Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ada Mafia Peradilan di MA

Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata soal penangkapan dua hakim agung oleh KPK dan adanya mafia peradilan.

9 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata di Gedung Komisi Yudisial, Jakarta, 4 April 2023. Tempo/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dunia peradilan menjadi sorotan karena dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan.

  • Banyak hakim terseret korupsi dan vonis hakim yang janggal.

  • Komisi Yudisial yakin dapat membenahinya melalui sejumlah langkah.

DUNIA peradilan belakangan ini menjadi sorotan karena tak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Dari Pengadilan Negeri Surabaya yang menjatuhkan vonis bebas kepada dua polisi pelaku penembakan gas air mata dalam kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, hingga putusan aneh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum menunda Pemilu 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajah peradilan makin runyam oleh berbagai hakim yang terseret kasus korupsi. Selama 2010-2022, Komisi Pemberantasan Korupsi menyeret 21 hakim sebagai tersangka berbagai kasus. Yang mutakhir hakim agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh ditangkap KPK karena diduga menerima suap dalam kasus Koperasi Simpan Pinjam Intidana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata menerima informasi penangkapan terhadap Sudrajad dan Gazalba itu dari KPK. Dari pemeriksaan keduanya, Komisi Yudisial menemukan jaringan mafia peradilan yang masif. "Dari situ kami merekomendasikan beberapa hal, antara lain mutasi untuk jangka pendek,” kata Mukti kepada wartawan Tempo, Abdul Manan dan Iwan Kurniawan, di kantornya pada Selasa, 4 April lalu.

Dalam wawancara sekitar satu setengah jam, guru besar hukum ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu menjelaskan penyebab hakim terlibat korupsi dan upaya Komisi Yudisial menanggulanginya. Dia juga menguraikan hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung dan rencana penguatan KY melalui rancangan undang-undang baru.

Dalam kasus Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh, apa yang dilakukan Komisi Yudisial?

Tugas pokok KY adalah melakukan pemeriksaan terhadap hakim di ranah pelanggaran etik. Dua hakim ini kan jelas ditangkap KPK karena kasus suap dan sebagainya. Yang pidananya itu masuk wilayah KPK. Kami di wilayah etik. 

Dua hakim agung itu sudah dimintai keterangan?

Pihak terkait semuanya, termasuk yang tertangkap ataupun orang di sekitar mereka, kami tanya semua.

Selama ini memang kasus pidana dan etik berjalan bersamaan?

Ini wilayah beda. Kami bisa jalan sendiri dulu atau bersamaan atau setelahnya. Pertama, kalau sebuah kasus ditangani bersamaan, itu lebih efektif. Kami bisa bersinergi dengan KPK. Kami bisa bertukar data dan informasi dan sebagainya. Kedua, dengan Mahkamah Agung dan dua tersangka ini, ini yang kami kupas semua, bahwa kami telah menemukan adanya jaringan mafia peradilan. Ya, memang ada jaringannya.

Seperti apa jaringannya?

Dalam kasus ini ada jaringannya, walaupun jenis jaringannya agak berbeda dengan jaringan teroris. Ada skema. Itu kerja kelompok. Kerja jemaah. Tidak dilakukan sendirian.

Semuanya melibatkan orang di Mahkamah Agung?

Yang kami teliti kan di Mahkamah Agung. Makanya rekomendasi KY waktu itu meminta (MA) untuk memotong. Kami meminta beberapa panitera dan siapa pun yang menjadi bagian jaringan itu dimutasi. Ini sudah dilaksanakan MA. Ada 16 atau 17 orang yang kemudian dipindah.

Apa saja rekomendasinya?

Kami merekomendasikan beberapa hal. Untuk jangka pendek, melakukan mutasi. KY melakukan pengawasan lebih intens. Jangka menengah melalui pencegahan dan mekanisme pembagian kasus. Kadang-kadang mereka bermainnya sejak membagi kasus. Itu sudah memakai—istilah MA—“robotic” sekarang. Pakai digital. Dikocok pakai mesin. Dengan pertimbangan beban Si A sudah sekian kasus, Si B sekian kasus. Untuk jangka panjang, komitmen kelembagaan KY ataupun MA. Kami juga sudah ajukan Rancangan Undang-Undang KY untuk menguatkan kelembagaan ini sehingga dapat bekerja lebih efektif dan MA menyambut baik.

Dalam dua kasus hakim agung ini, apakah ada pola baru?

Beberapa yang kami tangani ataupun yang ditangani KPK dan kami ikut, itu polanya. Ada yang (menangani kasus) dari hakimnya langsung. Biasanya di tingkat pengadilan tingkat pertama. Langsung ketemu (hakim dan pihak beperkara) itu. Bisa saja, misalnya, (hakim) menawarkan (pihak beperkara) mau menang atau kalah. Ada yang lewat panitera atau staf atau siapa. Ada yang hakimnya tidak main, tidak mengerti. Mungkin tidak berniat pada awalnya, tapi kemudian karena ada godaan dari staf.

Apakah berkomunikasi dengan Badan Pengawasan MA dalam menangani ini?

Dalam beberapa hal, selama ini ada komunikasi antara KY dan Badan Pengawasan. Bahkan di era kami ini kami bersinergi dengan MA dengan membentuk tim penghubung. Ini salah satunya untuk memperbaiki komunikasi, administrasi, dan sistem pengawasan.

Orang menduga jangan-jangan MA tidak melakukan sesuatu....

MA telah menjalankan rekomendasi, melakukan pemindahan (pegawai), tapi kenapa tidak dikomunikasikan (ke publik)? Kita bicara soal kepentingan nasional. Kalau tadi bicara bahwa pengadilan sudah tidak dipercaya rakyat, kan repot. Ada hakim tertangkap. Di daerah-daerah, (kantor) peradilan dicoret-coret, dilempar macam-macam. Kan, ini menunjukkan kredibilitasnya sudah turun. Nah, kalau kita tidak mulai bicara, yang ditindaklanjuti dengan perbaikan, kepercayaan masyarakat akan turun dan itu akan chaos. Kalau masyarakat tidak percaya peradilan, tidak percaya hukum, ya berlakulah hukum rimba. Siapa yang paling berkuasa (akan menang). Kembali lagi, nanti bukan hukum yang jadi panglima, tapi politik, kekuasaan. Kemudian kita akan kembali mundur ke zaman Orde Baru.

Apakah ada faktor esprit de corps di lembaga peradilan?

Dalam konteks putusan, ada. Masalah kita di situ. Di satu sisi, kita harus menaati asas res judicata pro veritate habetur, bahwa setiap putusan hakim harus dianggap benar, sehingga MA ataupun pimpinan hakim, bahkan KY, tidak boleh mengomentari atau memeriksa substansi putusannya. Yang bisa mengubah adalah putusan hakim lain (di pengadilan tingkat berikutnya). Makanya ada hakim banding. Yang Komisi Yudisial lakukan adalah mencoba memeriksa dan mencari informasi bagaimana proses putusan itu keluar. Apakah ada intervensi, permainan, gratifikasi, tekanan. Katakanlah putusan kemarin itu jelek. Terus hakimnya kami periksa, (ternyata) memang dia terima gratifikasi. Ya, tetap saja hanya hakimnya yang kami beri sanksi, putusannya jalan terus. Enggak kemudian putusannya batal.

Meskipun ada gratifikasi?

Ya. Hakim ini kan dengan kemerdekaan dan independensinya menyandang kekuasaan kehakiman. Ini yang saya sampaikan di hadapan 8.150 hakim saat ulang tahun Ikatan Hakim Indonesia (pada 20 Maret lalu). Saya sampaikan, “Anda ini memegang jabatan mulia kekuasaan kehakiman. Tapi syaratnya ada dua. Pertama, harus punya integritas. Kalau orangnya masih mikir dapat berapa, pingin kaya dan sebagainya, ya susah. Bahkan, ketika Anda ditekan, itu integritas juga. Berani, enggak? Mentalnya kuat, enggak?” KY ini kan juga punya tugas, selain pengawasan dan peningkatan kapasitas, adalah advokasi. Semestinya hakim, kalau merasa diintervensi dan independensinya diganggu, lapor dong ke KY.

Selama ini ada yang lapor?

Lapor. Sekarang (jumlah laporan) naik jadi 20-30 setahun. Dulu cuma 10-15. Tapi semuanya soal kekerasan. Ancaman. Saya katakan, “Kalau Anda diiming-imingi dan iman Anda goyah, lapor KY. Kalau Anda ditawari uang, itu bukan berarti dihargai, tapi justru direndahkan karena dihargai sebatas uang. Dianggap barang. Anda dijualbelikan.”

Setelah integritas, apa lagi?

Soal integritas, hakim wakil Tuhan itu metafor saja. Saya sampaikan, “Ketika Anda membaca putusan 'Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa...' itu berarti Anda harus yakin bahwa yang kuasa itu Tuhan, yang berhak mengintervensi dan bisa menakut-nakuti Anda, bukan kekuasaan lain. Nah, ini butuh satu kapasitas. Butuh ilmu. Ilmu sendiri butuh kesalehan.”

Kami ini orang hukum. Kalau berdebat kan adu argumentasi. Ada adagium, “Kalau ada dua orang hukum, ada empat pendapat.” Argumentasi bisa diputar-putar supaya jadi benar. Yang dibutuhkan kesalehan intelektual bahwa saya ini berpikir dengan benar dan baik, bukan sekadar argumentasinya bisa diterima logika. Tapi logika yang benar, yang baik, sehingga memberi rasa keadilan. Bukan hanya para pihak, tapi masyarakat (juga) merasakannya.

Apa yang menyebabkan para hakim melakukan korupsi?

Pertama, komitmen terhadap kesadaran atau visi seseorang dalam memilih profesi hakim. Saya juga sampaikan, ketika Anda memilih menjadi hakim, sejak awal harus sadar bahwa Anda akan menjadi seorang pengadil, orang yang mengambil jalan sunyi. Karena enggak boleh semua perbuatan boleh Anda lakukan walaupun orang lain boleh, karena Anda harus bermartabat. Kalau orang lain boleh dugem, Anda tidak boleh, walaupun itu tidak melanggar hukum. Termasuk gaya hidup. Enggak ada hukum melarang orang menjadi kaya. Tapi, kalau kemudian hakim hidupnya foya-foya, hedonis, ya enggak tepat. Hakim itu selevel brahmana, ya. Hidupnya di gunung, menjauhi dunia. Kalau Anda jadi hakim, harus siap dengan konsekuensi itu. Termasuk istri dan anak saudara. Karena banyak juga ya mungkin dia sudah baik tapi istrinya mengatakan, “Pak, itu tetangga kok bangun rumah, mobilnya baru, tasnya Hermes.”

Apakah harapan itu realistis terhadap hakim kita?

Seorang hakim, kalau dilihat dari remunerasinya, gaji dan sebagainya, dia bisa hidup wajar. Bisa menyekolahkan anak; bisa beli rumah, kendaraan; berwisata dengan keluarga; dan sebagainya. Tapi jangan berlebihan. Kalau mau berlebihan, jangan jadi hakim. Jadi pengusaha saja, bisa cari untung yang banyak, atau jadi pengacara.

Dalam beberapa diskusi saya dengan hakim, ada hakim yang merasa kalau jabatannya naik—dulu hakim biasa sekarang jadi ketua pengadilan negeri dan seterusnya—maka standar hidupnya harus naik. Publik perlu dididik untuk menghargai hakim dari putusannya, bukan malah tanya: “Pak hakim naik apa sekarang?” Semuanya terlibat untuk menyokong kita jadi koruptor.

Berarti masyarakat kita juga sakit?

Masyarakatnya juga harus diajari. Faktor lain: tamak. Kecenderungan manusia kan tamak. Makanya saya sampaikan kepada para hakim bahwa semestinya, ketika Anda menyatakan diri sebagai hakim, Anda harus selesai dengan diri Anda. Bukan tidak makan, tidak minum, tapi keinginan-keinginan dunia itu tidak menjadi orientasi. Orientasinya ya memang jadi seorang pengadil.

Tren jumlah aduan hakim nakal naik atau turun?

Laporan masyarakat berkisar 2.500-3.000 dalam setahun. Mulai naik dalam satu tahun terakhir. Rata-rata selalu soal putusan, yang bukan kewenangan KY tapi kemudian kami coba lihat di balik putusan itu ada enggak pelanggaran etik, termasuk, misalnya, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (terhadap gugatan Partai Rakyat Adil Makmur atau Partai Prima).

Bagaimana rekomendasi KY ke MA selama ini? Banyak dilaksanakan?

Rekomendasi yang jadi masalah itu lebih pada perbedaan persepsi. Kami melihat itu sebagai perilaku etik, MA melihatnya teknis yudisial. Dalam hukum acara itu kan banyak persoalan perilaku. Banyak hal (berkaitan dengan) perilaku. Kalau kemudian diklaim dalam hukum acara itu sebagai teknis yudisial semua, ya enggak bisa juga. Kan, di situ ada perilaku. Bagaimana hakim, misalnya, tidak adil dalam pengajuan saksi atau dokumen sebagai alat bukti. Itu kan perilaku.

Kalau teknis yudisial, tidak bisa diperiksa KY?

Akan dilanjutkan oleh Badan Pengawasan MA karena ini di luar kewenangan KY.

Dalam kasus Kanjuruhan, apa yang menjadi perhatian KY?

Kami enggak boleh masuk pada putusan, tapi kami berangkat dari putusan. Putusan kok aneh. Termasuk putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat soal penundaan pemilu itu. Ya, kami enggak bisa batalkan (putusan) itu.

Bagaimana cara meningkatkan integritas hakim?

Satu, pengawasan dan investigasi, supaya kalau hakim merasa diawasi, dia mencoba tidak berbuat hal yang menyalahi. Kedua, pencegahan dan peningkatan kapasitas hakim. Setahun 600-700 hakim kami undang ikut pelatihan. Ketiga, advokasi. Di tengah hiruk-pikuk kasus ini, tren indeks integritas hakim itu naik.

Seperti apa trennya?

Tahun lalu 7,04. Sekarang 7,4. Ada tren naik. Dari KPK dan Transparency International naik juga. Artinya kita bisa optimistis berharap mungkin suatu waktu hakim kita benar-benar memiliki integritas dan kapasitas yang bisa membuat putusan-putusan mereka memberi rasa keadilan.

Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata usai berkoordinasi dengan pimpinan Komisi Pemberantasn Korupsi terkait kasus Hakim Agung Sudrajad Dimyati, di gedung KPK, Jakarta, 26 September 2022. Tempo/Imam Sukamto

Kapan itu bisa terjadi? Satu abad lagi?

Saya kira bisa kita akselerasi. Kalau kita melihat sejarah, Amerika Serikat pernah mengalami masa itu. Bahkan, pada 1930-1940-an di zaman Al Capone itu, dari hakim, jaksa, polisi, semuanya kena suap. Korup semua. Apalagi di Eropa. Sejarahnya panjang itu. Ratusan tahun mereka (berbenah). Kita jangan sampai ratusan tahun, lah. Dua puluh tahun lagi. Proses pembangunan, secara teoretis, kalau ada keterlibatan semua komponen. Jangan kalau soal hakim, KY saja. Masyarakat, akademikus, LSM (lembaga swadaya masyarakat), organisasi masyarakat, ikut, dong.

Berpartisipasi seperti apa?

Ikut menjaga. Jangan malah tanya, “Pak hakim, naik pangkat tidak jadi kaya?” Jangan begitu.

Hakim harus dinilai dari putusannya?

CV-nya kan putusannya, bukan berapa banyak STNK (surat tanda nomor kendaraan), sertifikat tanahnya. Saya pernah ke Jepang. Ada seorang hakim di sana yang tiap hari naik kereta. Begitu masuk pengadilan, siapa yang tidak hormat sama dia? Ini yang kita belum bisa. Kita menghormati seseorang dari tunggangannya, penampilan, rumah, dan kekayaannya, bukan dari putusan-putusannya.

KY pernah mengkaji vonis bebas oleh hakim. Bagaimana hasilnya?

Intinya ada beberapa hal. Pertama, secara hukum tidak ada yang dilanggar. Kedua, hampir semuanya secara argumentasi hukum masuk, walaupun agak lemah. Tapi kemudian yang dipertanyakan kan kesalehan intelektualnya, kesalehan akademiknya. Kenapa dia membuat argumen begitu? Benar, tapi enggak pas.

Ada yang dipengaruhi oleh faktor suap?

Kami mengkaji putusan, tidak mengkaji proses dia memutuskan. Kalau proses mengkaji itu susah juga. Problemnya, yang kami awasi 8.000 sekian hakim di 964 satuan kerja pengadilan. Sumber daya kantor penghubung baru tambah delapan. Jadi ada 20 kantor penghubung, sementara republik ini besar sekali. Ada juga soal kewenangan. Proses kelahiran KY yang kemudian mengalami pelemahan. Di mana-mana lembaga pengawas itu dicoba dilemahkan, enggak cuma di Indonesia.

Apa pelemahan yang paling dirasakan KY?

Sembilan kali di-judicial review. Dulu boleh mengawasi hakim konstitusi, sekarang enggak boleh. Makanya kami ajukan rancangan undang-undangnya.

Kewenangan apa yang perlu diberikan?

Pemberian sanksi ringan dan sedang (terhadap hakim) cukup oleh KY. Tidak usah rekomendasi (ke MA). Yang berat baru bicara dengan MA. Atau pemeriksaan bersama. Kedua, penyadapan mandiri. Selama ini kami boleh menyadap tapi dengan lembaga lain. Soal pemeriksaan bersama (perlu diatur dalam undang-undang). Daripada ribut terus soal teknis yudisial dan etik, periksa bersama saja. Kemudian juga soal imunitas komisioner. Saya itu memeriksa hakim bisa dilaporkan balik. Sudah ada beberapa komisioner yang mengalami itu. Bukan persoalan takut atau tidak takut. Nggak ada wibawanya ketika seorang pemeriksa bisa dilaporin balik.


Mukti Fajar Nur Dewata

Tempat dan tanggal lahir: Yogyakarta, 29 September 1968

Pendidikan:
• S-1 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1987-1992
• S-2 Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1997-2001
• S-3 Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2004-2009
• Guru besar hukum ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2022

Karier:
• Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1995-sekarang
• Partner di Jogja Law Center, 2000-2005
• Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, 2003-2007
• Dosen Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada, 2012-2016
• Arbitrer Badan Syariah Majelis Ulama Indonesia Yogyakarta, 2012-sekarang
• Asesor Badan Akreditasi Nasional, 2011-sekarang
• Ketua Komisi Yudisial, 2019-sekarang

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus