Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Centang-perenang pengelolaan dana pensiun antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan PT Taspen serta PT Asabri seperti sinetron tak kunjung usai. Tarik-menarik ini tak akan terjadi bila pemerintah tegas menjalankan amanat undang-undang.
Sejak Undang-Undang BPJS disahkan pada 2011, pemerintah justru alpa menyusun peraturan mengenai tata kelola pengalihan program tabungan hari tua dan pembayaran pensiun Taspen serta Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan. Padahal pengalihan ini melibatkan 8 juta peserta, plus dana pengelolaan yang mencapai Rp 270 triliun. Kekurangan aturan pelaksana itulah yang menyebabkan rencana peleburan program jaminan sosial kini memercikkan gesekan.
Peraturan pemerintah itu semestinya dibuat paling lambat dua tahun setelah Undang-Undang BPJS disahkan. Namun Sekretaris Kabinet belum menunjuk kementerian atau lembaga pemerintah yang bertugas menyusun rancangan peraturan tersebut. Akibatnya, antar-kementerian lempar tangan. Kementerian Tenaga Kerja menganggap penyusunan aturan teknis itu bukan urusannya. Begitu pula Kementerian Keuangan sebagai pengelola anggaran. Adapun BPJS Ketenagakerjaan merasa tidak berwenang mengusulkan. Saling lempar bola ini patut disesalkan.
Tanpa aturan pelaksana, peta jalan pengalihan program tabungan hari tua dan pensiun terbengkalai. Padahal Asabri dan Taspen seharusnya menuntaskan penyusunan peta jalan pengalihan program jaminan sosial paling lambat 2014. Peta jalan inilah yang menjadi acuan bagi keduanya untuk mengalihkan program tabungan hari tua dan pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029.
Situasi makin pelik karena Taspen dan Asabri sejak awal enggan mengalihkan dana yang mereka kelola. Kedua lembaga malah mengusulkan Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang BPJS dan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Negara, yang selama ini menjadi dasar hukum penyelenggaraan jaminan sosial. Sepak terjang ini mudah memancing wasangka. Apalagi Badan Pemeriksa Keuangan berulang kali menemukan pengelolaan dana investasi yang tidak efisien di Taspen dan Asabri.
Alih-alih tunduk pada undang-undang, Taspen dan Asabri juga berkeras mengelola jaminan kecelakaan kerja serta jaminan kematian pegawai negeri sipil dan anggota TNI/Polri, yang seharusnya dikelola BPJS Ketenagakerjaan per 1 Juli 2015. Langkah mereka diperkuat peraturan pemerintah yang disusun Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kementerian Pertahanan. Ironisnya, pemerintah mengesahkan dua peraturan itu—meski keduanya menabrak Undang-Undang BPJS.
Tarik-menarik merembet ke mana-mana. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara meminta iuran premi jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian pegawai honorer disetorkan ke Taspen. Langkah itu menimbulkan kebingungan bagi pemerintah daerah, yang selama ini rutin menyetorkan premi ke BPJS Ketenagakerjaan. Akibat ketidakpastian tersebut, sejumlah pemerintah daerah kini menunda pembayaran premi tenaga kerja honorer.
Direktorat Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi menghitung penempatan premi di Taspen dan Asabri akan menyedot Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta anggaran daerah lebih besar. Iuran di dua perusahaan itu lebih mahal ketimbang premi di BPJS Ketenagakerjaan. Penempatan premi jaminan kematian dan jaminan kecelakaan kerja di Taspen, misalnya, berpotensi menciptakan inefisiensi Rp 722 miliar per tahun.
Agar persoalan tak berlarut-larut, pemerintah harus segera merampungkan peraturan pemerintah yang bisa menyatukan semua jaminan sosial di bawah satu lembaga. Tentu saja semua itu mesti melalui persiapan matang, agar tidak menabrak aturan, serta mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo