Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Di universitas luar negeri, matematika iklim menjadi pelajaran penting dalam mitigasi pemanasan global.
Matematika iklim bisa menghitung kerugian lingkungan dari sebuah program pembangunan yang memicu deforestasi.
Kerugian lingkungan akibat korupsi timah Rp 271 triliun masih terlalu kecil.
PERNYATAAN Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni di Istana Kepresidenan, Jakarta, 30 Desember 2024, mengenai rencana pemerintah membabat 20 juta hektare hutan menjadi lahan untuk pangan, energi, dan air mengubah total rencana tesis Ida Bagus Mandhara Brasika. Meski belakangan, kepada Tempo, Raja Juli mengatakan media keliru mengutipnya karena yang ia maksudkan adalah mencadangkan 20 juta hektare untuk pangan dan energi.
Awalnya, Nara—sapaan akrab Mandhara—hendak meneliti soal potensi penyerapan karbon oleh hutan mangrove di Indonesia. Dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana, Denpasar, Bali, ini sejak 2022 menempuh studi doktoral bidang matematika iklim di University of Exeter, Inggris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai akademikus yang berfokus pada bidang iklim dan sehari-hari berkutat dengan penghitungan emisi karbon, Nara terkejut mendengarkan pernyataan Menteri Kehutanan itu. “Kalau jadi, ini gila, dampaknya mengerikan,” katanya saat diwawancarai Tempo melalui aplikasi telekonferensi, Kamis, 23 Januari 2025.
Nara pun meriset kecil-kecilan. Dengan berbagai pemodelan matematika yang ia tekuni, Nara yakin, jika rencana pembukaan lahan tersebut terealisasi, hal itu akan mengerek posisi Indonesia menjadi yang teratas dalam daftar negara penghasil emisi karbon global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia lalu berkonsultasi dengan dua supervisornya di University Exeter, Pierre Friedlingstein dan Stephen Sitch. Pierre adalah profesor di Departemen Matematika dan Statistik kampus tersebut. Sementara itu, Stephen adalah profesor di Departemen Geografi.
Kedua ahli itu adalah inisiator riset iklim yang cukup prestisius: Global Carbon Budget. Salah satu temuan mereka yang mengejutkan adalah, pada 2020, meski ada penurunan emisi karbon global sebesar 7 persen akibat pandemi Covid-19, konsentrasi karbon dioksida di bumi terus bertambah. Penyebabnya adalah “stok” karbon yang sudah menumpuk sejak dulu.
Sebagai warga Indonesia yang sedang “berguru” ilmu matematika iklim kepada dua ahli iklim itu, Nara merasa perlu meneliti risiko peningkatan emisi karbon dari Indonesia. Terlebih, selama ini para peneliti iklim di dunia, terutama Eropa, tak memberi perhatian lebih pada situasi di Indonesia. Penelitian dan laporan soal emisi karbon dari wilayah Asia Tenggara, kata Nara, masih sangat minim. “Selama ini penelitian iklim lebih berfokus pada Brasil—sebagai negara pemilik hutan hujan terbesar dunia, Amazon.”
Sejak bergabung dengan para peneliti iklim di Exeter, Nara akhirnya mendalami data emisi karbon dari wilayah Asia Tenggara, khususnya dari Indonesia. Sebagai wilayah penghasil 80 persen minyak sawit dunia, Nara punya hipotesis: pelepasan emisi karbon dari Asia Tenggara jumlahnya sangat besar.
Dalam penelitiannya, Nara membagi dua fokus: pelepasan emisi dari alih fungsi lahan dan pelepasan emisi dari penggunaan bahan bakar fosil. Kabar buruknya, dari kedua sumber emisi itu, Indonesia telah melepaskan ratusan juta ton karbon hanya dalam waktu singkat.
Pada 2022, penelitian yang dilakukan Nara dan timnya menemukan jumlah emisi karbon hasil penggunaan bahan bakar fosil, seperti bahan bakar minyak dan batu bara, dari Indonesia mencapai 700 juta ton dalam setahun. Dari jumlah itu, 400 juta ton di antaranya bersumber dari pembakaran batu bara untuk pembangkit listrik.
Padahal pada awal 2000-an, emisi karbon Indonesia dari batu bara baru 40 juta ton dalam setahun. Bahkan, setahun sebelumnya, pada 2021, emisi karbon Indonesia dari batu bara baru sebanyak 100 juta ton. “Baru pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, pelepasan emisi karbon kita terus naik.”
Sejak awal 2000-an, emisi karbon Indonesia yang bersumber dari deforestasi jumlahnya mencapai 880 juta ton per tahun. “Kondisi ini terjadi karena dalam 20 tahun terakhir kita kehilangan sekitar 10 juta hektare hutan.” Karena itu, Nara menambahkan, kalau Indonesia hendak membuka lahan lagi seluas 20 juta hektare, emisi karbon Indonesia akan melonjak berkali-kali lipat.
Menurut Nara, secara sederhana, pelepasan emisi karbon dari deforestasi itu tak hanya dihitung dari kehilangan potensi penyerapan karbon pada lahan yang dibuka. Secara tak disadari, pembukaan lahan pun melepaskan emisi karbon. “Yang bisa terlihat secara kasatmata memang ketika terjadi kebakaran hutan.” Namun, di sisi lain, pemotongan pohon, pembusukan tanaman yang rusak, dan berbagai proses yang terjadi saat pembukaan lahan juga turut melepaskan karbon. “Makanya, deforestasi itu dalam konteks emisi karbon, masalahnya ganda.”
Nara makin tergelitik dan tertantang untuk meneliti ketika mendengar pidato Presiden Prabowo Subianto yang di dalamnya berisi perkataan, “Enggak usah takut deforestasi karena kelapa sawit juga pohon”. Pidato itu disampaikan Prabowo dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Jakarta pada hari yang sama saat Menteri Kehutanan mengumumkan rencana pembukaan 20 juta hektare lahan.
Nara ingin menguji klaim itu. Karena itu, belum lama ini, ia melakukan penelitian awal dengan memasukkan sawit dalam model penghitungan emisi karbon di kampusnya. Dari penelitian kecil itu, Nara mendapat temuan awal bahwa emisi karbon yang dihasilkan oleh alih fungsi lahan dari hutan ke perkebunan sawit tidak lebih baik dibanding alih fungsi hutan ke ladang atau persawahan. “Sama buruknya.” Sebab, meski pohon di kebun sawit juga mampu menyerap dan menyimpan karbon, jumlahnya tak sebanding dengan kemampuan hutan alami.
Berbagai penelitian matematika iklim yang dilakukan Nara dan para ahli di Exeter itu menggunakan berbagai instrumen serta sumber data. Tak hanya data statistik, mereka juga memanfaatkan teknologi satelit dengan berbagai varian datanya. Saat ini, Nara bercerita, setidaknya ada 20 model matematika iklim yang digunakan di kampusnya. Seluruh model itu dapat digunakan untuk meneliti satu topik.
Dengan begitu kompleksnya penghitungan dan penelitian yang dilakukan, tak mengherankan laporan tahunan mengenai penghitungan emisi karbon yang dirilis kampus ini selalu menjadi acuan global. Bahkan, setiap tahun, para profesor di Exeter hadir dalam konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, Conference of the Parties (CoP), untuk mempresentasikan hasil penelitian mereka.
Minat Nara terhadap isu perubahan iklim tak muncul tiba-tiba atau hanya karena ia sedang menekuni ilmu matematika iklim di Inggris. Sejak 2017, semasa masih tinggal di Bali, pria 32 tahun asal Desa Beng, Gianyar, ini menginisiasi usaha rintisan bernama Griya Luhu di tanah kelahirannya.
Bidang usaha Griya Luhu tak jauh dari masalah lingkungan: pengelolaan bank sampah berbasis aplikasi. Hingga kini, Griya Luhu tak hanya beroperasi di Bali, tapi juga sudah hadir di lima provinsi dengan jumlah bank sampah lebih dari 100 dan nasabah di atas 12 ribu orang. “Tapi saya sudah tidak terlalu aktif di sana, yang muda-muda yang meneruskan.”
Berkat kiprahnya membesarkan Griya Luhu itulah Nara diganjar penghargaan Youth Climate Warrior dari IDN Times pada 16 Januari 2025. Dalam penghargaan ini, ia bersama sembilan pemuda lain dari berbagai daerah dianggap sebagai sosok inspiratif yang peduli terhadap lingkungan. Namun, karena sedang berkuliah di Inggris, ia tak bisa menghadiri acara penganugerahan itu secara langsung.
Petikan wawancara lengkap Nara bersama Praga Utama, Raymundus Rikang, Sunudyantoro, dan Yosea Arga dari Tempo.
Mengapa Anda tertarik dengan bidang ilmu matematika iklim?
Dari dulu, saya memang suka dengan isu perubahan iklim. Waktu S-1, saya kuliah di jurusan meteorologi di Institut Teknologi Bandung, berkaitan dengan iklim juga. Nah, ketika S-2, saya mendapatkan beasiswa ke Inggris untuk kuliah di London. Saya mengambil jurusan teknologi lingkungan. Waktu itu, disertasi saya soal emisi karbon yang ditimbulkan kebakaran hutan. Dari sanalah saya makin tertarik meneliti iklim karena ini penting bagi Indonesia, tapi belum banyak yang melakukan.
Apa manfaat ilmu ini bagi kita?
Indonesia itu ada dalam tiga besar negara penghasil polusi terbesar, terutama yang disebabkan oleh alih fungsi lahan. Matematika iklim ini bukan matematika teoretis seperti aljabar, tapi memang spesifik menghitung emisi karbon dalam konteks perubahan iklim.
Biasanya hasil penelitian matematika iklim ini digunakan untuk apa dan oleh siapa?
Biasa digunakan secara global. Sebagai contoh, setiap kali ada Conference of the Parties, profesor dari kampus saya datang untuk melakukan presentasi mengenai kondisi terkini perubahan iklim. Saya rasa hampir semua riset dan laporan mengenai perubahan iklim menggunakan data dari laporan kami.
Sejak menekuni ilmu ini, bagaimana Anda memandang kondisi Indonesia dalam konteks perubahan iklim?
Minat penelitian iklim ke wilayah Asia Tenggara masih kecil sekali. Makanya, ketika bergabung dengan Global Carbon Project di kampus, saya mulai menginisiasi penelitian untuk wilayah ini, terutama Indonesia.
Apa saja temuan Anda?
Yang terbaru, saya melakukan riset kecil setelah mendengar Indonesia resmi memperdagangkan karbon secara internasional. Saat peresmian diumumkan bahwa total unit karbon yang terotorisasi untuk diperdagangkan secara internasional sebesar 1,7 juta ton. Terdengar besar, tapi jumlah itu kecil sekali dibanding emisi karbon kita dari alih fungsi lahan sejak awal 2000-an yang mencapai 880 juta ton per tahun. Jumlah itu jadi tidak ada artinya.
Berbicara soal alih fungsi lahan, pemerintah baru mengumumkan rencana pembukaan 20 juta hektare hutan untuk lahan pertanian dan energi.
Itu alasan arah tesis saya berubah, ha-ha-ha. Rencana ini mengerikan sekali. Jumlah emisi karbon yang saya sebutkan tadi berasal dari deforestasi seluas 10 juta hektare dan itu terjadi dalam masa 20 tahun. Kalau sekarang pemerintah menargetkan 20 juta hektare, dan katakanlah dilakukan dalam waktu 10 tahun, dampaknya akan besar sekali.
Apa yang bakal terjadi kalau benar deforestasi seluas itu terwujud?
Kita akan menjadi negara emiter nomor satu dunia. Tadinya, kan, kita nomor dua dalam beberapa tahun terakhir. (Indonesia ada di urutan kedua setelah Republik Demokratik Kongo dan sebelum Brasil).
Itu belum termasuk emisi karbon dari fosil?
Ada yang mengerikan juga dari fosil. Pada awal 2000-an, Indonesia tidak masuk radar negara penghasil emisi bahan bakar fosil terbesar. Emisi karbon kita dari sektor ini kecil. Namun sejak zaman Pak Jokowi, ada lonjakan besar, sampai pada 2022, sudah hampir 700 juta ton per tahun, dengan kenaikan besar dari pembakaran batu bara. Pada awal 2000-an, emisi karbon batu bara kita baru 40 juta ton. Namun, pada 2021, naik ke 100 juta ton dan setahun kemudian 400 juta ton.
Tinggi sekali kenaikannya...
Apalagi kalau kita lihat, dalam 15 tahun terakhir, tidak ada negara dalam daftar 10 besar penghasil emisi karbon tertinggi yang kenaikan emisinya mencapai 20 persen dalam setahun, seperti Indonesia pada 2021 ke 2022. Setelah saya cek, hal ini disebabkan oleh ambisi besar kita dalam penambangan nikel. Upaya kita untuk menjadi penghasil nikel demi kebutuhan transisi energi rupanya kotor luar biasa.
Ida Bagus Mandhara BrasikaTanggal Lahir
Pendidikan:
Karier:
Penghargaan:
|
Selain emisi karbon, baru-baru ini di Indonesia ramai soal penghitungan kerugian lingkungan dalam kasus-kasus hukum, terutama korupsi. Bagaimana sebetulnya cara menghitung kerugian lingkungan?
Kerugian lingkungan itu sebenarnya cukup sulit dihitung, terutama jika harus dikonversi dalam nilai uang. Bagaimana kita mau menghitung ekosistem yang hilang, misalnya? Jadi, kalau dibilang penghitungan kerugian lingkungan tidak akurat, ya, memang sulit untuk akurat. Tapi lebih baik daripada tidak dihitung sama sekali.
Apakah menurut Anda kerugian Rp 300 triliun dalam kasus korupsi timah itu dibesar-besarkan?
Justru, menurut saya, terlalu kecil, ha-ha-ha. Sebab, kerugian lingkungan itu sebagian besar tidak bisa kembali atau dipulihkan. Memangnya kalau temperatur bumi turun lagi, es di kutub bisa membeku lagi? Atau ketika ada hewan yang punah, bisa hidup lagi?
Apa pentingnya ada penghitungan matematika dalam perjuangan penyelamatan lingkungan?
Signifikansi penghitungan matematisnya untuk memudahkan kita memahami seberapa besar masalah atau kasus tersebut. Atau, dalam hal emisi karbon, kalau punya ukuran jelas, kita bisa bilang ada kenaikan, kenaikannya sebesar apa.
Agar dipahami berbagai kalangan, ya.
Terutama pemerintah atau pengambil kebijakan. Kami tidak berharap pemerintah bisa langsung menjadi ahli dalam hal ini, tapi mereka harus tahu bahwa masalah ini penting dan krisis iklim merupakan masalah besar. Jika tanpa angka, sepertinya sulit mengkomunikasikan isu ini.
Kasus kriminalisasi terhadap Bambang Hero Saharjo—guru besar Institut Pertanian Bogor yang menghitung kerugian korupsi timah—menunjukkan adanya fenomena memusuhi para ahli lingkungan oleh sebagian kalangan. Apa komentar Anda?
Sejak dulu, saya diajarkan dosen-dosen saya bahwa menjadi ilmuwan bisa salah, tapi tidak boleh berbohong. Jadi kebenaran memang harus disampaikan dengan segala risikonya. Siapa lagi yang mau menyuarakan kebenaran kalau bukan para ahli yang paham isu dan bisa berbicara dengan bahasa sederhana.
Dalam persidangan, angka yang disampaikan Bambang Hero disangkal kalangan pengusaha. Bagaimana Anda melihatnya?
Penilaian Pak Bambang dianggap tidak akurat karena memakai metode sampling. Bantahan dengan argumen seperti ini sudah sering muncul, metode penghitungan secara sampling kerap dipertanyakan. Sampling itu ibaratnya kita sedang memasak sup. Untuk menguji rasanya, kita cukup mencicip menggunakan sendok, tidak perlu minum semua kuahnya.
Belakangan mungkin para akademikus merasakan fenomena “matinya kepakaran” atau pendapat ilmiah diragukan oleh awam. Anda pernah mengalami?
Lumayan sih. Saya beberapa kali membuat unggahan kritis di media sosial. Ada saja yang bilang saya tidak tahu kondisi di lapangan. Kadang saya dibilang tidak bisa menghitung dengan benar.
Omong-omong, apa asyiknya menyelami studi matematika iklim?
Asyiknya karena saya bisa jadi orang pertama yang mengetahui kebenaran sebuah fenomena iklim, ha-ha-ha. Saya ini orangnya tidak mudah percaya sesuatu kalau tidak melihat langsung. Sekarang berbagai data mengenai iklim ini ada di tangan saya, lho.
Tapi, apa yang sebenarnya Anda pelajari selama menjalani program doktor matematika iklim?
Sederhananya, saya menghitung karbon di seluruh dunia, baik di daratan, udara, maupun lautan. Alam ini punya kemampuan menyerap karbon, tapi ada batasnya. Dari sana, kita akan tahu kapan batas itu akan tercapai dan saat ini enam sampai tujuh tahun lagi, kalau tidak ada perubahan berarti.
Tapi mungkin seorang ahli matematika iklim tidak akan bisa kaya, ya?
Ha-ha-ha. Saya enggak risaulah karena standar hidup saya cukup rendah. Saya enggak pernah tertarik punya mobil mewah. Mimpi saya ke mana-mana naik sepeda atau jalan kaki di kota saya. Itu lebih menyenangkan. Hidup saya mah cukup-cukup saja.
Apa rencana Anda setelah studi di Exeter selesai? Akan kembali ke Indonesia?
Saya sudah pasti kembali. Saya tidak tertarik tinggal lama di Inggris atau Eropa. Rasanya, makna hidup saya agak berkurang di sini. Bali jauh lebih menyenangkan. Kalau pulang ke Indonesia, value saya mungkin akan lebih tinggi daripada di sini, meskipun mungkin secara keuangan lebih enak di sini. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo