Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FILSUF, sejarawan, sosiolog. Itulah keterangan yang tertera di bawah patung pemikir muslim Ibnu Khaldun yang berada di Jalan Habib Bourguiba, kawasan di jantung Kota Tunis, Ibu kota Tunisia. “Bagi saya, ia dikenal dengan tiga hal itu,” kata Djayadi Hanan, pengajar di Universitas Paramadina, Jakarta, yang ditemui seusai diskusi relevansi pemikiran Ibnu Khaldun di Jakarta, Rabu, 26 Juni lalu.
Khaldun, pemikir Islam kelahiran Tunis, 27 Mei 1332, memang tak hanya banyak dikutip gagasannya tentang filsafat, sejarah, dan sosiologi, yang terdapat dalam kitab Al-‘Ibar dan Al-Muqaddimah karyanya. Khaldun, yang oleh ahli sejarah asal Inggris, Arnold Toynbee, disebut sebagai sejarawan terbesar sepanjang masa, juga cukup dikenal di kalangan pemikir ekonomi.
Bagi Djayadi, ini bukan sesuatu yang mengejutkan. Ketika orang membicarakan sosiologi, ia juga berbicara tentang ekonomi, perencanaan kota, arsitektur, dan infrastruktur. “Sosiologi itu ibu dari segala ilmu. Jadi wajar jika ada yang menyebut Khaldun sebagai ahli ekonom, ahli politik. Tapi semua itu berinduk pada filsafat, sosiologi, dan sejarah,” ucapnya. “Lainnya, termasuk ekonomi, adalah cabang.”
Keluarga Khaldun memiliki akar sejarah di Yaman. Tapi mereka tinggal di Sevilla, Andalusia, Spanyol -selatan, setelah pasukan Arab merebutnya dari penguasa Kristen. Kejatuhan kembali daerah itu memaksa keluarga Khaldun, yang banyak menjadi pejabat di kota itu, menyeberangi Selat Gibraltar menuju Maroko—kini negara tetangga Tunisia. Dari sana mereka mendapat tugas, dan kemudian tinggal, di Tunis.
Menurut Euis Amalia, pengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, sebagai anggota keluarga terkemuka, Khaldun menikmati pendidikan yang baik. Ia belajar tata bahasa, ilmu hadis, -fikih, teologi, logika, ilmu alam, matematika, dan astronomi. “Ia belajar dari ayahnya dan sejumlah ulama terkemuka,” ujarnya dalam diskusi tentang Ibnu Khaldun itu.
Mengikuti jejak keluarganya, Khaldun juga berkecimpung di bidang pemerintahan. Pada 1352, saat memasuki usia 20 tahun, Khaldun- sudah bertugas di pengadilan Tunis.- Setelah itu, ia menjadi sekretaris Sultan Abu Inan dari Fez, Maroko.- Namun kariernya naik-turun, sangat tergantung politik dan intrik di lingkungan sultan.
Pada masa Abu Inan ini, Khaldun dicurigai berkhianat sehingga dijebloskan ke penjara dan dihukum 12 bulan. Nasibnya berubah setelah Inan jatuh dan digantikan Abu Salim. Penguasa baru itu memulihkan posisi Khaldun. Roda nasibnya kembali berubah setelah patronnya itu terbunuh. Inilah yang dinilai menjadi penyebab Khaldun keluar dari Maroko—ke Spanyol, Damaskus (Suriah), sebelum akhirnya menetap di Kairo. Ia meninggal di ibu kota Mesir itu pada 17 Maret 1406.
Khaldun menghasilkan sejumlah karya yang merupakan hasil observasi dan refleksi pemikiran serta pengalamannya sebagai pejabat, pengajar, dan politikus. Menurut Euis Amalia, setidaknya ada tiga buku yang dihasilkannya, yaitu Al-’Ibar, Al-Muqaddimah, dan Al-Ta’rîf bi Ibn-Khaldűn wa Riħlatuhu Għarbân wa Sharqân. Dari ketiga kitab itu, Al-Muqaddimah dianggap sebagai adikaryanya.
Al-Muqaddimah ditulis pada 1375, saat Khaldun memutuskan rehat dari politik yang melelahkan. Ia mencari perlindungan kepada suku Awlad Arif, yang kemudian menampungnya beserta keluarganya di sebuah kastil di lokasi yang sekarang menjadi Kota Frenda, Aljazair. Ia menghabiskan waktu empat tahun untuk menyelesaikan kitab pengantar sejarah itu.
Awalnya, buku itu diniatkan sebagai tulisan sejarah universal bangsa Arab dan Berber. Sebelum menuliskannya, ia menilai perlu membahas metode historis dengan tujuan menyediakan kriteria yang diperlukan untuk membedakan kebenaran sejarah dari kesalahan. Arnold J. Toynbee memuji karya itu sebagai “sebuah filsafat sejarah terbesar dari jenisnya”.
Al-Muqaddimah terdiri atas enam buku. Buku pertama berisi sketsa sosiologi umum, kedua dan ketiga tentang sosiologi politik; keempat mengulas sosiologi kehidupan kota, kelima menyangkut sosiologi ekonomi, dan keenam mengenai sosiologi pengetahuan. Karya ini dipenuhi amatan brilian pada historiografi, ekonomi, politik, dan pendidikan. Salah satu konsep sentralnya adalah tentang asabiyyah atau kohesi sosial.
Menurut Allen James Fromherz, penulis buku Ibn Khaldun: Life and Times (2010) yang diterbitkan Edinburgh University Press, Skotlandia, Khaldun melihat sejarah didominasi siklus naik-turunnya kekuatan sebuah dinasti. Dalam pandangannya, semua dinasti tak terhindarkan akan hancur di tangan suku-suku baru dalam lima generasi. Karena penguasa berbasis kota, mereka menjadi makin jauh dari rakyat.
Penguasa baru ini, kata Fromherz, secara bertahap mengadopsi cara-cara para elite lama, tidak mampu mempertahankan “asabiyyah”, atau perasaan kelompok, yang diperlukan untuk mempertahankan otoritasnya. “Dinasti datang seperti serigala dari padang pasir dan berakhir seperti domba di kota.”
Selain soal siklus sejarah itu, pemikiran yang masih menjadi sorotan adalah teori ekonominya. Menurut Olivia Goldhill di Quartz, salah satu hal penting adalah soal konsep pembagian kerja dan hubungan internasional. Ini salah satu pokok pemikiran Adam Smith, ekonom Skotlandia penulis buku The Wealth of Nations (1776) yang dijuluki “Bapak Ekonomi”.
Khaldun memberikan contoh soal pabrik pembuatan pin. Dia menunjukkan bagaimana pekerjaan yang dibagi di antara banyak orang yang melakukan satu tugas berulang kali akan membuahkan hasil jauh lebih banyak daripada hasil satu orang yang membuat semuanya sendiri.
Dániel Oláh di Evonomics mengatakan itu salah satu pemikiran Khaldun yang sangat akrab dengan para ekonom saat ini. “Dia menyatakan pembagian kerja berfungsi sebagai dasar bagi masyarakat beradab dan mengidentifikasi pembagian kerja tidak hanya di tingkat pabrik, tapi juga dalam konteks sosial dan internasional,” katanya.
Apa yang disampaikan Khaldun itu dikemukakan hampir 400 tahun sebelum hal yang sama disampaikan Adam Smith. Keduanya pun memiliki kemiripan pandangan bahwa tenaga kerja, bukan emas dan perak, yang menjadi sumber utama kekayaan suatu bangsa. Menurut Khaldun, “Peradaban besar menghasilkan keuntungan besar karena jumlah tenaga kerja yang tersedia.” Dalam soal ini, Smith menyatakan sebuah bangsa kaya “bukan karena emas atau perak, melainkan tenaga kerja”.
Dániel Oláh mengungkapkan, tidak diketahui pasti apakah Adam Smith atau sarjana klasik lain tidak terinspirasi oleh karya Khaldun ketika mengembangkan teori sendiri. Namun Euis Amalia yakin Smith pernah membaca pemikiran Khaldun. “Bagaimana pemikiran bisa sama persis kalau tidak pernah membaca (karya Khaldun),” ujarnya.
Euis menyebutkan sejumlah pemikiran Khaldun yang masih relevan dengan situasi saat ini. Di antaranya pandangan soal pajak, ekspor-impor yang harus diperkuat, negara yang harus punya legitimasi, dan konsep keadilan ekonomi. “Dalam konsep Khaldun, ekonomi yang disodorkan tidak berwatak kapitalis, juga tidak sosialis. Moderat,” ucapnya.
Ihwal predikat “Bapak Ekonomi”- yang disematkan kepada Adam Smith, bukan Khaldun, Euis memberikan penjelasan. Menurut dia, Smith bisa mengkonstruksi pemikiran ekonominya lebih sistematis, sementara Khaldun lebih parsial. -Djayadi Hanan menambahkan, komunitas internasional sangat menghormati sumbangan Khaldun. Selain pujian Arnold Toynbee, kata Djayadi, ada banyak studi tentang pemikir- Islam itu. Dia mencontohkan, di University of Chicago di Amerika -Serikat saja ada setidaknya 854 buku yang mengkaji Ibnu Khaldun.
ABDUL MANAN (TUNIS)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo