Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lamat-lamat Ekosistem Riset

Lemahnya ekosistem penelitian di Indonesia menyebabkan banyak kebijakan publik tidak berdasarkan kajian yang matang dan menyeluruh. Saat ini para peneliti tak ubahnya kasta kelas dua di kementerian dan lembaga.

8 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Peneliti mengamati ekstrak bahan alam di Laboratorium Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, 17 Juli 2020./ANTARA /Aditya Pradana Putra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Terbitnya Undang Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan upaya pemerintah memperbaiki dunia riset dan inovasi Indonesia yang tertinggal dari negara tetangga.

  • Integrasi semua lembaga penelitian dan pengembangan serta pengkajian dan penerapan ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional masih terhambat tarik-ulur kepentingan di kementerian.

  • Ekosistem riset dan inovasi yang baik akan menghasilkan output berupa kebijakan yang berbasis bukti, inovasi yang dapat dikomersilisasi, dan meningkatnya kapasitas negara.

Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang melahirkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) diharapkan dapat memperjelas wujud ekosistem riset dan inovasi di Indonesia. Ketiadaan struktur organisasi dan tata kelola di Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN membuat upaya integrasi lembaga penelitian dan pengembangan serta pengkajian dan penerapan belum dapat berjalan. Ekosistem kian tak terwujud lantaran tidak ada kerja sama antara dunia riset dan dunia usaha yang difasilitasi pemerintah.

***

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH satu setengah dekade Yenny Meliana, 43 tahun, menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak bergabung sebagai calon pegawai negeri sipil pada 2005. Doktor dari National Taiwan University of Science and Technology ini tetap konsisten menekuni riset bidang kimia sesuai dengan gelar kesarjanaannya dari Jurusan Teknik Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yenny, yang sejak pertengahan 2019 menjabat Kepala Pusat Penelitian Kimia, mengaku nyaman menjadi peneliti. “Gaji sebagai peneliti sudah cukup untuk dapat bekerja dengan nyaman dan fokus. Tidak perlu cari job tambahan,” ujarnya melalui pesan WhatsApp, Selasa, 4 Agustus lalu.

Menurut dia, infrastruktur riset pun sudah mulai mutakhir dan mendukung pekerjaan riset sesuai dengan kebutuhan kekinian. “Tidak perlu lagi mengirim sampel ke luar negeri untuk dianalisis seperti dulu,” ucap Yenny, yang bersama timnya telah menghasilkan 27 paten, tiga di antaranya telah dilisensikan ke mitra industri.

Nasib Yenny di lembaga penelitian nonkementerian lebih baik dari yang lain. Gunawan Pasaribu dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merasa gaji yang diterimanya mencukupi, tapi ia menghadapi keterbatasan infrastruktur dan dana yang sangat minimal. “Sulit mendapat infrastruktur riset yang memadai. Untung punya link ke peneliti instansi lain, jadi bisa menggunakan laboratoriumnya,” kata Gunawan, yang sudah 17 tahun menjadi peneliti. “Anggaran riset terbatas sekali sehingga belum mampu menghasilkan invensi dan inovasi,” tutur peneliti hasil hutan bukan kayu itu.

Kondisi Yenny dan Gunawan masih jauh lebih baik ketimbang Shinatria Adhityatama, peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sejak 2013 berstatus pegawai kontrak. Dari 130-an peneliti Arkenas di seluruh Indonesia, ada 122 pegawai negeri sipil. Menurut dia, jumlah peneliti minim lantaran seleksinya disamakan dengan perekrutan pegawai negeri. “Idealnya perekrutan peneliti khusus. Seleksinya bisa berupa portofolio riset dan publikasi,” tutur peraih beasiswa pascasarjana di Griffith University, Australia, itu.

Sumber daya manusia dan infrastruktur riset, menurut Kepala LIPI Laksana Tri Handoko, merupakan dua dari tiga modal riset yang utama. “Kalau dua itu ada, anggaran datang sendiri atau bisa dicari dari mana saja,” ujarnya dalam wawancara via Zoom, Sabtu, 1 Agustus lalu.

Dia mengungkapkan, penyebab kapasitas riset Indonesia tidak berkembang sejak 1970-an adalah salah kelola sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur. “Mulai 2018 kami melakukan perubahan besar. Dulu SDM dan anggaran terpisah di pusat-pusat penelitian, sekarang terintegrasi,” ucap Handoko.

Peneliti dari Departemen Pertanian melakukan identifikasi tanaman tembakau di persawahan Desa Walitelon, Temanggung, Jawa Tengah, 23 Juli 2020. Antara/Anis Efizudin

Begitu pula infrastruktur riset, yang tidak lagi dimiliki pusat penelitian di LIPI, melainkan diintegrasikan di kantor pusat. “Peneliti kebun raya sekalipun tidak lagi punya kebun raya. Mengapa? Karena dulu peneliti kebun raya lebih sibuk mengurusi kebun raya ketimbang melakukan riset. Sekarang kebun raya kami ambil alih, peneliti bisa memakainya kapan pun,” kata Handoko. LIPI, dia menambahkan, melakukan investasi infrastruktur yang besar, hampir Rp 2 triliun dalam perencanaan 2017-2022. Jumlah itu belum mencakup keperluan untuk kapal riset yang baru.

Handoko menjelaskan, dengan adanya infrastruktur dan perubahan manajemen riset sehingga remunerasi peneliti disetujui untuk dinaikkan, LIPI mampu menggaet anak-anak diaspora Indonesia. “Sekarang formasi peneliti di LIPI itu harus diisi oleh S-3 (strata 3) agar kita bisa lebih cepat berjalan. Kalau merekrut S-1, butuh waktu 10 tahun untuk menyekolahkan, belum tentu passion-nya di (bidang) situ,” tuturnya.

Meski demikian, LIPI masih menata komposisi sumber daya manusianya, yang kini didominasi tenaga administrasi ketimbang peneliti. Menurut Agus Haryono, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI, jumlah tenaga administrasi membengkak karena pada 2009 semua tenaga honorer diterima menjadi pegawai negeri. “Mereka diminta meng-upgrade pendidikan dan pelatihan supaya bisa masuk ke SDM ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat membantu peneliti,” kata Agus melalui rapat daring (online) via Zoom, Jumat, 24 Juli lalu. “Saya tidak tahu persisnya, tapi kira-kira 1.000 peneliti berbanding 3.000 tenaga administrasi. Nanti setidaknya bisa 50 : 50.”

Harmonisasi sumber daya manusia dan pengelolaan infrastruktur juga dilakukan di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Menurut Sekretaris Utama BPPT Dadan M. Nurjaman, kunci membangun ekosistem riset dan inovasi adalah SDM dan infrastruktur. Pengembangan SDM di BPPT, Dadan menerangkan, akan difokuskan pada bidang teknologi yang sudah menjadi prioritas riset nasional. “Ini harus dipetakan dulu. Makanya sesuai dengan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, harus dibuat dulu rencana induk pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari situ terlihat bidang yang jadi prioritas sehingga pengembangan SDM akan mengikuti.”

Dadan melanjutkan, kini sumber daya manusia BPPT yang paling banyak adalah perekayasa, yang jumlahnya 1.400-1.500 dari 2.800 total aparatur sipil negara. “Penelitinya sekitar 20 persen atau 500-an orang. Sebagian fungsional juga ada yang menjadi analis kebijakan, pendukung manajemen, dan analis keuangan,” ujarnya. Menurut Dadan, BPPT juga tengah membangun talent pool untuk para pegawai fungsionalnya menggunakan merit system yang menunjukkan kematangan SDM bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Model ini nanti bisa digunakan juga di lembaga riset di daerah.

Persoalan kuantitas sumber daya manusia di lembaga penelitian kementerian lebih kompleks. I Made Geria, Kepala Pusat Penelitian Arkenas, mengaku hanya memiliki satu peneliti yang bertugas di Pulau Kalimantan. Akibatnya, banyak potensi obyek riset yang belum ditangani karena terhambat masalah SDM. “Ujung-ujungnya, malah peneliti asing yang lebih aktif,” tutur Geria.

Jumlah periset Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Komunikasi dan Informatika lebih sedikit, cuma 26 orang untuk seluruh Indonesia. Menurut peneliti telekomunikasi Riza Azmi, karena kurangnya sumber daya manusia, kebanyakan output riset di lembaganya digunakan untuk kebutuhan internal.

Anggota staf khusus Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Chairil Abdini, menyebutkan badan penelitian dan pengembangan (litbang) kementerian sangat beragam, dari yang bereputasi internasional seperti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman hingga yang hanya memberikan pelatihan atau sekadar melakukan sertifikasi. “Hasil evaluasi yang dilakukan Universitas Indonesia menemukan banyak masalah di badan litbang kementerian” ucap Chairil. Ia memberikan contoh, masalah tersebut antara lain dana yang besar tapi tidak jelas hasilnya, SDM yang tak memadai dari sisi jumlah dan kompetensi, serta kelembagaan yang beragam dengan proses bisnis yang tak jelas.

Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur melakukan ekskavasi di kawasan cagar budaya situs Kumitir Dusun Bendo, Kumitir, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, 7 Agustus 2020. Antara/Syaiful Arif

Kondisi seperti itu, Chairil menambahkan, memerlukan perbaikan terhadap ekosistem riset dan inovasi. Menurut dia, banyak negara berkembang berupaya mereplikasi keberhasilan riset dan inovasi negara maju, tapi hanya segelintir yang berhasil. “Salah satu penyebabnya adalah gagal membangun dan mengembangkan ekosistem riset dan inovasi,” ujar Chairil, yang juga Sekretaris Jenderal Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Penasihat Centre for Innovation Policy and Governance, Yanuar Nugroho, menyebutkan ekosistem riset dan inovasi yang baik akan menghasilkan tiga output, yakni kebijakan, penghiliran, dan kapasitas negara. “Mengapa kita perlu ekosistem pengetahuan dan inovasi? Karena ada dampak yang tidak dimaksudkan dari sebuah kebijakan (unintended consequences),” kata Yanuar. Ia mencontohkan kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menggelar pembelajaran jarak jauh dari rumah. “Ada 68 juta siswa terkena dampak. Sewaktu bikin kebijakan itu tidak terpikirkan dampak yang tak dimaksudkan.”

Chairil mengatakan, dalam merumuskan kebijakan, kementeriannya senantiasa berupaya menggunakan bukti ilmiah mutakhir dari berbagai sumber dalam ataupun luar negeri. Misalnya kebijakan pemulihan kegiatan ekonomi dan sosial aman Covid-19 yang disusun menggunakan pendekatan analisis skenario sehingga setiap wilayah dapat mengetahui kegiatan ekonomi apa saja yang harus tetap beroperasi, dapat beroperasi, dan yang paling akhir dibuka dengan protokol kesehatan yang standar atau ketat.

Namun, Chairil melanjutkan, tidak semua bukti bisa langsung digunakan dalam perumusan kebijakan. Contohnya di sektor kesehatan, bukti yang bersumber dari hasil penelitian memerlukan proses analisis yang ketat sebelum digunakan sebagai masukan kebijakan, seperti tentang penurunan angka stunting dan pengendalian penyakit menular. Dalam kasus ini, dia menambahkan, lebih dulu dilakukan pemilahan bukti yang kuat, yang lemah, atau yang diragukan validitasnya. Proses ini disebut pencarian puncak-puncak bukti. “Setelah itu baru dilanjutkan dengan sintesis bukti yang akhirnya bermuara pada perumusan kebijakan.”

Chairil menyebutkan ada beberapa faktor penyebab hasil riset tidak digunakan sebagai masukan kebijakan. Di antaranya buktinya lemah atau hasil riset tersebut sudah kedaluwarsa. “Contohnya, di awal pandemi Covid-19, yang disarankan memakai masker hanya orang yang memiliki gejala demam, batuk, dan gangguan pernapasan. Ternyata ada orang tertular tapi tanpa gejala sehingga kebijakan pemakaian masker kini disarankan bagi semua orang.”

Ihwal jumlah hasil penelitian LIPI yang menjadi landasan kebijakan pemerintah, Laksana Tri Handoko mengatakan hal itu sulit untuk diklaim karena peneliti melakukan riset tersebut untuk menemukan kebaruan dan bukan membuat produk. “Misalnya dalam sebuah radio terdapat 100 paten, nah, periset itu menghasilkan salah satu paten sehingga dia tidak bisa mengklaim membuat radio,” ujarnya. “Begitu juga dengan kebijakan. Misalnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 itu kan ada banyak kajiannya. Nah, pemilik paper kan juga tidak bisa mengklaim dia yang membuat undang-undang tersebut.”

Handoko menjelaskan, ada catatan jumlah paten yang dihasilkan LIPI. Di situs Portal of Intellectual Property Pusat Pemanfaatan dan Inovasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi LIPI terpampang jumlah paten yang dihasilkan peneliti lembaga itu sejak 1991 hingga 6 Agustus 2020, yakni 1.118 paten, 66 hak cipta, 32 merek, 20 desain industri, dan 11 perlindungan varietas tanaman. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menobatkan LIPI sebagai lembaga litbang yang paling banyak memohon paten pada 2018.

Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengungkapkan, ada efek bola salju dari penelitian biologi molekuler lembaganya bagi institusi-institusi negara. “Kami menjadi think tank program pendidikan Kementerian Ristek/BRIN,” tuturnya.

Lembaganya juga memberikan masukan bagi pemangku kebijakan, misalnya soal talasemia, hepatitis, dengue, virus emerging, malaria, serta penyakit degeneratif untuk bidang kesehatan. Masukan kepada kepolisian berupa forensik dan identifikasi korban bencana. Selain itu, perdagangan satwa liar dan pelestarian satwa langka di bidang kehutanan.

Menurut Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro, jika ingin menjadi negara berbasis inovasi, Indonesia harus menyiapkan apa yang menjadi sumber dari inovasi tersebut. “Inovasi itu datangnya dari litbang jirap (penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan). Jadi kegiatan research and development (R&D) harus menjadi perhatian dan ditingkatkan baik sumber dayanya maupun kualitasnya,” ucap Bambang.

Kegiatan litbang jirap itu, Bambang melanjutkan, masih tersebar di banyak tempat, di antaranya perguruan tinggi; lembaga penelitian nonkementerian, seperti BPPT, LIPI, Badan Tenaga Nuklir Nasional, serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional; juga badan litbang kementerian dan lembaga. Namun yang juga penting dilakukan adalah meningkatkan partisipasi swasta. “Membandingkan R&D berbagai negara memakai rasio antara investment atau belanja R&D terhadap produk domestik bruto, Indonesia posisinya memang masih sangat kecil, 0,25 persen. Kalau Korea Selatan 4,3 persen dari PDB,” ujar Bambang.

Dalam membangun ekosistem riset dan inovasi itu, kata Bambang, kementeriannya melakukan pendekatan triple helix, yakni sinergi atau kerja sama yang lancar di antara tiga pihak utama dalam kegiatan riset dan inovasi, yaitu dari sisi penelitian, industri, dan pemerintah. “Tapi hubungan dunia usaha dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian tidak terjalin sehingga dunia usaha menganggap lembaga penelitian belum bisa membuat (inovasi).”

Menurut Bambang, triple helix bisa berjalan kalau Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN sebagai fasilitator mengupayakan komunikasi yang intensif dan lancar antara dunia penelitian dan dunia usaha. “Di BRIN ada kata ‘inovasi’, maka key performance indicator saya bertambah. Jadi tidak hanya mendorong kegiatan riset dan aplikasi teknologi, tapi saya juga harus memastikan hilirisasi hasil riset tersebut,” ucapnya.

Ketua Umum Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia Totok Hadi Wibowo mengatakan banyak hasil riset yang dilakukan berbagai lembaga litbang tidak merespons permasalahan riil di dalam industri dan di masyarakat. “Solusi yang ditawarkan tidak sepenuhnya solutif, sementara di pasar ada teknologi yang lebih mampu menyelesaikan permasalahan riil tersebut bahkan dengan harga lebih murah,” kata Totok.

Adapun Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang melahirkan BRIN merupakan upaya memperbaiki keadaan. Menurut dia, sebelum ada undang-undang tersebut, inovasi belum diperlukan. Orientasi lembaga penelitian perguruan tinggi, dia menambahkan, masih seputar jurnal dan pebisnis cenderung menjadi pedagang ketimbang pengembang. “Dulu inovasi ada di dalam konsep dan pemikiran, sekarang inovasi sudah ada di undang-undang,” tutur Hammam. “Tentu saja yang juga penting bagaimana menjalankan undang-undang itu.”

Bambang menambahkan, undang-undang tersebut mengamanatkan BRIN mengintegrasikan semua badan litbang jirap. Namun, hampir sepuluh bulan sejak dilantik pada 23 Oktober 2019, kementeriannya belum memiliki struktur organisasi dan tata kelola karena peraturan presiden belum terbit. “Kami mengikuti semua ketentuan perundangan untuk pembuatan perpres itu dan sudah sampai tahap disetujui presiden.  Kami memahami enggak mudah karena kementerian merasa litbang masih harus jadi bagian mereka,” ucap Bambang, yang berjanji akan berbicara dengan kementerian lain agar integrasi berjalan mulus.

Bambang menolak mengomentari isu yang beredar seputar partai politik besar yang menginginkan wakilnya masuk dewan pengarah di BRIN. Menurut dia, dewan pengarah hanya ada pada badan yang berdiri sendiri, setingkat kementerian. “Contohnya Pak Doni Monardo itu ada dewan pengarah. Masalahnya kan struktur di Kemenristek ini mirip jabatan saya sebelumnya sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas atau mirip dengan Pak Sofyan Djalil (Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional) dan Pak Wishnutama (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif),” ujarnya.


Laporan khusus Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

 • Penanggung jawab: Dody Hidayat  Pemimpin proyek: Gabriel Wahyu Titiyoga  Penulis: Abdul Manan, Dody Hidayat, Gabriel Wahyu Titiyoga, Isma Savitri, Mahardika Satria Hadi, Nur Alfiyah  Penyunting: Dody Hidayat, Kurniawan, Nurdin Kalim, Sapto Yunus  Bahasa: Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian  Periset Foto: Jati Mahatmaji (koordinator), Gunawan Wicaksono, Ratih Purnama Ningsih  Desain: Munzir Fadly


Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus