Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asvi Warman Adam*
Lima puluh tahun setelah Gerakan 30 September (G-30-S) 1965, secara berangsur sudah terbuka arsip di banyak negara, termasuk di Cina. November 2008, pemerintah Beijing untuk pertama kali membuka dokumen diplomasi Kementerian Luar Negeri tahun 1961-1965 dari hasil rapat tingkat tinggi pemimpin Cina sampai komunikasi antara kedutaan/konsulat dari luar negeri ke Beijing dan sebaliknya. Yang menyangkut Indonesia sebanyak 250 berkas setebal sekitar 2.000 halaman.
Musim panas 2013, Kementerian Luar Negeri Cina kembali menutup dokumen tersebut. Beruntung, Taomo Zhou—yang mempersiapkan disertasi di Cornell University—sempat membaca dan memanfaatkan arsip tersebut dalam tulisannya di Jurnal Indonesia Nomor 98, Oktober 2014. Arsip itu dapat membuktikan bahwa negara tersebut tidak terlibat G-30-S seperti diberitakan, misalnya, oleh koran Angkatan Bersendjata pada 25 April 1966 ("Kisah Gagalnja Coup Gestapu jang Dimasak di Peking", "Rezim Peking Perintahkan Bunuh 7 Djenderal & Semua Perwira 'Reaksioner'", "RRT Sanggupi Pengiriman Sendjata & Perlengkapan untuk 30.000 Orang").
Cina mendukung buruh-tani dipersenjatai, yang kemudian dikenal sebagai angkatan kelima. Namun mereka tidak sampai memutuskan: sekadar mempersenjatai buruh-tani atau menjadikannya angkatan bersenjata tersendiri di luar angkatan darat, laut, dan udara serta kepolisian. Pembicaraan tentang bantuan senjata ringan yang akan diberikan kepada Indonesia baru dilakukan setelah Omar Dani diutus Presiden Sukarno ke Beijing pada 17 September 1965. Tapi Cina memberikan syarat pengangkutannya dilakukan pihak Indonesia. Padahal, dalam waktu dua minggu, itu tidak mungkin dilaksanakan. Sebab, menjelang G-30-S, Sri Mulyono Herlambang sempat menanyakan kembali bantuan senjata ini kepada Beijing. Berarti bantuan senjata (ringan) dari Cina itu tidak terjadi sebelum meletus kudeta 1965.
Menurut memoar Soebandrio, ide pembentukan angkatan kelima sejalan dengan tawaran bantuan senjata dari Cina tanpa syarat untuk 40 batalion tentara Indonesia pada akhir 1963. Tapi, menurut Taomo Zhou, berdasarkan laporan arsip Cina, pada 1960-1963 Cina menolak hampir semua permintaan bantuan senjata dari Indonesia, dan baru sejak paruh kedua 1964 mulai ada perhatian Cina terhadap hal ini. Padahal, menurut informasi intelijen Cina, Uni Soviet telah menandatangani dengan Indonesia empat kesepakatan bantuan persenjataan senilai US$ 1 miliar. Pada 1960-1963, Uni Soviet membantu alat utama sistem persenjataan Angkatan Udara dan Laut Indonesia sebesar US$ 950 juta (dalam rangka operasi merebut Irian Barat).
G-30-S 1965 meletus bertepatan dengan hari nasional Cina 1 Oktober. Karena itu, ada 4.500 pengunjung Indonesia di seluruh Cina yang berpartisipasi dalam acara politik, ekonomi, militer, dan budaya. Di Beijing saja terdapat 28 delegasi Indonesia, yang semuanya berjumlah 500 orang. Hanya pejabat tinggi yang dapat pulang segera ke Tanah Air setelah peristiwa itu. Sebagian yang lain masih menunggu dan di antaranya meminta suaka kepada Cina. Sampai 1980, mereka masih dianggap sebagai "tamu Partai". Tapi, ketika Cina akan memperbaiki hubungan diplomatik dengan Indonesia, status mereka diturunkan menjadi "pendatang". Bukan hanya Cina yang menerima suaka para eksil Indonesia ini, tapi juga Uni Soviet serta negara-negara Eropa Timur dan Eropa Barat.
Dalam arsip Cina yang baru terbuka itu terdapat pula keterangan kerja sama nuklir antara Cina dan Indonesia. Bantuan terhadap Lembaga Tenaga Atom, yang didirikan pada 1958, datang pertama dari Amerika Serikat dan kemudian Uni Soviet. Sukarno tertarik pada pengembangan nuklir ini oleh negara dunia ketiga. Untuk ini sudah dilakukan kunjungan oleh delegasi Indonesia, yang dipimpin Marsekal Sutopo dan Jali Ahimsa, 21 September 1965. Mereka mengunjungi beberapa reaktor nuklir di Cina. Namun kerja sama ini terhenti dengan meletusnya G-30-S.
Bagaimana dengan negara lain? Amerika Serikat dan Inggris adalah dua negara yang sangat berkepentingan dengan perkembangan politik di Indonesia pada 1965 dan sebelumnya. Amerika, yang sedang berperang di Vietnam, tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan komunis. Inggris juga menginginkan hal serupa karena sedang membantu Malaysia menghadapi konfrontasi dengan Indonesia. Amerika menyerahkan daftar nama pengurus Partai Komunis Indonesia dan bantuan uang Rp 50 juta untuk Komite Aksi Pengganyangan Gestapu. Inggris mengirim agennya, Norman Reddway, untuk membentuk sebuah lembaga di Singapura, dan dari sana melancarkan kampanye antikomunis.
Seminar internasional "Indonesia and the World in 1965" yang diadakan di Jakarta, Januari 2011, mengungkap banyak hal tentang posisi dan reaksi berbagai negara besar terhadap G-30-S.
Pada 1965, ada dua Jerman di Jakarta: Jerman Barat, yang membuka kedutaan besar pada 1952, dan Jerman Timur, yang berstatus konsulat. Keduanya bersaingan, dan pihak Jerman Barat merintangi pengakuan negara asing terhadap Jerman Timur (waktu itu baru oleh belasan negara). Kedutaan Besar Jerman Timur baru dibuka pada era Orde Baru. Namun kedua Jerman itu bersikap skeptis terhadap politik luar negeri Indonesia dan perkembangan PKI. Pada ulang tahun PKI, Mei 1965, negara komunis Jerman Timur tidak diundang. Setelah meletus G-30-S, Jerman Barat melihat peluang ekonomi di Indonesia. Duta Besar Kurt Luedde-Neurath mengatakan "kesempatan itu harus diambil, jangan dilepaskan".
Richard Tanter, kini profesor di Universitas Melbourne, Australia, mengungkapkan betapa sedikitnya pengetahuan masyarakat Australia tentang pembantaian massal tahun 1965 di Indonesia ketimbang pembantaian oleh Nazi Jerman, rezim Stalin Rusia, atau Khmer Merah Kamboja. Tanter mencoba memperlihatkan bahwa pers, akademikus, dan politikus Australia mengetahui pembantaian tahun 1965, tapi mereka bungkam dan tidak berbuat apa-apa. Apa yang disampaikan Paul Keating pada 2008 mungkin bisa menjawab sikap politikus Australia: "Andaikata Orde Baru yang dipimpin Soeharto tidak menyingkirkan Sukarno dan PKI, akan terjadi destabilisasi di Australia dan seluruh Asia Tenggara."
Jepang juga memiliki posisi tersendiri dalam kasus G-30-S. Negara itu memiliki hubungan sangat baik sebelum G-30-S. Jepang mengirimkan delegasi ke Konferensi Asia-Afrika Bandung, 1955. Ketika Perdana Menteri Jepang Nobusuke Kishi berkunjung ke Indonesia pada 1958 dan mengadakan pembicaraan empat mata dengan Bung Karno, diperoleh persetujuan terakhir tentang pampasan perang yang dibayarkan Jepang tidak dengan uang, tapi melalui proyek yang dikerjakan perusahaan Jepang. Seminggu setelah pertemuan dengan Perdana Menteri Jepang, Sukarno memutuskan menasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia. Ketika kesulitan transportasi laut karena maskapai Belanda hengkang dari Indonesia, kapal-kapal Jepang datang membantu.
Pada 1964, Jepang menunjuk Shizuo Saito sebagai duta besar. Pilihan ini tepat karena ia memiliki kedudukan penting dalam Gunseikanbu Somubu pada zaman Jepang dan mempunyai hubungan pribadi dengan Sukarno sejak itu. Pada 30 September 1965, Saito sedang berada di Cilacap sehabis meresmikan proyek perusahaan Jepang. Ketika pulang ke Jakarta, ia sempat menginap di Hotel Savoy Homann di Bandung dan diberi tahu seorang warga Jepang bahwa telah terjadi kudeta di Ibu Kota. Saito langsung berangkat ke Jakarta. Dia mengeluarkan pernyataan yang berhati-hati ketika bertemu dengan Sukarno pada 12 Oktober 1965. "Di Jepang, ada ungkapan, 'Setelah hujan, tanah akan menjadi lebih keras lagi.' Seperti itu kami berharap Bapak Presiden dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi sekarang dan negara Indonesia akan menjadi lebih kuat lagi."
Ketika itu Jepang memberikan bantuan sandang dan pangan sebesar 2 miliar yen, padahal negara besar lain menunda hal tersebut sampai jelas betul kekuasaan beralih kepada siapa. Pada 23 Desember 1965, Duta Besar Jepang memberikan kredit untuk membeli kain dari Jepang sebesar US$ 6 juta. Beberapa waktu kemudian, Perdana Menteri Jepang Sato menanyakan kepada Setiadi Reksoprojo, yang ketika itu ditugasi ke Jepang, apakah Sukarno mau mencari suaka ke Jepang, dan ia menyatakan pemerintah Jepang bersedia menampung.
Pembukaan arsip di luar negeri semakin menguak misteri G-30-S yang terjadi setengah abad silam. Hubungan diplomatik dengan Cina dibekukan, penangkapan dan pembunuhan terhadap etnis Tionghoa dilakukan. Bahkan mereka dipaksa mengganti nama menjadi nama Indonesia. Semua itu karena tuduhan keterlibatan Cina dalam G-30-S/1965, yang ternyata tidak benar. l
Visiting research scholar pada CSEAS Kyoto University
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo