Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Murid penyandang disabilitas mudah kehilangan fokus saat belajar di rumah.
Di Bali, orang tua murid penyandang autisme menilai perkembangan anaknya menurun selama pandemi.
Sekolah Emerald Jakarta membolehkan murid penyandang disablitas datang ke sekolah.
DITEMANI ibunya, Freisya Aidea Briliana sibuk mencorat-coret buku tulis di rumahnya di Dusun Jatirejo, Wukirsari, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, pada Kamis, 30 Juli lalu. Siang itu, Freisya belajar berhitung. Berkali-kali mata bocah 10 tahun itu terlihat menerawang. Setiap kali terdengar suara dari beranda, dia langsung berlari menghampiri. Sartiyah, ibunya, lalu memanggil dia kembali. Sartiyah meminta Freisya merentangkan jari untuk berhitung tambah-tambahan. Berkali-kali dia keliru. “Aku pusing,” kata Freisya kepada ibunya.
Freisya adalah pelajar kelas IV di sekolah inklusi SD Negeri Siluk di Kabupaten Bantul. Dia dinyatakan mengalami disabilitas intelektual. Selama pandemi, Freisya tak lagi datang ke sekolah. SD Negeri Siluk menerapkan sistem pembelajaran jarak jauh. Namun sistem itu menyulitkan Freisya dan ibunya. Keluarga itu hanya memiliki satu telepon pintar. Itu pun dipakai ayahnya, loper daging sapi, yang berangkat subuh dan pulang malam hari.
Untuk mengerjakan tugas sekolah, Freisya harus menunggu ayahnya pulang. Masalah lain yang dia hadapi adalah sinyal Internet byar-pet karena rumahnya berada di kawasan perbukitan. Untuk menyiasatinya, Freisya kerap menumpang di rumah Kepala Dusun Jatirejo, Purwono Dwi Nugroho, yang akses Internetnya lebih stabil. Dengan keterbatasan itu, tugasnya menumpuk dan kerap terlambat dikumpulkan. Sartiyah beberapa kali membujuk guru Freisya agar diberi perpanjangan waktu.
Membantu Freisya belajar, SDN Siluk mengirim guru pendamping, Nafrida Sekartiwi Astiyana, yang datang saban pekan. Lulusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Yogyakarta ini bertugas memantau perkembangan Freisya. Sehari-hari, Nafrida menjadi guru di Sekolah Luar Biasa Marsudi Putra 1 Bantul. Selama pandemi, dia diperbantukan di SDN Siluk dan mengampu empat murid penyandang disabilitas di sekolah tersebut. “Mereka butuh pendampingan ekstra,” ujar Nafrida.
Menurut Nafrida, murid penyandang disabilitas mental lebih sulit mengikuti pembelajaran jarak jauh. Dia mencontohkan, dari 91 siswa di SLB Marsudi Putra 1 Bantul, hampir semuanya mengeluh tak bisa belajar jarak jauh. Maka mereka pun membutuhkan kegiatan tatap muka. Kegiatan ini juga membantu guru mengetahui perkembangan para muridnya dan kebutuhan mereka.
Freisya menjadi satu dari ratusan ribu pelajar difabel. Pada 2018, jumlah siswa penyandang disabilitas lebih dari 993 ribu orang. Mereka tersebar di 2.241 sekolah luar biasa dan 29 ribu sekolah inklusi di seluruh Indonesia. Seperti pelajar yang tak berkebutuhan khusus, para murid dengan disabilitas pun terkena dampak Covid-19. Hasil riset Suara Disabilitas dari Indonesia terhadap 128 anak penyandang disabilitas menunjukkan 67,9 persen di antaranya kesulitan mengikuti metode belajar online. Mereka memilih studi secara mandiri atau bahkan tidak belajar sama sekali.
Survei itu juga menunjukkan sebanyak 47,6 persen anak disabilitas belajar dengan ditemani orang tua. Namun itu pun tak menyelesaikan persoalan. Kepala Sekolah Tunarungu Sushrusa, Denpasar, Ni Made Raka Witari, mengatakan tidak semua orang memiliki pemahaman tentang materi belajar untuk anak tunarungu. Ia kerap menerima laporan dari para pengajar ataupun keluhan orang tua sejak sekolah itu menerapkan pembelajaran jarak jauh pada 16 Maret lalu.
Mengatasi rendahnya pemahaman orang tua, Sekolah Sushrusa, yang membina 11 murid pendidikan anak usia dini dan 45 pelajar sekolah dasar, membuat video tutorial berisi materi pelajaran. Video itu dibagikan setiap pagi, sebelum pelajaran dimulai. Tapi Raka Witari mengatakan sejumlah orang tua tetap kesulitan mengikuti panduan pelajaran. Para guru mendorong orang tua siswa bertanya di grup WhatsApp jika tidak paham. Raka Witari sebenarnya berharap sekolah bisa kembali berjalan normal. “Anak-anak sangat ingin kembali belajar tatap muka,” ujarnya.
Kesulitan serupa dialami para orang tua murid di Rumah Belajar Autis Sarwahita. Salah satu orang tua, Nyoman Sukadana, mengaku kewalahan mendampingi anaknya. Sukadana menilai kemampuan akademis anaknya yang berusia tujuh tahun menurun selama mengikuti pembelajaran jarak jauh. Sejumlah orang tua kemudian mendesak pengurus sekolah mengadakan lagi pembelajaran tatap muka.
Pada 13 Juli lalu, sekolah dengan sekitar 60 murid itu pun mulai dibuka kembali. Pengajar di Rumah Belajar Sarwahita, Ratih, mengatakan sekolah itu memberlakukan syarat, yaitu anak-anak yang tidak fit dilarang ke sekolah. Ini untuk menghindari penularan mengingat kerap terjadi kontak fisik antara murid dan guru. Ratih menilai pertemuan tatap muka membantu perkembangan anak penyandang autisme. “Persoalan anak autis adalah mereka butuh bersosialisasi,” ujar Ratih.
Ketua Yayasan Wahana Inklusif Indonesia Tolhas Damanik menilai pembelajaran jarak jauh tak terlalu bermasalah bagi penyandang disabilitas fisik. Anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental dan intelektual lebih sulit menerima materi pelajaran secara daring. “Masalahnya, kebijakan pemerintah di sektor pendidikan belum menyentuh mereka,” tuturnya. Menurut dia, lembaga pendidikan perlu bersiasat agar murid-muridnya bisa mengikuti ritme belajar. Misalnya, ada guru yang meluangkan waktu menangani anak berkebutuhan khusus, atau pengelola sekolah mengizinkan peserta didik datang.
Sekolah Emerald Jakarta termasuk yang memperbolehkan siswanya datang ke sekolah sekali sepekan. Salah satu siswanya menyandang Down syndrome. Farida Rachman, Kepala Sekolah Emerald, bercerita anak tersebut merengek seharian kepada orang tuanya minta diperbolehkan datang ke sekolah dan bertemu dengan teman-temannya. Tak diizinkan, anak itu lalu mengurung diri. Dia kemudian mengamuk dan mengalami demam tinggi. Karena alasan semacam itulah sekolah memperbolehkan anak disabilitas datang secara bergiliran.
Di Sekolah Emerald, ada 34 anak berkebutuhan khusus. Farida mengatakan pembelajaran jarak jauh berdampak psikologis buruk bagi mereka. Perkembangan mereka pun cenderung terhambat selama pandemi. Selama di rumah, kata Farida, anak-anak cenderung lebih manja dibanding saat berada di sekolah. Salah satu strategi yang diterapkan sekolah ini adalah memberikan pelajaran bina diri. “Mereka mesti menyelesaikan tugas sehari-hari dan menandai apa saja yang sudah mereka lakukan,” ujar Farida.
WAYAN AGUS PURNOMO (JAKARTA), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), MADE ARGAWA (DENPASAR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo