Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara
KEPALA BADAN EKONOMI KREATIF TRIAWAN MUNAF :

Berita Tempo Plus

Kita Bisa Menciptakan Miliarder-miliarder Baru

23 Februari 2015 | 00.00 WIB

Kita Bisa Menciptakan Miliarder-miliarder Baru
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Portofolio Triawan Munaf cukup lengkap sebagai Kepala Badan Ekonomi Kreatif. Ia bukan orang baru di industri kreatif: pernah menjadi vokalis kelompok musik rock asal Bandung, Giant Step, pada 1970-an dan mengembangkan bisnis iklan dengan mendirikan Euro RSCG AdWork pada 1989. AdWork adalah agensi yang membuat logo banteng moncong putih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. "Selama puluhan tahun saya bekerja dengan pelaku ekonomi kreatif," kata Triawan.

Ia yakin potensi sektor ini begitu besar. Saat ini saja, dalam catatan Triawan, potensinya mencapai Rp 500 triliun-7 persen produk domestik bruto Indonesia. Lima tahun ke depan ia memprediksi bisa naik dua kali lipat atau 14 persen dari PDB. Dia mencontohkan game Slide The Block yang dikembangkan oleh Alegrium (pengembang game lokal), sebagai potensi yang akan dikembangkan badannya. "Game Slide The Block berada di peringkat keempat App Store. Luar biasa, kan?" ujarnya.

Setelah sempat berada di bawah Kementerian Pariwisata, sektor ekonomi kreatif akhirnya memang dikeluarkan dari kementerian. Ada 16 subsektor yang masuk badan ini, dari film, kuliner, fashion, pekerjaan tangan, fotografi, game, hingga arsitektur. Tapi tidak secara otomatis program atau orang-orang di kementerian itu akan masuk ke Bekrafsebutan resmi badan yang dipimpin Triawan. "Saya mau cek dulu orang yang masuk bersih apa enggak. Kami ambil kalau tidak ada masalah," ujarnya.

Dia berbicara banyak tentang tantangan-tantangan yang dihadapinya di kantor Tempo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu. Gayanya flamboyan dengan kemeja lengan pendek memperlihatkan sedikit otot bisepnya. Ia didampingi lima anggota staf yang disebutnya relawan. "Para pelaku ekonomi kreatif, termasuk mereka (staf) ini, yang meminta saya menjadi kepala," kata Triawan kepada Tempo.

Namun, sudah hampir sebulan dilantik, selama itu juga ia belum punya kantor, deputi, dan pegawai resmi. "Saya ini jomblo," katanya, tertawa. Triawan mengibaratkan dirinya sebagai kepala yang tidak memiliki bagian badan, kaki, dan tangan, sehingga kepalanya menggelinding ke sana-kemari. "Menyetir dan bayar makan juga sendiri, belum ada dana operasional," ujarnya.

* * * *

Anda terpilih menjadi Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dengan dasar balas budi karena merupakan bagian dari tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla?

Wah, enggaklah. Kontribusi saya pada saat kampanye amat minimal. Masih lebih banyak pihak atau tokoh lain yang lebih berjasa. Peran saya di tim sukses juga kecil. Ketahuilah, satu kali pun saya belum pernah menghadiri rapat tim sukses.

Bentuk dukungan minimal itu seperti apa memangnya?

Bersama beberapa teman, antara lain Abdee "Slank", Jerry Justianto, dan Veronica Kolondam, kami memulai inisiatif membuat rangkaian Konser Salam Dua Jari di Gelora Bung Karno dan beberapa tempat lain. Dalam beberapa acara lain kampanye, saya juga ikut membantu merencanakan dan melaksanakan bersama para relawan.

Kapan Anda pertama kali diminta menjadi Kepala Bekraf oleh Presiden Joko Widodo?

Pada 25 Januari 2015, sehari sebelum pelantikan.

Anda saat itu langsung menerima pinangan tersebut?

Awalnya ragu. Tapi akhirnya saya anggap posisi ini sebagai kepercayaan dan amanah, karena sesuai dengan pemikiran saya juga: ekonomi kreatif harus ditangani lebih khusus. Saya terkejut terpilih karena yang saya dengar banyak sekali yang menginginkan posisi ini.

Sejauh apa perhatian Presiden terhadap ekonomi kreatif?

Ketika saya menemani Presiden ke Bandung beberapa waktu lalu, tampak sekali dia menyukai industri kreatif. Presiden mengunjungi Pindad (Perindustrian Angkatan Darat) hanya 10 menit, tapi ketika datang ke Bandung Creative City Forum dia meluangkan waktu sampai dua jam.

Sebenarnya yang Anda presentasikan ke Presiden Jokowi itu konsep yang bagaimana? Apa yang membuat dia tertarik?

Pengembangan ekonomi kreatif tentunya. Contoh konkret tari kecak di Bali. Itu yang menciptakan adalah pelukis Jerman, Walter Spies, pada 1930-an. Menurut saya, Spies telah melakukan pemberdayaan ekonomi yang amat baik sehingga salah satu budaya Bali bisa dijadikan simbol. Anda lihat sendiri tari kecak muncul di mana-mana dan memberi nafkah ke banyak orang. Ini ekonomi kreatif yang perlu dicontoh dari seni pertunjukan.

Apa pesan Presiden kepada Anda?

Presiden meminta saya bisa mengakselerasi pertumbuhan sektor ekonomi kreatif kepada produk domestik bruto (nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu).

Potensi ekonomi kreatif saat ini 7 persen dari PDB, itu sekitar Rp 500 triliun. Lima tahun ke depan, Anda optimistis menjadikannya 14 persen. Didasari apa keyakinan Anda itu?

Banyak talenta yang mendunia di sektor ini. Contoh game Slide The Block, yang dikembangkan oleh Alegrium (pengembang game lokal). Game ini berada di peringkat keempat App Store. Luar biasa, kan? Banyak sebenarnya anak kos yang membuat game setara dengan kualitas Angry Birds. Sebab, bagi para digital native-generasi yang lahir di masa ketika perkembangan teknologi digital berlangsung-mudah banget membuat game seperti itu.

Persoalannya, ketika mereka berhasil membuat game, investor luar menawari mereka dengan harga tinggi, sampai Rp 1 miliar. Bagi anak kos biasa, melihat uang miliaran rupiah pasti mereka melepas karyanya itu. Padahal potensi game tadi bisa melebihi Rp 500 miliar jika diatur dengan baik manajemen, bisnis, pajak, dan pemasarannya. Pasti menjadi lebih potensial.

Itu yang akan dikerjakan Bekraf?

Persis. Keinginan kami, si anak kos tidak terburu menjual game buatannya. Sebab, ide kreatifnya bisa dikembangkan dan saya yakin kami bisa menciptakan miliarder-miliarder Indonesia yang baru.

Dunia kreatif dan dunia birokrasi itu sepertinya berlawanan. Yang satu terbuka, yang lain kaku.

Saya akan membuat pendekatan baru. Yang saya inginkan tentunya keterbukaan dalam birokrasi.

Kultur baru yang tidak memberi celah pada korupsi?

Tidak ada jaminan kalau soal itu. Di setiap lini itu ada kemungkinan. Karena itu, badan ini akan dibuat untuk selalu terbuka. Menurut saya, yang menyebabkan adanya penyelewengan adalah birokrasi yang jarang sekali bertemu bersama kemudian membicarakan program, sehingga terkesan tertutup.

Berapa orang yang aktif saat ini di Bekraf?

Satu orang, saya saja yang resmi. Yang bantu-bantu saya sebut sebagai relawan. Setiap hari dan setiap rapat, orangnya bisa ganti-ganti.

Lalu siapa kandidat yang akan mengisi enam deputi yang dibawahkan Bekraf?

Itu rahasia, he-he-he.... Saya baru tahu bahwa informasi seperti ini rahasia karena dikasih tahu oleh salah satu birokrat. Dia bilang, etikanya, penunjukan deputi itu tidak boleh bocor.

Pos deputi akan diisi oleh profesional atau pegawai negeri sipil?

Dari jumlahnya mungkin akan imbang. Hal ini dilakukan untuk mendukung birokrasi yang ternyata akan jadi besar sekali. Meski ada kalangan profesional, tetap harus ada dukungan dari pegawai negeri. Paling tidak mereka (pegawai negeri) lebih paham birokrasi dan berpengalaman soal administrasi dan kesekretariatan.

Dengan memisahkan diri dari Kementerian Pariwisata, apakah Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya akan otomatis masuk ke Bekraf?

Tidak begitu. Nomenklaturnya memang memisahkan antara Kementerian Pariwisata dan sektor ekonomi kreatifnya. Tapi jangan sampai ada kesan Presiden Jokowi membuat 300 orang jadi penganggur karena membentuk badan baru. Yang pasti, kami kini menyeleksi orang-orang yang mampu dan punya integritas, yang berasal dari mana saja, termasuk dari tempat yang lama.

Bagaimana dengan program di Kementerian Pariwisata yang sudah telanjur disusun sampai Maret? Apakah akan dialihkan ke Bekraf?

Memang banyak program yang sudah berjalan. Misalnya Festival Film Indonesia dan pengiriman utusan ke Venice Biennale (pameran seni rupa kontemporer di Venesia) serta Festival Film Internasional Berlin (Berlinale). Ada juga Indonesia Fashion Week (IFW) pada Maret nanti. Program itu amat bagus, dan harus dibiayai. Nah, ketika ada pihak IFW menemui saya, saya juga tidak bisa apa-apa, dan jujur bilang kepadanya bahwa saya tidak ada anggaran untuk membiayai itu. Program-program itu sudah dijalankan Kementerian Pariwisata.

Kewenangan Bekraf membingungkan, seperti tumpang-tindih dengan kewenangan kementerian. Misalnya menjadi host pada Frankfurt Book Fair, Oktober mendatang. Bagaimana koordinasi Anda dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karena penerbitan dan buku kan masuk ke 16 subsektor Bekraf?

Jangankan dari luar, kami pun melihatnya begitu, masih bertanya-tanya. Yang jadi korban memang adalah program-program yang beririsan. Saya akan membicarakannya dengan Pak Anies Baswedan (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) untuk harmonisasi.

Apakah Anda bisa mengakses anggaran untuk sektor ekonomi kreatif di Kementerian Pariwisata itu jika tugas mereka berakhir Februari ini?

Begitu saya dilantik, anggaran untuk ekonomi kreatif di Kementerian Pariwisata sudah ditutup, sehingga tidak bisa lagi mencairkan anggaran. Sisa anggaran Rp 300 miliar yang ada itu sudah keburu ditarik oleh Kementerian Keuangan.

Bagaimana dengan anggaran untuk Bekraf Rp 1,5 triliun?

Tadinya anggaran itu sudah masuk ke Bendahara Umum Negara. Tapi saat ini kami sedang berfokus mematangkan program-program yang akan dibuat untuk menyerap anggaran itu. Kalau belum siap, malah keteter nantinya. Tiga minggu persiapan ini kami intensif sekali bertemu dengan segala macam birokrasi dan kementerian untuk mematangkan organisasi.

Kalau anggaran belum turun, bagaimana Anda bekerja?

Pakai uang sendiri. Untuk makan, misalnya, saya tidak mau membayar para relawan, karena tidak punya uang. Sedangkan relawan yang membantu juga tidak mau dibayarin.

Bicara tentang program, apa program Andalan Anda?

Film, musik, dan aplikasi online (game dan e-commerce) akan jadi lokomotif. Bukan berarti yang lain tidak penting. Saya tahu hal ini begitu sensitif. Ketika saya terkesan menjadikan ketiganya sebagai lokomotif, yang lain seperti tidak mendapat keadilan. Saya ditelepon oleh subsektor lainnya. Padahal, maksud saya, ketiganya itu dipilih menjadi lokomotif, agar gerbong lain, yang diisi subsektor lain, ikut maju semua. Saya ingin program yang berjalan itu sederhana tapi fokus dan bisa meledak di pasar dunia.

Kenapa film dan musik yang dipilih?

Daya tangkap orang di dunia konsumen itu visual. Lihat Korea Selatan, yang menampilkan girl band SNSD dan Psy. Penampilan mereka total dengan segala kreativitasnya.

Apa sih hal yang membuat kita tidak bisa maju di industri kreatif? Potensinya kan besar, tapi kok tidak maju seperti negara lain?

Itu cerminan negara ini. Kalau sistem pemerintahan sudah bagus, otomatis semuanya akan bagus. Selama negara ini seperti sekarang, kita akan mendapat dukungan yang minimal dari sistem.

Kalau menunggu negara ini beres, untuk apa ada Bekraf? Toh, selama ini pengembang game bisa menjual produknya, pengusaha kuliner sudah jalan, tidak terpengaruh oleh adanya badan Anda ini?

Kami ini fasilitator. Kalau para pelaku industri kreatif tidak diperkenalkan satu sama lain, dan bergerak secara informal saja, mereka tidak bisa saling berkontribusi. Kami akan mensinergikan mereka, sehingga ego sektoral hilang. Beberapa waktu lalu saya ke Binong Jati, sentra rajutan di Bandung Selatan. Di sana ada 400 perajin rumah tangga. Mereka tidak punya akses modal untuk jadi besar, karena jaringan mereka hanya ke pengusaha Tanah Abang, Jakarta. Perajin ini terkadang terlambat dibayar, tapi mau bagaimana, mereka tersandera. Nah, di sinilah fungsi Bekraf. Mengidentifikasi masalah dengan membawa akses permodalan ke sana.

Menurut Anda, dalam lima tahun ke depan badan ini akan seperti apa?

Kalau melihat peta persaingan ekonomi kreatif dunia, Inggris dan Korea Selatan bisa dijadikan contoh, karena mereka begitu siap dengan infrastruktur ekonomi kreatifnya. Korea saat ini primadonanya. Kami mau mengarahkan seperti kedua negara itu dengan menanggalkan sistem-sistem lama yang membuat ekonomi kreatif kita mundur 100 tahun.

Apa yang salah dengan sistem lama?

Ya, kita tidak bisa lagi memakai sistem lama dengan konsep memakai event organizer (EO) untuk sebuah festival atau acara. Para EO ini mendapat proyek dari kementerian. Pastinya, yang paling murah itu yang akan menang. Yang kita inginkan adalah kompetensi dan kualitas.

Itu evaluasi Anda terkait dengan kisruh pengiriman delegasi dari Kementerian Pariwisata ke Festival Film Berlin atau Berlinale? Yang berangkat ke festival itu justru bukan orang yang filmnya akan diputar atau orang sineas terkenal.

Kami akan mengevaluasi festival apa saja yang harus kita hadiri. Dan, bukan sekadar hadir, kami akan mengevaluasi sejauh mana kontribusi karya kita di sana, tujuannya apa, dan apa dan siapa yang harus dikirim. Setelah mereka pulang dari sebuah festival, apa pun itu, harus ada tindak lanjutnya. Kami punya niat membangun, sehingga, kalau punya dana Rp 100 miliar, ya, tumpahkan semuanya untuk program secara penuh dan jujur untuk para pelaku. Kami enggak bisa mengirim sembarangan ke setiap festival.

Kenapa Anda ingin mencontoh Korea dan Inggris? Bukannya kita belum mampu melewati Malaysia atau Thailand? Sekitar 20 tahun lalu, Thailand belum apa-apa di bidang film. Saat ini para sineas kalau mencetak film justru di Thailand.

Jangan salah. Rating animasi Indonesia Adit dan Sopo Jarwo itu mengalahkan Upin & Ipin. Bisa lebih besar kalau kita mendorongnya. Serial itu melibatkan 300 animator dan rumah produksi yang besar. Hanya sepuluh menit per minggu, tapi kualitas cerita yang begitu bagus. Kita bisa, kok.

Putri Anda, Sherina Munaf, begitu populer di mata publik, bahkan pengikutnya di media sosial Twitter begitu banyak. Apakah Anda akan memanfaatkannya untuk Bekraf?

Sejak berkiprah di perusahaan swasta, saya tidak pernah mau melibatkan keluarga, apalagi di lembaga pemerintah ini.

Sebagai vokalis Giant Step pada 1970-an, apakah di waktu luang Anda sempat meluangkan hobi bernyanyi?

Belum sempat lagilah, he-he-he ...

Bambang Widjojanto
TEMPAT DAN TANGGAL LAHIR: Bandung, 28 November 1958 PENDIDIKAN: Mahasiswa Television Training Centre, London, Inggris; belajar Organisasi, Manajemen Bisnis dan Aspek Operasional Televisi Komersial (1978-1980) | Belajar di Sekolah Teknologi Komputer di London, Inggris (1978-1980) | Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Parahyangan, Bandung (1976-1978) KARIER: Kepala Badan Ekonomi Kreatif (2015-...) | Founder and Chairman of Advocado (PT Senopati Guntur) (2011-sekarang) | Chairman, Creative Adviser and Co-founder of AdWork! Euro RSCG Partnership (1999-2010) | President Director AdWork! Euro RSCG Partnership (1989-1999) | Mendirikan AdWork! Advertising bersama Sjahrial Djalil dan Dion Siswandi (1989) | Bekerja sebagai Account Director at AdForce J. Walter Thompson, Jakarta (1987-1989) | Bekerja di berbagai posisi di Fortune Indonesia/Dancer Fitzgerald Sample (1982-1987) | Vokalis kelompok musik rock asal Bandung, Giant Step (1970-an)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus