Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dinas Kesehatan Samarinda tak pernah menunjukkan secara tertulis hasil tes usap para aktivis.
Warga sekitar tak pernah dites Covid-19 seperti klaim Dinas Kesehatan.
Dua aktivis yang dinyatakan positif Covid-19 pernah menjadi pengacara kasus makar mahasiswa Papua.
AKTIVITAS Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur lumpuh sejak Jumat, 31 Juli lalu. Gembok tembaga sekepalan tangan orang dewasa mengunci pintu pagar kantor mereka di bilangan Jalan Gitar, Kelurahan Dadi Mulya, Kota Samarinda. Para penghuni mengungsi setelah insiden tes usap (swab) Covid-19 dua hari sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sudah tidak ada orang di situ,” ujar aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, Pradharma Rupang, sambil mengarahkan telunjuk ke arah kantor Walhi, Kamis, 6 Agustus lalu. Sekretariat Jatam dan Walhi Kalimantan Timur bertetangga. Keduanya merupakan rumah kontrakan yang dipisahkan dinding. Sekeliling dua bangunan itu berpagar tembok besi setinggi 1,5 meter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Rabu, 28 Juli lalu, Sekretariat Kelompok Kerja 30 atau Pokja 30 yang berlokasi di kantor Jatam didatangi tiga petugas Dinas Kesehatan Kota Samarinda. Seorang di antaranya perempuan muda bernama Silvi. Kepada para aktivis, Silvi mengatakan akan mendeteksi Covid-19 dengan metode polymerase chain reaction terhadap sampel dahak para aktivis yang diambil dengan cara diusap dari tenggorokan atau bagian dalam hidung. Alasannya, kawasan sekitar merupakan kluster penyebaran baru. Silvi, kata Rupang, mengaku sudah mendatangi satu per satu warga di lingkungan itu untuk menjalani tes usap tersebut.
Tujuh orang yang saat itu berada di Sekretariat Pokja 30 akhirnya bersedia diambil sampel dahaknya. Dua di antaranya pengurus Jatam, seorang aktivis Pokja 30, tiga jurnalis, dan seorang tamu. Silvi dan dua rekannya kemudian mengeluarkan alat pemeriksaan. Ketiganya hanya mengenakan masker, sarung tangan, dan pelindung wajah tanpa memakai baju hazmat.
Menurut Rupang, setelah memeriksa tujuh orang di Sekretariat Pokja 30, Silvi dan kedua rekannya bergeser ke Sekretariat Walhi Kalimantan Timur. Di kantor tersebut, mereka memeriksa Yohana Tiko, Direktur Utama Walhi Kalimantan Timur; Fathul Huda Wiyashadi; Bernard Marbun; dan Bolang. Para petugas berjanji menyerahkan hasil tes dalam tiga-empat hari.
Keesokan harinya, Silvi kembali datang. Ia ditemani rombongan petugas yang menunggang empat mobil. Dua di antaranya kendaraan berpelat merah. Petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Samarinda ada di antara rombongan. Mulut mereka tertutup masker, mengenakan sarung tangan karet, tapi tanpa baju hazmat.
Di luar perkiraan, Silvi menyatakan bahwa kedatangannya ingin menyampaikan hasil pemeriksaan kemarin. Menurut dia, tiga aktivis yang menjalani pemeriksaan di kantor Walhi diketahui positif Covid-19. Ketiganya adalah Tiko, Bernard, dan Fathul. Fathul adalah pengacara publik yang kerap memberikan advokasi di Lembaga Bantuan Hukum Samarinda.
Pernyataan ini mengagetkan para aktivis karena setahu mereka hasil tes lazimnya keluar dalam tiga-empat hari seperti yang disampaikan sebelumnya. “Kenapa bisa secepat itu? Biasanya butuh waktu untuk memperoleh hasil tes swab. Di sisi lain, saya juga tidak pernah ke mana-mana,” ucap Fathul.
Para petugas lekas menyemprotkan cairan disinfektan ke seluruh ruangan kantor Walhi dan Pokja 30. Menurut Fathul, tiga petugas pria memperlihatkan gelagat aneh. Ketiganya masuk ke dalam kantor dan memeriksa setiap jengkal ruangan. Sesekali mereka memotret kondisi ruangan menggunakan kamera telepon seluler.
Ketiga petugas itu berpakaian sipil, berbadan tegap, dan berambut cepak. Mereka memaksa masuk ke seluruh ruangan dengan dalih mencari penghuni kantor yang belum menjalani tes usap. Melihat adanya kejanggalan, Fathul menanyakan surat hasil tes dan surat tugas para petugas. “Mereka bilang hasilnya bakal diberikan nanti,” ujarnya.
Menurut Fathul, petugas sempat meminta ketiga aktivis menjalani karantina di rumah sakit. Tapi permintaan itu mereka tolak. Permintaan untuk meninggalkan kantor datang lagi keesokan harinya. Kali ini lewat ketua rukun tetangga setempat, yang mengaku keberatan terhadap keberadaan ketiga aktivis itu.
Ketua RT 33, Kelurahan Dadi Mulya, Tarmiji, mengatakan ia memang meminta para aktivis menjalani karantina. Menurut dia, permintaan itu untuk memutus penyebaran virus Covid-19 di lingkungannya. “Saya memperoleh informasi pasien Covid-19 dari petugas yang berencana menjemput ketiga warga kami,” kata Tarmiji. Tapi dia tak mengetahui ada tes usap terhadap warganya seperti yang diklaim Silvi, selain terhadap para aktivis.
Menjelang magrib, belasan polisi, anggota Satuan Polisi Pamong Praja, petugas kelurahan, dan pihak Dinas Kesehatan Samarinda datang ke kantor Walhi. Mereka berniat menjemput tiga aktivis yang disebut terinfeksi Covid-19. Kali ini pun permintaan itu ditolak. “Kami menolak karena mereka tidak bisa menunjukkan hasil tes swab dan surat tugasnya,” Fathul menegaskan.
Suasana makin panas setelah puluhan penduduk berkumpul di depan kantor Walhi. Sebagian di antaranya memprovokasi untuk melakukan persekusi. Tak ingin memperpanjang masalah, Fathul dan kedua rekannya akhirnya mengalah. Mereka menuruti permintaan petugas yang berencana mengkarantina mereka di Rumah Sakit Abdul Moeis, Samarinda.
Kejanggalan baru terjadi setiba mereka di rumah sakit. Para petugas malah menelantarkan ketiga aktivis itu di area parkir Rumah Sakit Abdul Moeis. Satu per satu petugas tersebut meninggalkan mereka. Fathul yang bingung melihat keadaan itu berinisiatif meminta hasil uji lab kepada rumah sakit. “Kami tidak mau mereka dikarantina di rumah sakit sebelum ditunjukkan hasil tes swab,” tutur Yohana Tiko.
Tak mendapat kepastian, ketiga aktivis itu akhirnya meninggalkan rumah sakit. Direktur Rumah Sakit Abdul Moeis, dr Syarifah Rahimah Aydrus, mengaku tak mengetahui hasil tes usap para aktivis itu. “Posisi kami hanya menerima pasien yang disebut positif Covid-19. Yang bisa menjawab soal tes swab hanya pihak gugus tugas Provinsi Kaltim,” ujarnya.
Dinas Kesehatan Kota Samarinda menolak memberikan penjelasan. Menurut Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Dinas Kesehatan Samarinda dr Osa Rafshodia, petugas tak berkewajiban menunjukkan hasil uji tes swab. “Protokolnya jelas termuat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020. Tidak perlu dijelaskan lagi,” katanya. Adapun Kepala Dinas Kesehatan Samarinda dr Ismed Kusasih membenarkan bahwa Silvi adalah anak buahnya. “Dia memang anggota staf saya yang tergabung dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid -9 Samarinda,” ucapnya.
Karena sejumlah kejanggalan itu, Pradharma Rupang menduga pemeriksaan tersebut merupakan modus untuk membungkam para aktivis. Apalagi, dalam tiga bulan terakhir, sejumlah orang asing kerap memata-matai aktivitas mereka. Menurut Rupang, mereka dipantau sejak LBH Samarinda mengadvokasi tujuh aktivis dan mahasiswa Papua. “Para pengintai itu sering mondar-mandir,” katanya.
Kantor LBH Samarinda satu atap dengan kantor Jatam dan bernaung dalam Pokja 30. Para advokatnya mengawal proses persidangan tujuh aktivis dan mahasiswa Papua yang dijerat kasus makar. Fathul dan Bernard Marbun adalah dua di antaranya. “Sangat mungkin ini adalah penyebab utamanya. Karena tes itu tidak dilakukan untuk warga yang lain,” ucap Rupang.
Membantah pernyataan Silvi dari Dinas Kesehatan, pemilik warung kopi yang kiosnya berdekatan dengan kantor Walhi Kalimantan Timur, Acil Salmiah, mengatakan tak mengetahui ada tes usap massal terhadap warga RT 33. Ia pun tak mendengar ada warga sekitar yang terinfeksi Covid-19 sebelum insiden di kantor Walhi. “Warga anggap kampung ini aman saja. Tes swab tidak pernah dilakukan sampai sekarang,” ujarnya.
RIKY FERDIANTO, S.G. WIBISONO (BALIKPAPAN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo