Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto mengatakan tenaga medis, khususnya dokter, rentan terinfeksi Covid-19.
Menurut Agus Dwi Susanto, penyebaran virus SARS-CoV-2 lewat udara meningkatkan risiko penularan Covid-19.
Agus Dwi Susanto mengimbau masyarakat menghindari kerumunan padat di ruang tertutup, terutama bila ventilasi udara tidak baik.
JUMLAH tenaga medis yang meninggal akibat Covid-19 terus bertambah. Ikatan Dokter Indonesia mencatat hingga Selasa, 4 Agustus lalu, sudah 74 dokter meninggal karena terjangkit penyakit itu, tiga di antaranya dokter paru yang terjun langsung menangani pasien Covid-19. Dokter paru ketiga yang menjadi korban virus corona baru itu adalah Andhika Kesuma Putra. Dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Dr G.L. Tobing, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, itu meninggal pada 1 Agustus lalu setelah dua pekan dirawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto, dari 1.167 dokter paru di Indonesia, 36 di antaranya positif Covid-19, tiga orang dari mereka meninggal. Padahal para tenaga medis menjalankan protokol kesehatan di dalam rumah sakit. “Ini memberi gambaran bahwa tenaga medis memang potensial terinfeksi,” ujar Agus kepada Tempo, Senin, 27 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penanganan Covid-19, kata Agus, sangat dinamis karena para penderitanya menunjukkan gejala awal bervariasi. Bahkan kalangan medis menjuluki penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus SARS-CoV-2 ini sebagai “penyakit dengan seribu wajah”. Di rumah-rumah sakit, para dokter terus berjibaku merawat pasien Covid-19 yang kian melonjak jumlahnya. “Saya mendapat informasi kebutuhan ventilator meningkat,” ucap Agus, 45 tahun.
Agus menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Nur Alfiyah, di kantor pusat PDPI, Jakarta Timur. Dokter yang sehari-hari menangani pasien Covid-19 di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta Timur, ini memaparkan bermacam gejala Covid-19, rentannya tenaga medis terinfeksi virus, hingga strategi para dokter menghadapi keterbatasan obat. Wawancara dilengkapi dengan perbincangan lewat pesan WhatsApp pada 4 Agustus lalu.
Sejak pembatasan sosial berskala besar dilonggarkan, jumlah kasus Covid-19 terus melonjak. Bagaimana keadaan di rumah-rumah sakit rujukan?
Perkembangan kasus naik terus. Pada 3 Agustus lalu, para dokter paru memberikan informasi kebutuhan ventilator meningkat. Rumah sakit yang merawat pasien penuh, terutama di daerah yang kasusnya banyak, termasuk rumah-rumah sakit rujukan di Jakarta. Ruang perawatan intensif di Rumah Sakit Persahabatan juga full.
Bagaimana kondisi pasien yang dirawat di RS Persahabatan?
Rata-rata berat karena rumah sakit rujukan. Pasien terbanyak berusia 30-70 tahun. Sebagian besar yang dirawat adalah pasien dengan komorbid atau penyakit penyerta, sekitar 70 persen. Umumnya diabetes dan hipertensi. Dari total 510 kasus yang terkonfirmasi positif sejak Maret, sekitar 26 persennya meninggal.
Jumlah dokter yang meninggal karena Covid-19 juga terus bertambah. Padahal pemerintah menyatakan pasokan alat pelindung diri (APD) sudah lebih dari cukup. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kami sudah berkoordinasi dengan IDI (Ikatan Dokter Indonesia). IDI juga telah membentuk tim yang mengaudit kenapa banyak tenaga medis terinfeksi. Untuk dokter paru saja sampai saat ini ada 36 yang positif Covid-19 dari seluruh 1.167 dokter paru di Indonesia. Tiga orang meninggal. Ini memberi gambaran bahwa tenaga medis memang potensial terinfeksi. Masalahnya, titik-titik terinfeksinya itu di mana. Apakah terinfeksi pasien atau orang lain? Ini harus dianalisis IDI.
Apakah tenaga medis tidak menerapkan protokol kesehatan secara ketat?
Itu salah satu yang sedang dikaji IDI. Kami dan IDI selalu menyampaikan bahwa protokol kesehatan tetap dijalankan di dalam rumah sakit di antara tenaga medis. Mulai pakai masker, menjaga jarak, cuci tangan teratur. Kelihatannya ada missing di situ. Tapi saya belum bisa menyimpulkan karena masih diaudit. Bisa jadi saat makan siang bareng, sambil ngobrol melepas masker, lalu tertular Covid-19.
Seberapa besar risiko yang dihadapi tenaga medis yang merawat pasien Covid-19?
Faktor frekuensi bertemu atau mengunjungi pasien Covid di ruang isolasi berperan besar meski sudah menggunakan APD lengkap. Makin sering berkontak dengan pasien Covid, risikonya lebih tinggi terinfeksi. Karena itu, seharusnya ada pengaturan berapa kali dalam satu bulan seorang tenaga kesehatan dapat berkontak dengan pasien Covid untuk meminimalkan terinfeksi. Di sisi lain, faktor kelelahan juga disinyalir berkontribusi meningkatkan risiko tenaga kesehatan terinfeksi.
Adakah pemeriksaan rutin di antara tenaga medis?
PDPI meminta semua anggotanya untuk tes swab secara berkala, terutama yang kontak dengan pasien Covid-19 dan di zona merah. Setidaknya dua bulan sekali dilakukan pemeriksaan. Bahkan kami melarang dokter berusia di atas 60 tahun berpraktik karena risikonya lebih tinggi. Salah satu penyebab tingginya kasus adalah didapatkannya kasus itu di luar rumah sakit rujukan. Coba nanti dianalisis proporsi dokter non-paru yang tertular Covid-19. Dari berapa ratus dokter yang terkena Covid-19, dokter spesialisnya lebih banyak bukan dokter paru.
Apakah itu terkait dengan penerapan protokol kesehatan yang lebih longgar karena dokter non-spesialis paru tidak menangani langsung pasien Covid-19?
Dokter (non-spesialis paru) umumnya bekerja di rumah sakit bukan rujukan Covid-19. Mereka tetap memakai APD, tapi level berapa. Misalnya hanya pakai masker bedah, rupanya pasiennya (terkena) Covid-19. Padahal pasien itu datang bukan dengan keluhan (gejala) Covid-19. Ada yang datang dengan gangguan cemas, ke psikiatri, ternyata Covid-19.
Gejala yang ditimbulkan akibat infeksi Covid-19 terus berkembang. Adakah gejala baru yang patut diwaspadai masyarakat?
Kalau dulu gejala yang khas cuma demam, batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, lemas, sesak napas, hidung tersumbat. Tapi makin ke sini muncul gejala lain. Ada pasien yang datang dengan gejala diare, muntah, tanpa gejala pernapasan.
Artinya, Covid-19 juga bisa menginfeksi sistem pencernaan?
Iya, karena reseptor ACE-2, selain di saluran napas dan paru-paru, ada di saluran cerna, jantung, ginjal, dan pembuluh darah yang masuk ke otak. Seluruh pembuluh darah ada reseptor itu sehingga Covid-19 berpotensi menempel di pembuluh darah. Ada beberapa laporan kasus gangguan pengecap dan perasa itu juga menjadi gejala baru. Ada juga kasus yang sakit kepalanya lebih dominan.
Apakah Anda pernah menjumpai kasus dengan gejala yang tidak lazim?
Saya pernah mendapat laporan dari sejawat di Rumah Sakit Universitas Indonesia, Depok. Pasien dengan hasil uji cairan medula spinalis positif SARS-CoV-2, tapi ketika dites swab negatif.
Bagaimana bisa terjadi seperti itu?
Pasien itu ada keluhan pada sistem saraf pusatnya. Sering pusing. Karena dites swab negatif, akhirnya dilakukan pungsi lumbal, diambil cairan tulang belakangnya, dites dan ternyata hasilnya positif.
Ada kasus lain dengan gejala baru?
Ada pasien di Banten datang dengan keluhan kulit gatal dan merah. Difoto parunya dan ternyata ada pneumonia. Setelah dites swab positif. Itu gejala awalnya urtikaria. Di Eropa ada buku berjudul Skin Manifestation of Covid-19. Jadi ada pasien Covid-19 yang masuknya dari gejala kulit. Ini salah satu penyebab mengapa banyak sejawat dokter non-paru yang terkena. Mereka tidak mengantisipasi bahwa itu Covid-19. Ada pula pasien matanya merah, berair, dikira konjungtivitis. Dia ke dokter mata dan dites swab cairan sekresi matanya, hasilnya positif. Ini kasus di luar negeri.
Dengan jumlah penderita Covid-19 bertambah, bagaimana distribusi obat Covid-19 di rumah-rumah sakit?
Sampai saat ini belum ada obat antivirus untuk Covid-19. Pedoman obat yang disusun oleh organisasi profesi bertujuan membantu mengatasi dampak Covid-19 pada tubuh. Tapi soal obat ini memang menjadi masalah sejak awal. Karena itu, kami menyusun pedoman obat menyesuaikan dengan ketersediaan obat di Indonesia. Kami tidak mungkin merekomendasikan obat yang canggih tapi enggak ada.
Seperti apa contohnya?
Misalnya pasien dengan gejala ringan cukup diberi vitamin C dan E serta zinc. Dengan catatan, berikanlah sesuai dengan ketersediaan dosis di tiap daerah. Pakailah dosis tertinggi untuk vitamin saja.
Obat apa saja yang masih langka?
Untuk antivirus ada remdesivir, lopinavir-ritonavir, favipiravir, dan oseltamivir. Yang paling bagus saat ini menurut riset adalah remdesivir. Tapi barangnya enggak ada di Indonesia. Lalu kombinasi lopinavir-ritonavir untuk penderita HIV sehingga tidak semua wilayah ada. Favipiravir atau Avigan adalah obat dari Cina, sehingga harus diimpor dulu. Makanya kami pakai oseltamivir, yang selama ini digunakan untuk flu burung. Obatnya ada di semua kabupaten. Distribusi obat tidak sama di setiap tempat, maka kami memilih pemberian obat yang lebih mudah diakses.
Bagaimana dengan hidroksiklorokuin?
Itu rekomendasi kami dari awal. Sesuai dengan riset di beberapa negara, hasilnya bagus. Obat ini ada di Indonesia karena dipakai untuk malaria. Ketersediaannya cukup banyak. Lalu ada antibiotik, seperti azithromycin dan levofloxacin, yang tersedia cukup luas sehingga kami kombinasikan. Dengan sekian banyak obat yang kami rekomendasikan, para dokter di daerah punya variasi cukup banyak. Ada yang pakai vitamin dengan oseltamivir, vitamin dengan hidroksiklorokuin, atau vitamin dengan azithromycin.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta, Juni 2020. Dokumentasi BNPB
Apakah dengan kombinasi obat-obat tersebut ada pasien yang tetap tidak bisa disembuhkan?
Jelas ada. Justru angka kematian itu terjadi ketika kasus berat dan kritis lalu enggak ada obatnya. Dulu obat-obat tambahannya belum ada, seperti plasma konvalesen, stem cell, anti-interleukin-6, tocilizumab, deksametason, terapi imunoglobulin intravena yang harganya mahal-mahal itu. Jadi, kalau kasus di daerah, kondisinya berat dan pasiennya meninggal karena obat-obat yang lebih canggih tidak tersedia.
Benarkah distribusi obat masih menjadi problem besar?
Pada awal pandemi seperti itu, tapi makin ke sini pemerintah sudah menyiapkan cukup obat dan sudah terdistribusi ke daerah. Justru sekarang yang menjadi fokus adalah obat-obat tambahan untuk menurunkan angka kematian. Di dalam buku pedoman yang kami terbitkan pada awal dulu, obat-obat tambahan itu belum ada. Sekarang kami usulkan untuk ada pada kasus-kasus berat dan kritis.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) sempat melarang penggunaan hidroksiklorokuin dan klorokuin. Tanggapan Anda?
Kami sampai saat ini bersepakat bahwa klorokuin ataupun hidroksiklorokuin masih direkomendasikan. WHO sempat melarangnya karena ada riset yang menyatakan bahwa hidroksiklorokuin meningkatkan risiko kematian. Ternyata riset itu abal-abal dan dicabut dari jurnal Lancet. WHO lantas merekomendasikan obat itu lagi.
Mengapa PDPI sejak awal merekomendasikan hidroksiklorokuin?
Kami mendasarkan pada pengalaman. Ketika WHO mencabut, kami tetap konsisten memakainya. Berdasarkan kajian di luar negeri, beberapa jurnal menyatakan efektif. Lalu laporan dari beberapa perhimpunan dokter menyatakan efek sampingnya tidak meningkatkan risiko kematian. Efektivitasnya cukup baik terhadap angka kesembuhan pasien, maka kami tetap menggunakannya.
Berapa angka kesembuhan pasien yang diobati dengan hidroksiklorokuin?
Kami mendata hampir 900 pasien dari beberapa cabang PDPI yang melaporkan efektivitas dan angka kematian. Kami pakai data itu saat rapat dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Badan Pengawas Obat dan Makanan, serta asosiasi profesi bahwa hidroksiklorokuin tetap dipakai. Kami juga mendorong para sejawat untuk melakukan uji klinis. Saat ini uji klinis untuk hidroksiklorokuin sedang berjalan. Nanti akan kami kaji ulang. Kalau hasilnya memang tidak baik, ya kami bakal merekomendasikan untuk disetop.
(PDPI mendata 870 pasien Covid-19 di Aceh, Medan, Padang, Riau, Jambi, Jakarta, Banten, Solo, Surabaya, Malang, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Dari 506 pasien yang diobati dengan hidroksiklorokuin, sebanyak 416 atau 82,8 persen bertahan hidup. Adapun 364 pasien yang dirawat tanpa hidroksiklorokuin, sebanyak 79,4 persennya bertahan hidup.)
Bagaimana cara kerja hidroksiklorokuin sehingga bisa menyembuhkan pasien Covid-19?
Prinsipnya menghambat virus bereplikasi. Si virus masuk ke dalam sel, dihambat supaya tidak bereplikasi sehingga tidak bertambah banyak dan tidak merusak sel.
Bukankah hidroksiklorokuin memiliki efek samping yang patut diwaspadai?
Efek sampingnya mual dan muntah. Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, efek samping terhadap jantung berupa aritmia sedikit dan cenderung tidak meningkatkan risiko kematian. Tapi, dalam rekomendasi kami, pasien-pasien Covid-19 dengan masalah irama jantung tidak boleh menggunakan hidroksiklorokuin. Selain itu, pasiennya harus berusia di bawah 50 tahun dan tidak boleh dirawat jalan karena nanti tidak ada pemantauan.
Belakangan ini publik dihebohkan oleh munculnya beberapa selebritas yang menyatakan Covid-19 sebagai penyakit tidak berbahaya. Bagaimana upaya PDPI meluruskannya?
Covid-19 fakta dan nyata adanya di dunia dan Indonesia. Setiap hari ada kasusnya di rumah-rumah sakit rujukan dan non-rujukan. Pasiennya masuk dengan gejala yang bervariasi. Artinya, Covid-19 memiliki manifestasi yang cukup luas. Yang terbanyak memang manifestasi dari sistem pernapasan, seperti gejala infeksi saluran pernapasan atas, demam, batuk, sakit tenggorokan, dan sesak napas. Masyarakat mesti waspada dan menjalankan protokol kesehatan agar tidak terinfeksi.
Bagaimana Anda menyampaikan kepada publik bahwa anggapan Covid-19 tidak berbahaya sangat keliru?
Sebenarnya tidak berbahayanya itu relatif. Awalnya tingkat kematian kasus ini di Indonesia sekitar 10 persen. Sekarang 4,8-4,9 persen. Tentunya masyarakat tidak paham tentang angka-angka. Jadi mereka harus diberi edukasi dalam konteks seberapa bahayakah Covid-19. Lalu populasi mana saja yang rentan dan berisiko tinggi. Yang lebih penting adalah apa yang bisa meningkatkan kesembuhan apabila sakit. Di seluruh dunia, sekitar 80 persen pasien Covid-19 dapat disembuhkan. Tapi perlu disampaikan bahwa sekitar 5 persen populasi meninggal karena Covid-19.
WHO menyatakan Covid-19 bisa menular lewat udara. Seberapa berbahaya?
Transmisi udara semula hanya pada prosedur medis khusus yang menginduksi aerosol secara jarak dekat. Misalnya intubasi atau pemasangan alat bantu napas, bronkoskopi, suction, inhalasi, dan nebulisasi. Prosedur itu harus dilakukan dengan APD level III, yang paling lengkap. Tapi kini diketahui bahwa Covid-19 bisa menular lewat mikrodroplet. Ukurannya lebih halus serta capaiannya lebih jauh dan lebih lama melayang di udara. Bisa bertahan 3-6 jam. Penularan lewat udara lebih meningkatkan risiko terinfeksi walaupun berada pada jarak 5 meter.
Bagaimana cara menghindarkan diri agar tidak tertular?
Hindari kerumunan padat di ruang tertutup, terutama bila ventilasi udara tidak baik. Jika tidak ada sirkulasi dengan udara luar, bisa menggunakan alat pembersih udara ruangan. Pilihlah yang mampu memfiltrasi sampai ukuran si virus, yaitu 0,1-0,2 mikron. Itu cukup efektif meski tidak 100 persen. Mikrodroplet akan terfiltrasi masuk. Lalu protokol kesehatan harus tetap dijalankan di dalam ruangan.
AGUS DWI SUSANTO | Tempat dan tanggal lahir: Kudus, Jawa Tengah, 14 Agustus 1974 | Pendidikan: Program Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta (1998); Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2005); Konsultan Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan dari Kolegium Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2012); Program Doktoral Ilmu Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2014) | Karier: Dokter Koordinator K-3, Blue Bird Group (2000-2015); Dokter Paru Rumah Sakit Umum Daerah Pandeglang, Banten (2006-2007); Konsultan JPK-3, Blue Bird Group (sejak 2016); Anggota staf di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (sejak 2008); Kelompok Staf Medis Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta (sejak 2008) | Organisasi: Sekretaris Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2014-2017), Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2017-2020), Wakil Ketua Indonesian Sleep Society (2019-2021)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo