukan itu?

Kami tidak bisa menyetujui izin pengadilan karena memperlambat penyelidikan dan bisa terjadi konflik kepentingan di antara aparat penegak hukum. Kami juga ingin undang-undang ini mengatur audit ter­hadap aparat penegak hukum dan intelijen yang melakukan penyadapan. Dulu kami diaudit Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sekarang mereka tidak mau lagi.

Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun menjadi tersangka kasus suap reklamasi. Mengapa kepala daerah terus tersandung korupsi?

Masalah utamanya adalah biaya politik yang besar untuk mendapatkan jabatan kepala daerah. Selama akar masalahnya belum terselesaikan, masih akan banyak bupati dan gubernur kami tangkap.

Sepertinya hukuman tidak membuat koruptor gentar?

Kalau saya, dihukum sepuluh hari dalam penjara saja pasti sudah kapok. Tapi, kelihatannya, mereka kena sepuluh tahun pun tidak takut.

Apakah upaya pencegahannya tidak efektif?

Itu terus kami lakukan. Bahkan Pak Agus (Rahardjo) bertemu de­ngan Gubernur Kepulauan Riau di Tanjungpinang pada 28 Juni lalu dalam rangka perbaikan tata kelola pemerintahan daerah. Mirip saat saya bertemu dengan Zumi Zola (Gubernur Jambi yang menjadi tersangka suap) sebelum dia ditangkap, November 2017, he-he-he.... Setelah ini, kami akan melakukan pencegah­an ke Kepulauan Riau. Pemerintah daerah perlu mengantisipasi bahwa reklamasi selalu menimbulkan masalah karena membuat lahan baru untuk kegiatan ekonomi.

Anda, Basaria Panjaitan, dan Alexander Marwata mendaftar sebagai calon pemimpin KPK periode 2019-2023. Hal itu hasil kesepakatan komisioner?

Kami berharap ada satu-dua pemimpin yang kembali mendaftar su­­paya ada keberlanjutan dari program-program kami. Sekarang kami su­­dah mulai menetapkan korporasi sebagai tersangka. Kami bikin sembilan koordinator wilayah. Kami buat unit khusus akuntansi forensik supaya tindak pidana korporasi bisa jalan. Kalau semua pemimpin baru, mungkin mereka tidak antusias menjalankannya.

Apa pekerjaan rumah yang Anda anggap belum rampung?

KPK harus berfokus pada kasus yang canggih, seperti di sektor keuangan dan sumber daya alam. Kami memulainya dengan kasus Gubernur Sulawesi Tenggara (Nur Alam, terkait dengan izin usaha pertambangan pada 2016). Kami juga sudah menetapkan tersangka korupsi untuk tindak pidana pencuci­an uang. Itu harus dilanjutkan. Bukan cuma pertambangan, tapi juga kehutanan dan perkebunan. Karena uang yang berputar di sana ba­­nyak dan potensi korupsinya tinggi.

Ada kasus menggantung bertahun-tahun, seperti pengadaan crane Pelindo II dan dugaan suap Garuda Indonesia....

R.J. Lino (mantan Direktur Utama Pelindo II) ditetapkan sebagai tersangka oleh pemimpin sebelum kami (pada 2015). Tetap harus kami selesaikan. Sayangnya, kejahatan dilakukan di luar negeri. Ada negara-negara yang tidak terlalu kooperatif dan tidak memberi kami akses. Surat pun tidak dijawab. Jadi agak susah. Kasus Garuda sudah selesai. Tinggal dilimpahkan.

Kasus kartu tanda penduduk elektronik dilanjutkan?

Ya. Kelanjutannya akan kami umum­kan dalam waktu dekat.

Akankah ada tersangka baru?

Ya. (Jawaban berikutnya off the record.

 


 

LAODE MUHAMMAD SYARIF

Tempat dan tanggal lahir: Lemoambo, Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, 16 Juni 1965 | Pendidikan: l S-1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar l S-2 Faculty of Law Queensland University of Technology, Australia l S-3 School of Law Sydney University, Australia | Karier: l Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (2015-2019) l Dosen Universitas Hasanuddin (1992-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus