Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Blur dan Impresi Ibu Tien

Pameran tunggal Aditya Novali menghadirkan pengalaman masa kecil. Memainkan kekaburan ingatan dalam goresan cat minyak.

9 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Karya Aditya Novali dalam New Obsolescence di ROH, Jakarta. Dok. Aditya Novali

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran tunggal Aditya Novali di ROH.

  • Digali dari pengalaman masa kecil dan rekaman video Betamax.

  • Aditya bermain-main dalam kekaburan ingatan.

DI antara empat layar televisi yang memperlihatkan tayangan video Betamax, tampak seorang dalang cilik tengah memainkan wayang. Dua tangannya menghadapkan wayang kesatria dan raksasa. Terjadi perang tanding dengan iringan gending bertalu. Kualitas suara di video itu naik-turun, menyamai kualitas gambarnya yang mulai kabur, agak tersendat. Dalam video lain, tampak kelompok paduan suara anak-anak dari Austria yang tengah bernyanyi, lalu duduk di deretan depan. Tampak pula dalam akhir video dalang cilik itu menyerahkan sebuah lukisan buatannya, menerima penghargaan, dan disalami oleh ibu negara, Tien Soeharto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Si dalang cilik adalah Aditya Novali. Pada 17 Juni 1989, dia diminta mendalang di Istana Negara. Ia tak ingat diundang ke acara apa. Kebanyakan yang hadir adalah ibu pejabat yang dipimpin Ibu Tien yang saat itu berkebaya biru. Mungkin itu acara diplomasi yang menghadirkan seni-budaya setiap negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aditya menghadirkan kembali peristiwa 39 tahun lalu tersebut dalam medium kanvas pada pameran tunggal di ROH Projects, Jakarta, berjudul "New Obsolescence: ADITYAVOVALI". Pameran ini diselenggarakan pada 11 Maret-7 Mei 2023. Ia memanggil kembali ingatannya akan peristiwa itu, termasuk kekeliruan dan kecacatan dalam acara tersebut. 

Selain sederet video dalam empat layar, juga kolase lukisan aneka obyek, tampak sebuah karya yang unik. Sebuah kanvas yang bisa diputar, dominan dengan garis-garis mendatar, seperti sebuah "poster" acara yang berlapis-lapis dengan dimensi 139 x 104 x 14 sentimeter. Tulisan di barisan pertama adalah "Paduan Suara Anak-anak Die Wiener". Di bawahnya terdapat lanskap interior Istana Negara yang megah dengan panggung berlatar hitam dan peta Indonesia berwarna biru. Di bawahnya terdapat imaji blur sederet wajah dan tulisan "Dalang Cilik Adityavovali" (bukan Aditya Novali) serta keterangan tempat dan waktu, yakni di Istana Negara pada 17 Juni 1989.

Karya Aditya Novali saat pameran di ROH, Jakarta, 6 April 2023. Tempo/ Febri Angga Palguna

Lewat karya berjudul Remanence: That Everything (2023) ini, pengunjung seperti bisa menengok perjalanan peristiwa lampau itu dalam lipatan waktu di kanvas. Dalam karya lain, tergambar megahnya acara dan interior Istana Negara, mewah dan gemerlapnya lampu gantung (chandelier) Istana, serta imaji wajah-wajah hadirin.

Di ruang pamer utama, sebuah karya dengan warna biru mencolok terpajang pada salah satu bidang dinding. Ukurannya cukup panjang, hampir 5 meter, dengan lebar 150 sentimeter. Sepertiga panel karya itu berlapis kain beludru dan brokat, sisanya adalah goresan cat minyak pada kanvas dengan dominasi warna biru gelap serta bayangan lampu gantung. Menyempil di bagian pinggir tampak lukisan tinta sosok si dalang cilik. Karya berjudul Remanence: I’ll be (2023) ini menjadi gambaran layar tempat ia memainkan wayang saat itu.

Yang cukup menarik adalah lukisan berbentuk wajah berukuran cukup besar. Tak terlalu tampak garis wajah, mata, hidung, dan bibirnya. Seperti potret buram dalam warna kusam, blur. Hanya tampak jelas sosok itu mempunyai rambut yang disasak atau bersanggul. Ada pula imaji wajah-wajah buram dan blur lain dalam karya yang lebih kecil berderet di bawahnya. Juga imaji semacam tangkapan kamera yang memotret sederet hadirin, para ibu berbaju krem, dan seseorang berbaju biru yang cukup menonjol.

Karya Aditya Novali yang bertema 'That Everything' saat
dipamerkan di ROH, Jakarta, 6 April 2023.
Tempo/Febri Angga Palguna

Dalam sebuah lukisan lain berukuran kecil, tampak sederet sosok perempuan bersanggul dan berbaju biru. Garis wajah mereka pun kabur. Corak lukisannya seperti gambar yang meleyot dalam video atau gambaran sesuatu yang tertiup angin. Aditya memang tak memperjelasnya dalam lukisan yang lebih realistis, tapi narasinya menunjukkan perempuan berbaju biru tersebut adalah ibu negara. Kehadiran ibu negara dengan kekuasaan yang menyertainya dalam acara itu mengimpresi, menginspirasi Aditya. Gambar buram tersebut adalah perwujudannya.

Pada bidang dinding yang lain terdapat beberapa karya kolase lukisan. Di antaranya imaji berbentuk wajah serta goresan tinta dan pulau-pulau Indonesia yang penempatannya dilukis acak dalam Remanence: But when I look at you (2023). Aditya merepetisi karyanya tentang memori layar dan peta Indonesia dalam Remanence: So don’t ever leave (2023). Yang juga menarik, pengunjung disuguhi sepotong gambaran mewahnya lampu gantung dalam karya Remanence: All my thoughts get in the way (2023) dan corak karpet Istana berwarna hijau dalam Remanence: Would go down under (2023). Adapun gambaran kekuasaan diwujudkan dalam lukisan kursi. Dia memadukan goresan tinta berupa lapisan tirai dari lukisan 12 kursi istana dan lukisan sebuah kursi yang agak besar dengan sederet imaji wajah kabur dalam karya Remanence: I can see it all now (2023).

Seniman yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 45 tahun lalu ini mendasarkan karya-karyanya terutama pada rekaman video Betamax yang berkualitas rendah. Tapi ia percaya ingatan dan pengalaman masa lalu itu memperkaya karyanya. Dalam video itu tampak serangkaian peristiwa dari keterangan acara, yakni penampilan kelompok paduan suara dari Austria dan pertunjukan dalang cilik Aditya Novali di Istana Negara. Acara dimulai dengan suara denting piano yang mengantar anak-anak bernyanyi yang disorot dari jarak jauh dan dekat. Lalu ada penampilan permainan angklung oleh anak-anak. Kamera lalu menyorot para hadirin yang duduk dengan takzim hingga tampak di kursi terdepan Tien Soeharto didampingi para ibu pejabat.

Barulah kemudian kamera menyorot penampilan Aditya yang memainkan wayang. Tangan kecilnya dengan lincah memainkan wayang dari satu adegan ke adegan lain. Sesekali kamera menyorot deretan Tien Soeharto dan ibu-ibu pejabat, lalu ekspresi anak-anak Austria yang menonton penampilan si dalang.

Karya Aditya Novali yang bertema "I’ll be" saat dipamerkan di ROH, Jakarta, 6 April 2023. Tempo/Febri Angga Palguna

Aditya tak menuangkan semua rangkaian peristiwa tersebut. Tapi ia menghadirkannya dalam bentuk yang lain dari impresi, pengalaman, dan ingatan. Ia mengaku tak punya ingatan yang kuat mengenai peristiwa itu. “Saya memainkan kekaburan realitas itu yang saya presentasikan. Bukan mendefinisikan faktual realitas, tapi kekaburan-kekaburan itu yang lebih menarik,” ujar Aditya seusai acara "Artist Talk", Sabtu, 1 April lalu, di ROH.

Ia pun tak ingat persis lakon yang dimainkan saat itu. Ia menyebutkan mementaskan Karna Tanding di hadapan hadirin. Ingatannya tentang pendar warna di Istana efek blencong (lampu gantung untuk wayang) di layar pergelaran wayang diwujudkan pada panel-panel kanvas yang dibingkai besi. Warna kuning yang seharusnya hadir dari blencong (api) berubah menjadi warna-warna lain lampu listrik. Juga warna-warna biru yang juga cukup mendominasi, impresi warna kebaya Ibu Tien yang merepresentasikan "seseorang”.

Karya Aditya Noval, Remanence And a million for you (2023). Dok. Aditya Novalio

Untuk mewujudkan karyanya ini, Aditya berkolaborasi dengan Diana Campbell, Direktur Artistik Yayasan Seni Samdani di Bangladesh. Campbell menemani perjalanan artistik Aditya dalam menuangkan ingatan masa kecilnya ke sebuah peristiwa yang memperlihatkan nuansa geopolitik dan kultural saat itu.

Campbell juga terkesan oleh kemampuan Aditya mentransformasikan potongan-potongan adegan atau tangkapan kamera dan ingatan dalam garis, titik tinta, dan goresan cat minyak pada kanvas. Campbell juga melihat wayang sebagai warisan budaya di tangan seorang dalang cilik dan kekuasaan yang disimbolkan dari kehadiran ibu negara yang kemudian diwujudkan dalam lukisan wajah buramnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus