Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Punya tiga ekor sapi, Karjono untung bertubi-tubi. Dia tak hanya punya tabungan karena bisa menjual sapi pedagingnya manakala butuh duit. Teletong alias kotoran sapinya pun membawa berkah. Melalui Program Biogas Rumah (Biru), pria 50 tahun itu mengolah kotoran binatang peliharaannya tersebut menjadi sumber energi. Selain untuk menyalakan lampu petromaks, gas yang dihasilkan dari reaktor biogas bervolume 8 meter kubik di belakang rumahnya bermanfaat buat menyalakan kompor gas.
Minimal, dari pemanfaatan biogas ini, ia menghemat sekitar Rp 80 ribu karena tak perlu membeli empat tabung elpiji isi tiga kilogram per bulan. Saking melimpahnya pasokan gas, saat ada hajatan pun ia tak perlu dana ekstra untuk membeli elpiji atau kayu bakar.
Keberuntungannya berlanjut. Ampas biogas, yang lazim disebut bio-slurry, dia manfaatkan sebagai pupuk organik untuk tanaman padi di sawah dan palawija di tegalan miliknya. Sebelumnya, jika musim tanam tiba, ia harus merogok kocek hingga Rp 485 ribu untuk membeli 200 kilogram pupuk urea dan 50 kilogram pupuk TSP (triple superphosphate). Kini hidupnya jauh lebih hemat. Dengan kombinasi ampas biogas, penggunaan pupuk kimia cukup 50 kilogram urea dan 25 kilogram TSP—keduanya bisa ditebus dengan Rp 120 ribu.
Tak hanya buat pupuk, ampas biogas juga dipakai warga Desa Lembu, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang, ini untuk pembuatan pakan lele peliharaannya serta sebagai media beternak cacing. Lele hasil panen di kolam miliknya seluas 8 meter persegi itu lebih banyak dikonsumsi sendiri, sebagian dibagikan ke tetangga. Sedangkan ampas biogas yang ditumpuk dengan luas 2 meter persegi dan ketebalan sekitar 20 sentimeter itu cepat menjadi "rumah" cacing. Dalam sebulan, Karjono bisa memanen 1-2 kilogram cacing. Cacing anakan dijual Rp 60 ribu per kilogram, sedangkan indukan Rp 90 ribu per kilogram.
"Saya mengenal Biru sejak 2012 dan memetik banyak manfaat darinya," kata Karjono saat ditemui Tempo di rumahnya, Selasa dua pekan lalu. Desa tempat Karjono tinggal, yakni Desa Lembu, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang, adalah salah satu desa percontohan proyek Biru. Tahun lalu, desa dengan 770 keluarga ini meraih gelar desa mandiri energi tingkat Jawa Tengah. Di desa yang mayoritas warganya beternak sapi ini terdapat 108 keluarga yang memiliki reaktor biogas rumah.
Program Biru dikelola oleh Hivos, organisasi pendanaan nonpemerintah dari Belanda. Biru mendapat dukungan teknis dari Stichting Nederlandse Vrijwilligers (SNV/Organisasi Pembangunan Belanda), dan didanai oleh pemerintah Norwegia serta program Energizing Development (EnDev). EnDev adalah sebuah inisiatif gabungan dari sejumlah negara, yakni Belanda, Jerman, Norwegia, Australia, Inggris, dan Swiss. Di Indonesia, Hivos bermitra dengan Yayasan Rumah Energi untuk melaksanakan Program Biru. Pemanfaatan biogas rumah ini merupakan salah satu program Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Di Desa Lembu, pelaksanaan proyek ini mendapat pendampingan dari Yayasan Trukajaya, Salatiga.
Menurut Robert de Groot, Manajer Program Biru-Hivos, sejak dimulai pada 2009, Program Biru sudah menjangkau sembilan provinsi di Indonesia. Adapun reaktor Biru yang dibangun sudah mencapai 14.173 buah. Itu berarti, dalam setahun, lebih dari 2.800 reaktor biogas dibangun. Menurut penghitungan Hivos, hingga 3 Februari lalu, kata De Groot di kantornya di kawasan Kemang Selatan, Jakarta, Rabu dua pekan lalu, "Lebih dari 70 ribu orang Indonesia mendapatkan manfaat dari Program Biru."
Kerja keras serta upaya pengembangan energi terbarukan dan lestari ala Biru ini resmi terdaftar dalam skema karbon kredit Gold Standard sejak 2013. Program Biru pun mendapat pengakuan bahwa dari setiap reaktor yang terbangun diperkirakan mampu mengurangi emisi sekitar 3 ton CO2 per tahun.
Di luar itu, De Groot menuturkan bahwa Biru memiliki sejumlah keunggulan. Di antaranya, reaktor berstandar SNI 7826:2012 dibuat dengan konstruksi beton dan dapat bertahan hingga 15 tahun jika digunakan serta dirawat dengan baik. Ada juga garansi alat selama satu tahun, sedangkan garansi bangunan reaktor tiga tahun. Dan, ini yang berdaya tarik tinggi, warga yang membuat reaktor Biru sendiri diganjar subsidi Rp 2 juta per reaktor.
Biogas adalah gas alami hasil fermentasi campuran air dan kotoran ternak, seperti sapi, kerbau, babi, dan unggas (ayam dan puyuh), di dalam reaktor biogas. Ada sejumlah manfaat pemakaian biogas, antara lain lebih ekonomis, bersih, dan sehat, plus penggunanya ikut aktif menjaga kelestarian lingkungan. Manfaat lain, seperti yang dipetik Karjono, berpotensi menjadi sumber tambahan ekonomi keluarga, terutama dari pemanfaatan ampas biogas.
Ihwal manfaat Biru, survei yang dilakukan Biru pada 2013 menguatkan hal itu. Pengguna Biru menyatakan bahwa lingkungan rumahnya menjadi lebih sehat: asap di dapur lebih sedikit (79 persen), dapur lebih bersih (72 persen), dan kandang ternak pun lebih bersih (69 persen).
"Bau limbah ternak peliharaan pun berkurang hingga 80 persen," kata Abbas, peternak ayam potong dari Desa Sodo, Kecamatan Talun, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Sebelum memanfaatkan biogas rumah, Abbas kelimpungan lantaran kesulitan mengatasi polusi udara dari 1.000-2.000 ekor ayam potongnya. Pria 60 tahun ini masih ingat, ia sempat diadukan ke perangkat desa gara-gara bau kotoran ayam peliharaannya itu.
Tak ada yang bisa meredam aroma tak sedap itu, sampai akhirnya ia mengikuti lokakarya biogas ini pada Juni 2012, lalu membangun reaktor Biru pada akhir Oktober 2012.
Abbas memilih reaktor berukuran 8 meter kubik, meski ada ukuran yang lebih besar lagi, yakni 10 dan 12 meter kubik. Untuk pembangunan reaktor, ia menyiapkan dana Rp 7 juta. "Saat itu saya masih ragu memilih kapasitas besar karena belum yakin hasilnya," kata Abbas.
Urusan reaktor beres, Abbas pun beraksi. Saban pagi, menggunakan gerobak dorong, ia memasukkan kotoran ayam ke dalam inlet yang berjarak 10 meter dari kandang ayam. Setelah terkumpul di dalam inlet yang berbentuk sumur dengan ketinggian bibir satu meter, kotoran tersebut diaduk dengan air menggunakan alat pengaduk dari besi. Perlahan-lahan kotoran tersebut masuk ke tangki reaktor yang ditanam sedalam dua meter melalui pipa inlet.
Di dalam reaktor inilah proses fermentasi berlangsung dan menghasilkan gas. Gas yang terbentuk akan tertampung di dalam kubah dan dialirkan ke atas melalui pipa utama, yang kemudian disambungkan ke peralatan seperti kompor dan lampu. Dari proses inilah Karjono dan Abbas menikmati manfaat biogas.
Meski ada bejibun manfaat biogas, belum semua tetangga Karjono dan Abbas tertarik. Salah satu alasannya, menurut keduanya, mereka sayang "membuang" uang untuk membuat reaktor. Tapi Robert de persen dan kawan-kawan pantang mundur. Tahun ini mereka menargetkan bisa memperluas wilayah Program Biru minimal di empat provinsi lagi di Indonesia.
Dwi Wiyana, Sohirin (Semarang), Hari Tri Wasono (Tulungagung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo